Dengan ekspresi aneh Kres memandangi ibunya yang
tergeletak begitu saja di atas sofa. Terdengar dengkuran halus dan bukannya
dengkuran kasar, keras dan serak seperti biasanya yang kadang membuat Kres
berpikir, sebenarnya pekerjaan apa yang dilakukan ibunya setiap larut malam
hingga senja?
Kres mengangkat—setengah menyeret ibunya ke dalam
kamar sambil berusaha menahan nafas, ibunya selalu berbau menyengat. Bau
menyengat yang sama sekali tidak disukai Kres. Bau menyengat yang membuat Kres
mendapat firasat buruk. Diangkatnya selimut hingga menutupi dagu ibunya, tak
lupa disiapkannya sebotol besar air putih dan pil putih sebesar ujung kuku jari
kelingking yang selalu diminum ibunya setiap ia bangun. Tanpa mengetahui apa
sebenarnya kegunaan pil putih itu. Pikiran positifnya mendorongnya untuk
berpikir bahwa itu hanya suplemen biasa untuk tubuh.
Setelah memastikan pintu terkunci rapat, Kres
setengah berlari menuruni tangga yang mulai licin karena berlumut. Tidak ada
yang peduli tentang kepengurusan sampah dan kebersihan di gedung apartment ini.
Dinding yang catnya mulai luntur dengan banyaknya graffiti berbagai warna dan
bentuk, tanaman liar dan lumut yang tumbuh disetiap sudut, penghuni apartment
yang acuh tak acuh satu sama lain. Kres sudah sangat akrab dengan semua ini. Ia
sudah tinggal disini selama yang ia tau dan baginya ini adalah rumah yang
terbaik. Tempat terbaik baginya untuk pulang.
“Reishi!” Ups, sepertinya Kres mengetuk pintunya
terlalu kuat karena setelah dua ketukan beberapa rontokan semen dari dinding
berjatuhan di atasnya.
“Pagi Kres,” Ibu Reishi yang senantiasa cantik dan
ceria tersenyum lembut, “Ibumu sudah pulang?”
“Selamat pagi tante, sudah, sekitar pukul tiga
mungkin” Kres menjawab sambil menerima kantong kertas berisi kotak bekal yang
selalu disiapkan ibu Reishi untuknya.
Ibu Reishi mengusap puncak kepala Kres dengan
lembut, sentuhan lembut yang sangat disukai Kres yang diharapkannya berasal
dari sentuhan ibunya sendiri. Tapi itu tidak penting, ibu Reishi sudah seperti
ibunya sendiri, beliaulah yang mengurus Kres sejak kecil karena kesibukan
ibunya yang selalu bekerja saat malam. Dan Reishi sudah dianggap Kres seperti
saudaranya sendiri.
Setelah beberapa gelak tawa yang dilontarkan Kres
dengan ibu Reishi, barulah Reishi muncul dengan rambut berantakan, dasi
tergantung bergitu saja di pundak dan sepatu dengan tali yang tidak terikat.
“Kita telat!!! Berangkat ma! Jangan lupa kunci pintu, daaaaahh… ayo Kres”
Reishi mencium pipi ibunya dan menarik Kres—yang belum sempat berpamitan—berlari
ke arah sekolah.
Beruntung jarak antara sekolah dan tempat tinggal
mereka hanya sejauh tujuh blok. Walaupun gedung apartment mereka tergolong
berada di daerah yang diasingkan. Singkat cerita, gedung apartment itu dulu
dirancang untuk menjadi gedung apartment mewah dan bergengsi. Tapi dalam masa
pembangunan selalu saja terjadi hal-hal yang menghambat seperti, salah satu
investor yang tiba-tiba mundur dan menarik kembali investasinya, korupsi dari
beberapa penanggung jawab konstruksi sampai insiden jatuhnya crane yang membuat salah satu pekerja
cacat permanen. Karena semua kejadian itu dana yang tersedia pun menjadi
terbatas. Hasil jadi apartment yang melenceng jauh dari rencana pun mendapat
reputasi jelek dan dianggap membawa sial. Penghuni apartment yang sebenarnya
berniat mencari tempat tinggal dengan harga terjangkau pun juga ikut mendapat
reputasi jelek.
Tanpa memperdulikan omelan Kres yang sepertinya
tidak berujung, Reishi menarik Kres untuk berlari ke belakang sekolah. Jelas
saja, gerbang depan pastilah sudah tertutup rapat dan dijaga ketat. Tepat di
depan pagar jaring besi yang ditutupi tanaman rambat, Reishi membungkuk. “Ayo,
cepet lompat.”
Kres memutar mata, “ Kan,
salah siapa kita selalu telat? Elo kan?! Bangun pagi selalu susah, jadi gini
deh, mendadak jadi titisan kera yang kerjaannya manjat-manjat tiap pagi. Awas
saja kalau kita ketauan kali ini, gue iris jari-jari lo trus gue kasih makan ke
burung gereja” Kres tetap saja mengomel sambil menaiki punggung Reishi,
memanjat pagar dan meloncat. Hebatnya, dengan semua panjatan dan lompatan Kres
tetap bisa menjaga rok nya agar tetap stabil.
Detik berikutnya, Reishi sudah meloncati pagar dan
mendarat di samping Kres dengan mudah. “Duh duh, iya tuan maafkanlah hamba yang
sudah membuat kita menjadi manusia setengah kera, tolong jangan potong
jari-jari hamba karena nanti hamba tidak bisa lagi mengelus wajah tuan yang
berbulu seperti kera itu” Dasar siswa
beasiswa olah raga kurang aja! Runtuk Kres dalam hati.
Kres baru saja akan menderap pergi sebelum ia malah
ditarik Reishi untuk bersembunyi dibalik dinding. Dari jauh terdengar suara
berat berbicara bersaut-sautan. “Mampus, ketauan kan kita! Ah elo sih! Kena
detensi lagi deh minggu ini, ahhhh—“ Kres berhenti berkutik saat Reishi
mendekapnya lebih erat. Dengan mata menjalar ke segala arah Kres dapat
mendengar detak jantung Reishi yang tak karuan. Ia memutar mata. Lihat siapa sekarang yang takut ketauan.
***
Kejadian tadi pagi membuat nyawa Kres seperti berada
di ujung papan kapal bajak laut. Super duper membahayakan. Kamuflase menjadi
tembok alias merapatkan diri dengan Reishi sampai sangat rapat, entah
bagaimana, berhasil. Kres berhasil menghindari detensi untuk kesekian kali.
Ruang ganti yang awalnya ramai mendadak sepi. Tak
perlu banyak waktu untuk membuat setiap orang yang tau diri untuk pergi. Kres
belum menyadari situasi, saat ia mendongak setelah selesai berganti dengan baju
olah raga ruangan luas dengan deretan loker itu sudah sepi. Dan dari arah jam
dua Nafi berjalan ke arahnya dengan dagu terangkat dan tangan terayun. Kres pun
tau masalah yang cukup berat akan menyeretnya kembali ke ruang detensi.
“Kres, sayang,” Dengan raut wajah muak Kres membalas
tatapan Nafi, “gimana tentang perjanjian kita?” Kres mengangkat alis, menyatakan
ketidaktauan, “gue dan Reishi?”
Kres mengangguk-angguk genius seperti baru menemukan
jenis amoeba yang mampu menumbuhkan kaki, “gue punya dua poin,” Nafi
mendengarkan dengan seksama, seakan ia akan mendengar pidato dari presiden
negeri antah berantah, “poin pertama, perjanjian adalah hal yang disetujui oleh
kedua belah pihak, dan gue nggak ingat pernah menyetujui perjanjian apapun
dengan elo. Poin kedua, gue bukan penyedia jasa perjodohan, dan gue selamanya
ogah kalau disuruh jodohin lo sama Reishi. Dia berhak dapat yang lebih baik.”
Nafi mendengus, “Ehm, what? Jadi maksud lo gue nggak
cukup bagus buat Reishi? Si kapten basket terhebat sepanjang sejarah Urban High
School?” Kres mengedikkan bahu, “Hellooo, gue ketua OSIS di sekolah ini, gue
yang udah ngasih rekomendasi ke pusat supaya Reishi dapat beasiswa penuh karena
prestasi dan pengabdiannya di sekolah ini”
Tanpa bisa menahan amarah, Kres mendorong Nafi
sampai ia terbentur ke loker di belakangnya dan menahannya disana, “Reishi
dapat beasiswa karena dia memang pantas! Dia nggak perlu rekomendasi dari
siapapun! Lagipula nggak ada yang meminta lo buat rekomendasi apapun pada
siapapun! Jadi sekarang lo bisa tutup mulut dan cabut dari sini”
“Atau apa?” Nafi menantang. “Lo akan bikin gue babak
belur seperti yang lo lakuin ke Hera?” Kres tak bisa menahan tangannya yang
menghantam hidung Nafi diikuti suara retakan setelahnya.
***
Sebelum ia digiring ke ruang kepala sekolah, Kres
hanya mengingat wajah kesakitan Nafi yang berlumuran darah. Nafi cepat-cepat dibawa
ke rumah sakit sementara Kres digiring dengan penjagaan ketat yang tak kalah
dari sipir penjara.
Dengan helaan nafas berat, Pak Mad, kepala sekolah,
bertumpu pada tangannya dan menatap Kres lurus-lurus, “sekarang apa lagi Kres?”
dengan tidak adanya tanda-tanda dari Kres akan menjawab membuat Pak Mad semakin
lelah dan mengusap wajahnya dengan frustasi. “Kres, kamu baru saja mematahkan
hidung ketua OSIS kita! Saya mengharapkan alasan yang masuk akal disini” Kres
tetap diam.
“Dengar, bapak tau kemampuan kamu sangat bagus
karena itulah kamu bisa bersekolah disini, prestasi akademikmu itulah yang
memberimu beasiswa penuh di sekolah ini, tapi, prestasi itu tidak akan berarti
apa-apa kalau kamu selalu melakukan tindak kekerasan terhadap siswa lain. Kejadian
tahun lalu terhadap Hera, bahkan sampai sekarang masih banyak yang
membicarakannya, nama sekolah nyaris tercoreng karena kamu dan bapak tidak mau
hal itu terulang kembali. Bapak dapat memaklumi ibumu mungkin tidak sempat
mendidikmu dengan baik karena… pekerjaannya itu, tapi tolonglah berusaha lebih
keras untuk bersikap lebih normal.”
Kres tertawa dengan sinis, “Jadi bapak pikir saya
tidak normal? Ibu saya tidak normal? Apa? Apa bapak pikir pekerjaannya sangat
terhina? Atau saya tidak cukup pantas untuk bersekolah disini? Asal bapak tau,
Nafi pantas mendapatkan hidung patah! Dan apa yang terjadi pada Hera, jangan
harap bapak bisa menahan rahasia itu lebih lama lagi, saya tau kebenarannya dan
saya tidak akan membiarkan bapak menaruh semua kesalahan pada saya.” Kres dapat
melihat denyutan saraf di pelipis Pak Mad, ia juga menyadari tangan Pak Mad
yang sudah mengepal. Kres tersenyum, “Anda bergantung pada saya, tanpa saya
anda akan jatuh, anda akan kehilangan semua hal yang sudah anda bangun, dan
saya tidak yakin anda siap akan semua itu.” Kres tidak ragu lagi untuk keluar
dari ruangan itu dengan senyuman lebar, Pak Mad tidak akan bisa berkutik karena
Kres masih memegang kartu As yang disimpannya selama lebih dari setahun.
***
Kelas XI IPA-1 terasa sangat tenang siang itu.
Tenang yang mencurigakan. Tidak diragukan lagi, gosip Kres mematahkan hidung
Nafi sudah menyebar kemana-mana. Merambat dengan cepat. Membuat setiap cerita
yang diulang dari mulut ke mulut semakin di lebih-lebihkan dan menjauhi
kebenaran.
Reishi berjalan memasuki kelas XI IPA-1 seakan itu
kelasnya sendiri. Mengabaikan tatapan-tatapan penuh rasa penasaran dan lurus
menuju tempat dimana Kres duduk dengan manis sambil memakan kotak bekalnya.
“Bekal hari ini telur dadar dengan rebusan sayur, mama bilang gue harus mastiin
lo habisin semua sayurnya.” Reishi menghempaskan dirinya di kursi kosong di
depan Kres.
Kres tertawa meledek, menutup kotak bekal yang sudah
licin kosong, “kita berdua tau betul itu kebohongan besar, kenapa? Lo butuh
alasan buat nengok gue? Kenapa? Lo kawatir?”
Reishi menggaruk-garuk kepalanya seperti monyet
kutuan sebelum menjawab, “Iya, gila! Gue kawatir abis! Lo tau apa yang gue
denger di kelas? Bahwa lo jeduk-jeduki kepala Nafi sampe berdarah-darah ke
dinding sebelum nonjok dia sampai hidungnya patah dan giginya rontok tiga, itu
benar?”
“Well, bagian hidung patahnya bener, yang lain
salah.”
“Boleh gue tau alasannya kenapa?” Reishi bertanya
dengan ragu. Seperti yang sudah diduga, ia mendapat gelengan kepala dari Kres.
“Kenapaaaaa?” Reishi mengeluh seperti anak kecil, “Kenapa lo selalu nggak mau
ngasih tau gue? Sama kayak tahun lalu tentang Hera, kenapa gue nggak boleh tau
cerita sebenarnya dari elo, gue mau lo bergantung sama gue Kres, lo nggak
sendiri, ada gue.”
Sulit untuk diakui, tapi Kres sebenarnya merasa
terharu, Reishi sangat berharga untuknya. Letak Reishi di hatinya setara dengan
ibunya, sebegitu pentingnya Reishi untuk Kres. Tapi Kres tidak mau menyusahkan
Reishi. Ia tidak ingin menyeret Reishi ke dalam masalah yang akan merepotkannya.
Apalagi Kres tidak mau membuat ibu Reishi susah, beliau juga sangat berarti
bagi Kres.
“Balik sana ke kelas lo, udah bel” Kres berdiri dan
menarik Reishi keluar dari kelasnya. Di ambang pintu kelas, tanpa aba-aba apapun,
Reishi memeluk Kres. Menimbulkan kekagetan dan terdengar nafas-nafas tercekat
dari segala arah. Reishi mungkin sudah gila, ia tau betul terdapat puluhan
pasang mata yang memperhatikan mereka tapi ia tidak peduli. Untuk sekali ini,
Kres juga tidak memperdulikan apapun, ia menenggelamkan diri lebih dalam,
berharap dapat bersembunyi dari dunia di balik badan tegap Reishi. “Makasih.”
Gumamnya samar-samar.
***
Saat Kres membuka pintu, ia mengharapkan ibunya
sudah bangun, menonton TV di atas karpet dengan abu rokok berterbangan
dimana-mana. Tapi apartmentnya segelap lorong tangga yang baru saja ia daki.
Kres bahkan sampai harus memakai pena termahalnya—pena seharga tiga ribu yang
di lengkapi senter dengan cahaya berwarna ungu—untuk sampai ke apartment nya
yang terletak di lantai paling atas gedung. Setelah hari yang sangat
melelahkan, ia hanya ingin melihat ibunya, satu-satunya alasan baginya untuk
berjuang selama ini. Ibunya selalu pergi saat jarum jam melewati pukul 11
malam. Sedangkan sekarang masih pukul delapan.
“Ma?” Kres menghidupkan semua lampu, binar lampu
neon berwarna kuning langsung menyinari setiap sudut ruangan. “MAMA!” Kres
mulai berteriak lebih keras. Tumpukan baju di sudut ruangan yang sebelumnya
menggunung kini sudah tidak ada. Sepatu kulit kesayangan ibunya juga tidak
terlihat dimanapun. Nyaris seluruh barang-barang ibunya menghilang begitu saja.
Tiba-tiba Kres merasa lemas, ia terduduk di atas karpet dengan tebaran abu
rokok, kakinya seperti mati rasa, detak jantungnya menderu, tubuhnya mulai
berkeringat, ia sama sekali tidak siap dengan apa yang ada dipikirannya. Tidak
mungkin. Ini pasti bohong. Tidak mungkin mama pergi bergitu saja. Meninggalkan
Kres. Nggak!
Kres berlari keluar, ia berlari dalam gelap,
menuruni setiap tangga yang ia lalui selama masa hidupnya. Ia tau setiap tapak
tangga ini, bentuknya, jumlahnya. Ia tidak perlu cahaya, ia sudah hafal
semuanya, ia mengenal semuanya, disinilah ia tumbuh dan tinggal. “MA!” Kres
berteriak seperti orang kesetanan. Ia tepat berada di halaman depan gedung,
dengan diterangi cahaya bulan ditelusurinya setiap lantai dengan matanya,
berharap ibunya sedang ingin bermain petak umpet sebelum ia bekerja.”Mama! Ayo
keluar! Aku nggak mau main malam-malam! Aku tau mama cuman mulai merasa hidup
saat malam tapi bukan berarti aku juga harus seperti itu!” satu persatu pintu
disetiap lantai terbuka, menunjukkan wajah-wajah marah para penghuni yang
merasa terganggu.
“WOI ANJING BERISIK!” Penghuni dari lantai tiga
meludah ke arah Kres sambil mengacung-acungkan pisau daging. Sebuah sepatu kayu
bahkan mendarat tepat di kepalanya diikuti teriakan-teriakan massa yang tidak
layak didengarkan anak di bawah umur.
Kres tidak peduli, ia sudah tidak bisa merasakan
indra apapun di tubuhnya lagi, “Ma! Mama yang bilang ini rumah kita, cuman ini
tempat buat kita pulang, mama cepet pulang atau aku akan marah!” Kres masih
menelusuri setiap lantai. Di lantai paling bawah, pintu apartment Reishi terbuka
dan Reishi menatap ke arahnya dengan mata nanar, “Ma, kita nggak punya
siapa-siapa kita cuman punya satu sama lain, mama kemana, kemanaaaa—“
Reishi cepat-cepat berlari ke arah Kres saat gadis
itu jatuh terbaring dan kejang-kejang. Reishi langsung mengangkatnya dan
membawanya ke apartment nya dimana ibunya sudah menunggu dengan raut wajah cemas
dan takut.
“Pilnya ma,” desak Reishi. Ibunya menggeleng,
menggenggam plastik berisi beberapa pil erat-erat. “Cepet ma!” Direbutnya
kantung pil itu, Reishi memasukkan dua pil sekaligus dan membiarkan Kres
menegaknya, tanpa bantuan air. Detik berikutnya Kres mulai tenang, matanya
terkatup rapat tapi nafasnya terdengar halus. Bisa dibilang pil itulah yang
membuat Kres bisa bertahan selama ini. Reishi sepenuhnya menyalahkan ibu Kres
karena sudah membiarkan anak kecil menegak barang berbahaya. Inilah akibatnya,
tanpa sadar ia bergantung pada barang berbahaya terlarang dengan harga selangit.
***
Speaker yang menempel di setiap dinding sekolah
berdengung, menyebabkan beberapa orang langsung menutup telinga. Tak ada yang
menyangka setelah suara dengungan itu, terdengar suara cewek yang paling tidak
diinginkan keberadaannya di sekolah ini.
“Halo? Ini nyala? Oh, ini nyala! Oke!” Kres menarik
nafas panjang-panjang sebelum melanjutkan, jantungnya berdetak kencang karena
adrenalin. Ia selalu ingin melihat ruangan siaran sekolah yang katanya keren
banget, tapi tidak dengan cara seperti ini. Mungkin ini akan jadi pertama dan
terakhir kalinya ia masuk ke ruangan ini. Yang memang diakuinya sangat keren. “Oke,
tanpa memperkenalkan diri kalian semua pasti sudah tau siapa gue, sebelum para
ketua klub yang bertanggung jawab atas ruangan keren ini mulai menggedori pintu
tolong biarkan gue ngomong sebentar—hanya sebentar, ini tentang kebenaran dari semua
cerita yang kalian denger selama ini, tentang kejadian Hera setahun lalu, dan
untuk kepala sekolah, anda bisa duduk manis sambil mendengar cerita saya yang
mungkin bagi anda seperti lagu kematian.” Diam-diam Kres menyeringai.
“Untuk kalian para otak burung yang berpikir Hera
nyaris mati karena digebukin teman-teman preman gue, mungkin ini bakal membuat
otak kalian keseleo tapi sayangnya gue nggak punya temen-temen preman kriminal
yang dengan kejinya ngeroyok cewek. Tahun lalu, gue keloyoran di kantor—jangan
tanya kenapa, dan menemukan bukti bahwa kepala sekolah kita yang terhormat
menggelapkan sebagian besar dana sekolah. Mulai masuk akalkah kenapa sekolah
kita tidak maju-maju dari tiap tahun? Yeah. Bapak Mad kita yang terhormat
menyewa beberapa preman untuk ngebungkam gue selamanya—secara harfiah, tapi
karena preman-preman kotor itu sudah jelas tidak berpendidikan dan bodoh
setengah mampus, mereka malah salah sasaran dan Hera sekarat.”
Kres mendecakkan lidah keras-keras, “Yahh pokoknya
begitu deh, gue nggak pinter ngomong panjang-panjang, intinya gue ini cuma
korban yang disalahkan, untuk bukti jelas kalian bisa liat website sekolah, dan
bukti fisiknya gue taruh di tas-nya ketua basket terhebat kita sekaligus temen
terbaik gue, Reishi.”
“Maaf dan makasih banyak ya Rei, bye.”
***
Reishi tidak pernah berlari sekencang ini dalam
hidupnya. Kres menghilang dan satu-satunya tempat yang belum ia periksa adalah
sekolah, kalau dipikirkan dalam-dalam tidak mungkin Kres memilih sekolah
sebagai tempat untuk bersembunyi dari Reishi, tapi tetap saja Reishi tidak tau
harus melakukan apa lagi.
Begitu sampai di sekolah, Reishi langsung disambut
dengan suara Kres yang menggema dari segala arah gedung. Ia terpaku mendengar
kata demi kata yang terdengar lewat speaker. Apa ini? Kebenaran macam apa ini?
Kenapa Kres sama sekali tidak menceritakan hal seserius ini padanya? Selama ini
Reishi mengira hubungannya dengan Kres spesial, tapi disinilah ia, mendengar
semua kebenaran ini lewat speaker sekolah sama seperti orang lain.
“…intinya gue ini cuma korban yang disalahkan, untuk
bukti jelas kalian bisa liat website sekolah,” semua orang langsung membuka
website sekolah, begitu pula Reishi yang langsung menyambar ponselnya dan
mengetik link website sekolah. Foto-foto berkas penggelapan dana terpampang
jelas. ”dan bukti fisiknya gue taruh di tas-nya ketua basket terhebat kita
sekaligus temen terbaik gue, Reishi”
Mendengar namanya disebut mata Reishi langsung
melebar, telinganya berdengung. Semua mata tertuju kearahnya. Dengan tangan
bergetar Reishi meraih tasnya dan melihat dokumen-dokumen yang sama persis
dengan yang ada di foto terselip diantara buku-bukunya.
Tiba-tiba kumpulan polisi sudah menyeruak diantara
murid-murid dengan menyeret kepala sekolah. Cepat-cepat Reishi menyerahkan
dokumen itu pada polisi terdekat dan berlari ke arah ruang siaran.
“Maaf dan makasih banyak ya Rei, bye.”
Bye?
Apanya yang bye? Sialan lo Kres! Reishi menaiki
undakan tangga empat-empat. Berlari tanpa bernafas. Tapi begitu ia sampai di
ruang siaran, pintunya terbuka lebar, tidak ada siapapun di dalam. Matanya
dengan liar mencari-cari sosok Kres, dadanya naik turun tidak teratur. Gawat,
ia tidak tau Kres dimana. Ia tidak tau Kres kemana. Perasaan tidak enak
semalam, apakah ini? Apakah perasaan sesak tidak jelas yang dirasakannya sejak
kemarin adalah tanda bahwa Kres akan pergi?
Reishi membanting pintu ruang siaran sampai jendela
di sampingnya retak. Kres pergi tanpa tau bahwa saar ia merasa kehilangan
segalanya, Reishi juga merasakan hal yang sama.
Please Read Me;
Not my best, but let me know what you think.
Comment below and follow for more!
Share this to your friends or families.
Bye.
♦♦♦
Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku!
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!
Comments
Post a Comment