ღPLAYLISTღ
★Season 1;
★Season 2;
☞Part 2
***
♦Sunny Rise♦
Mata Jo bertambah terang hanya saja sekarang bukan berwarna biru, tetapi merah. Jo mendorong Alfi, cukup kuat sampai ia terhempas ke belakang dan meluncur dengan posisi duduk sampai punggungnya menghantam dinding.
“Oh shit!” aku mengumpat pelan, “Jo, no!” gawat, mata Jo semakin berubah warna. Tanda yang kalau boleh ku simpulkan membuat Jo bukanlah Jo. Aku tau aku selalu benar, dan untuk pertama kalinya aku benci saat-saat aku merasa benar.
“Yeah, shit” Jo menyeringai dan berjalan ke arahku. Aku mulai bersiap akan berlari tapi aku kurang cepat, seperti hanya bergerak satu langkah Jo sekarang tepat di hadapanku, mencengkeram leherku dan mengangkatku sampai rasanya kaki ku tidak menjajak tanah lagi. Aku terus berusaha memberontak melepaskan diri seiring dengan akses udara ku yang makin menipis. Dan sialnya lagi, Jo lebih kuat, dia terus menguatkan cengkeraman pada leherku sampai aku merasa pandanganku mulai berkunang-kunang, “walaupun lo duduk pas di depan gue kita nggak pernah bicara, ngeliat satu sama lain pun boro-boro, dan setelah lo mulai bicara sama gue semuanya hancur! Penjelasan lo tentang ninth sense, gudang netral dan semuanya malah bikin tambah buruk! Sekarang hidup gue berantakan gara-gara lo!” dengan penuh kemarahan Jo mengatakan semua isi hatinya, uneg-unegnya. Tapi kenapa aku merasa itu kebohongan? Itu bohong! Aku tau Jo, dan Jo yang ku tau, yang ku kenal tidak akan mengatakan itu walupun ia termasuk spesies manusia langka yang sepertinya lebih memilih mati sendiri. Iblis itu sudah mengambil alih Jo. Sama seperti yang di lakukannya pada Tante Van.
“Jo, aku tau ini bukan kamu, sadar Jo, jangan biarkan iblis ini yang ngendaliin kamu, sadar Jo! Aku yakin kamu bisa!” aku memohon, sangat memohon dengan nada yang sangat menyedihkan. Jo malah tertawa, dia tertawa, tawa lebar dan jahat. Tawa familiar yang ku dengar seperti suara tawa Papa Alfi tadi.
“Bukan gue? Lo tau ini bukan gue? SEJAK KAPAN LO TAU SOAL GUE HAH!?” Jo semakin merasa emosi, marah dan frustasi setengah mati, “LO NGGAK KENAL GUE!”
“AKU MENGENAL MU!!” aku balas berteriak, “please Jo, please”
“Jo” Alfi muncul di sebelah Jo, berusaha menarik cengkraman tangannya yang kaku dari ku, “jangan biarkan iblis itu ngendaliin lo Jo, lawan dia! Gue yakin lo bisa!” sorot mata Alfi penuh dengan permohonan dan keyakinan. Aku meringis, pilihan yang salah Alfi.
Jo menjatuhkanku, membuatku yang benar-benar tidak siap, terjatuh ke tanah dengan tengkurap, dadaku pun berhenti bergerak. Aku tidak bisa bernafas. Gawat!
“GGGAAAHHHHH!!” teriakan Alfi mengejutkanku. Ia terlempar sampai menembus dinding dan tersungkur jatuh di ruangan lain. Aku menggapai-gapai, berusaha mencari sesuatu untuk menyerang Jo, dengan wajah yang aku yakin sekarang semakin membiru. Aku benar-benar tidak bisa bernafas! Aku menyerah, tanganku pun rasanya sudah mulai mati rasa. Ah sudahlah! Aku memang lemah. Dari awal aku tau aku tidak bisa apa-apa. Dasar Sunny tidak berguna! Aku…
Mataku melebar, kaget dengan rasa dingin yang tiba-tiba menyentuh punggungku. Rasa sejuk yang langsung mengaliri setiap urat tubuhku, dan langsung membuatku menghirup udara dengan serakah. Aku mulai bisa merasakan tanganku kembali, aku mengepalkan tangan dan telapak tangan lain menyentuh di atasnya.
“Sunny, kamu tidak lemah, kamu kuat. Kamu akan lemah jika kamu berpikir bahwa kamu lemah, berpikirlah bahwa kamu kuat dan kamu akan kuat, yakinlah pada dirimu sendiri” suara lembut mengalir lembut di telingaku.
“Tante Van?” setengah tidak percaya, setengah berharap, aku bertanya. Sosok di depanku, yang kini menggenggam erat kepalan tanganku tersenyum. Benar, tante Van yang asli! Ia memelukku lalu menghilang, menjadi cahaya hangat, dan lenyap. Dengan itu aku bangkit, mendapati sekelilingku tidak ada siapa-siapa.
“KAK JO!!” teriakan Melvin. Aku melompati lubang dinding bekas dimana tadi Alfi terlempar, rasa adrenalin ku langsung lenyap saat seketika aku melihat Melvin, tergeletak bersimbah darah. Sementara Alfi bersusah payah menghindari serangan Jo yang bertubi-tubi. Alfi yang kalah cepat terus menerima serangan dan kini seluruh badannya pun dilumuri darahnya sendiri yang terus mengalir dari luka-luka serangan Jo.
Gawat! Bagaimana ini? Apa yang harus ku lakukan? Aku tidak bisa menyerang! Aku tidak punya kemampuan itu. Aku hanya bisa berpikir! Karena itulah aku lemah! Aku…
“Kamu akan lemah jika kamu berpikir bahwa kamu lemah, berpikirlah bahwa kamu kuat dan kamu akan kuat, yakinlah pada dirimu sendiri”
Kata-kata Tante Van melintas di kepalaku. Itu dia! Itu yang harus ku lakukan! Aku harus berpikir!
Aku berlari pada Melvin yang tergeletak dengan lemas di genangan darahnya sendiri. “Melvin! Melvin!”
“Kak” hanya mengatakan itu saja Melvin terbatuk, memuncratkan darah, ia tidak bisa bicara lagi. Darah terus mengalir dari mulutnya. Tapi Melvin sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Ia menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk Alfi. Begitu seterusnya sampai ia menutup matanya. Membuatku terpaksa membuat asumsi sendiri bahwa ia hanya tertidur. Iya, Melvin hanya tertidur, Melvin sudah cukup lelah. Dan aku yang belum melakukan apa-apa ini harus mulai melakukan sesuatu.
Aku menutup mata, berusaha berkonsentrasi, dan saat aku membuka mataku kembali, aku berada di ruangan gelap. Ruangan gelap yang luas seakan aku tidak tau mana dinding batas ruangan itu. Tidak tau apa yang harus aku lakukan selanjutnya, aku terus berjalan, dan berjalan sampai aku menemukan sebuah pintu jeruji. Aku menyipitkan mata dan melihat Jo, tergeletak, matanya tertutup, dan warna kulitnya seputih salju seakan tidak ada aliran darah di baliknya.
“JO!!!!” sontak aku berteriak. Aku melihat kelopak mata Jo bergerak pelan sebelum akhirnya, sedikit demi sedikit matanya terbuka, dengan lebar. Ia berusaha mengatakan sesuatu, tapi suara tidak keluar dari mututnya. Bibirnya hanya bergerak-gerak, tanpa suara. Aku menajamkan penglihatan dan berusaha membaca gerak bibirnya, “Awas di…” mataku makin menyipit, “belakang lo” tepat saat itu sesuatu menarikku dari belakang dan membantingku dengan keras ke tanah.
Sosok yang ada di atasku kini, aku tidak tau itu apa, seperti sosok manusia, tapi seluruh tubuh bagian atas sangat kurus seperti kayu dan memanjang ke atas sampai melengkung, sementara dari pinggul ke bawah, besar dan kokoh seperti batang pohon beringin tua. Sungguh komposisi yang tidak seimbang. Dan sungguh gampang di tebak bahwa sosok inilah yang merasuki tubuh tante Van, menguras kekuatan Melvin, mengirim bayangan di belakang Alfi. Iblis yang bekerja sama dengan Papa Alfi. Hanya saja Papa Alfi memang bodoh. Kemarahan dan dendam merasukinya sampai ia ingin membuat kesepakatan dengan iblis ini, tapi sebenarnya iblis ini hanya menggunakan Papa Alfi sebagai kedok, karena dengan itu ia bisa menemukan jiwa ninth sense lain untuk memanjangkan umurnya. Dan juga yang jelas dia sudah membunuh papa Alfi setelah ia berhasil merasuki Jo. Brengsek!
Seseorang menerjang makhluk itu, membuatnya terlempar dan menggelinding seperti gelondongan kayu.
“Lo nggap pa-pa?” tangan Alfi terulur, aku menyambutnya dengan terharu. Kami berlari ke arah pintu jeruji, dengan sekali tinju pintu itu roboh. Dengan heboh Alfi meringkuk di samping Jo dan membawa cewek itu ke pelukannya. “Lo nggak pa-pa sekarang, gosh! Lo nggak tau gimana cemasnya gue dari tadi” Jo setengah menangis setengah tertawa menanggapi Alfi. “Gue nggak nyangka ruang pikiranmu akan seluas ini” Jo memukul Alfi dengan lemas tapi masih membalas pelukan cowok itu. Benar juga, ini pikiran Jo. Kami ada di dalam kepala Jo. Tidak secara harfiah tentu saja. Yang benar saja!
“Kak cepat!” Tiba-tiba aku mendengar suara Melvin. Ia mendesis dengan tidak sabar. “Oh iya, benar juga” Alfi lalu berdiri, Melvin lalu berlari memeluknya dan dalam sekejab Melvin menghilang di dalam pelukan Alfi. Bola mataku membulat. What the… No! No way!
“Alfi! Melvin—“ aku tidak sempat menyelesaikan kalimatku, Alfi langsung memotongnya dan yang paling membuatku terkejut, ia memotong perkataanku dengan senyum.
“It’s okay” matanya berubah merah, warna merah yang sama yang ku lihat di mata Melvin, senyum tenang, senyum yang sama yang ku lihat di wajah tante Van. Tante Van dan Melvin ada pada diri Alfi.
Sosok dengan komposisi tubuh tidak seimbang tadi muncul lagi. Alfi melotot ke arahnya, tangannya teracung, dan perlahan-lahan meremas kekosongan. Bersamaan dengan itu sosok itu menggeliat, kesakitan, lalu terjatuh ke tanah. Inilah kesempatanku! Aku meraih tangan Jo dan Alfi secara bersamaan dan membawa kami semua keluar dari pikiran Jo. Saat aku menyebutkan kami semua, itu berarti aku, Jo, Alfi dan juga sosok itu.
Posisi ku sekarang tidak sama seperti saat aku pergi tadi. Melvin tidak ada di dekapanku, dan aku tidak ada di ruangan yang sama. Aku berdiri dengan kaku di belakang, sementara Alfi dan Jo berdiri dengan siap siaga di depanku. Sial, apa mereka berniat melindungiku? Seakan aku ini tidak bisa apa-apa?
“Sun, lo belum ngerti cara kerjanya ya?” Jo bertanya tanpa menoleh ke belakang. Aku menaikkan alis dengan bingung.
“Sun” Alfi melanjutkan, tanpa menoleh padaku juga, “lo otaknya, gue sama Jo ototnya, begitulah kerjanya”
Seperti baru di pukul dengan keras tepat di kepala kini aku mengerti. Yosh! Aku mengerti sekarang. Aku ikut berdiri dengan siaga, tapi mataku tidak menatap tajam seperti Alfi dan Jo, justru aku terpejam.
“Bersiaplah kalian berdua” aku berkata dengan pelan, tanpa melihat aku tau Alfi dan Jo menyeringai dengan semangat. “Sekarang” sosok itu mulai terbangun dan menghilang. Lalu tau-tau saja aku ikut menyeringai, “Alfi, kiri” dengan satu arahan Alfi menepis serangan dari sebelah kirinya. “Jo, atas!” Jo melangkah mundur lalu meloncat dan menendang jatuh sosok itu. Jo melakukan semua itu kurang dari waktu satu detik. Kerja bagus Jo!
Jo menendang sosok itu lagi, mengangkatnya ke udara dan menyerangnya berkali-kali. Pukulan pertama di kaki, pukulan kedua di perut, pukulan ketiga di dada, pukulan keempat di wajah. Dengan terengah-rengah ia meluncurkan serangan terakhir, serangan penghabisan. Seiring dengan serangan terakhir Jo, sosok itu berteriak dengan nyaring lalu membatu dan hancur berkeping-keping, menjadi abu.
***
♦Jovika Lee♦
Aku, Sunny dan Alfi hanya berdiri dengan kaku malihat kobaran api melalap rumah Alfi dan kepulan asap mengepul tinggi ke udara. Aku mengeratkan genggaman tanganku pada Alfi, kurasakan tangannya bergetar, “Alfi, gue… uh—Melvin—ah” Alfi menarikku ke pelukannya. Gerakannya begitu cepat sampai aku tidak menyadarinya.
“Sst, bukan salah lo” ia menenggelamkan wajahnya di bahuku, “bukan salah lo, iblis itu yang ngendaliin lo, jadi bukan salah lo… bukan” Alfi terisak pelan. Aku membalas pelukannya, menaruh daguku di bahunya dan menepuk-nepuk bahunya, mengelus punggungnya. Tanpa ku sadari bahunya sudah basah oleh air mataku.
Aku melihat Tante Van dan Melvin berdiri di belakang Alfi, mereka tersenyum padaku, dan menggumamkan kata-kata sebelum menghilang, “terima kasih, tolong jaga Alfi” Aku mengangguk dan ikut tersenyum. Mereka bukan menghilang, mereka akan tetap berada bersama kami, dan dalam diri Alfi.
“So…” Sunny bersiul, membuatku sontak melepaskan diri dari Alfi. Untung saja Alfi sudah berhenti terisak. Menjadi orang keras kepala, Alfi tetap merangkulku dengan semena-mena tanpa malu. “Alfi, congrats! Kamu sekarang adalah seorang ninth sense” Sunny mengulurkan tangan, bukan menjabatnya Alfi malah menarik Sunny dan merangkulnya di sisinya yang lain. Benar juga, Alfi sekarang adalah seorang ninth sense, Melvin memberikan kemampuannya pada Alfi sebelum ia benar-benar menghilang saat itu.
“Ladies…” mata Alfi berubah warna merah, ia melihat padaku dan Sunny bergantian yang ada di dua sisinya, “gue rasa ini yang namanya takdir”
Entah kenapa aku terbahak, padahal aku tidak menemukan kata-kata Alfi barusan itu ada lucu-lucunya, aku hanya ingin… tertawa. Wah! Aku ingin tertawa. Gila, aku pasti sudah gila. Aku balas menatap Alfi dengan mata biru, warna biru netral yang melambangkan kemampuanku, “yeah, lo takdir terburuk dan terbaik yang ada di hidup gue” Alfi terkikik mendengarnya. “gue laper, kalian mau makan apa? Nyokap gue bisa masak apa aja”
***
Aku hendak mengambil jam tangan yang tertinggal di atas wastafel kamar mandi saat tiba-tiba aku melihat bayangan hitam di belakangku dari pantulan cermin. Aku menunduk dan beralih posisi di belakangnya, saat aku hendak menyerangnya bayangan itu menghilang dan seranganku malah mengarah pada kaca. Beberapa pecahan kaca mengenai tanganku dan dalam sekejap tanganku sudah berlumuran darahku sendiri. Ah sudahlah, aku yakin bayangan itu tidak akan kembali dalam waktu dekat. Aku mengibaskan pacahan kaca dari tanganku dan berjalan keluar kamar mandi.
“Jo, kamu sedang apa?” Sunny tiba-tiba saja muncul, reflek aku menyembunyikan tangaku yang berlumuran darah di belakang badanku. “Apa yang kamu sembunyikan? Apa yang ada di tanganmu?” Dasar Sunny selalu saja banyak bertanya. Aku memutar mata dengan sebal.
“Ini, jam tanganku tertinggal di kamar mandi tadi” untung saja tepat waktu. Tanganku yang tadi terluka dan berlumuran darah sudah bersih dan tampak seperti tidak terjadi apa-apa. Darah yang tadi terbuang sudah tersedot kembali dan lukanya sudah sembuh dengan sendirinya. Kemampuan terbaruku, menyembuhkan diri sendiri dengan cepat. Aku masih merahasiakan ini dari Sunny ataupun Alfi dengan alasan yang menurutku cukup rasional.
“Baiklah, ayo berangkat, nanti kita terlambat” aku tersenyum dan mengikuti langkah Sunny keluar rumah.
Alfi yang sedang mengikat tali sepatu sambil mengobrol dengan Ibu di meja makan langsung menoleh begitu Sunny dan aku muncul. “gue pikir kalian menghilang ke dunia lain, kenapa lama sekali? Gue sampai jenggotan nunggu kalian”
“Bagus dong, biar kamu lebih manly kalo jenggotan” Sunny menjulurkan lidah pada Alfi dengan sangat mengejek dan berlari ke belakang Ibu untuk berlindung dari serangan balasan Alfi. Ibu yang ada di tengah-tengah pertengkaran Alfi dan Sunny hanya tertawa dengan ceria. Tanpa ku sadari aku juga tersenyum, sudah lama aku tidak melihat Ibu tersenyum selebar itu. Dengan kepindahan Alfi dan Sunny ke rumah ini, kurasa Ibu akan lebih bahagia dan juga lebih gampang untuk saling menjaga satu sama lain. Manusia seperti papa Alfi, manusia yang termakan kebencian dan dendam, bukan hanya dia satu-satunya manusia yang seperti itu. Jadi sudah jelas, tugas kami tidak berhenti sekedar hanya di situ. Karena tentu saja pasti masih banyak orang yang membutuhkan orang dengan kemampuan seperti kami.
Dunia pasti sudah benar-benar akan kiamat, seorang Jovika Lee akhirnya merasa perlu menolong orang lain. Buah, payah!
“Sudahlah, ayo berangkat!” aku berjalan duluan ke luar rumah. Baru di ikuti Alfi dan Sunny, “kami berangkat tante!” Alfi dan Sunny berteriak bersamaan dengan penuh semangat.
Alfi mempercepat langkah untuk menyamai langkahku dan langsung merangkulku dengan semena-mena. “gue tau rahasia lo” Alfi berbisik tepat di sebelah telingaku, membuatku merinding karena nafas hangatnya yang menghantam kulitku, “menyembuhkan diri? Bagaimana lo melakukannya? Dan kapan lo berencana akan memberitahu kami?”
Aku yakin mataku terbelalak sangat lebar saat ini, aku menoleh pada Sunny yang selalu berjalan di belakangku dan Alfi sambil menenggelamkan diri dalam buku, “Jo, kami tidak akan memaafkanmu lagi kalau kamu berani-berani menyembunyikan sesuatu dari kami” brengsek! Bagaimana mereka bisa tau!? Aku melirik Sunny lewat bahuku dan ia menyeringai sambil menunjuk-nunjuk kepalanya. Oh iya! Benar juga! Sunny membaca pikiranku! Aku lupa satu hal itu.
Yahh mau bagaimana lagi, “gue rencananya baru mau memberitahu kalian dengan syarat,” aku menunjuk Alfi, “lo jangan beberkan seenak jidat that we’re together!” lalu aku menunjuk Sunny, “lo jangan sok akrab sama gue, sikap kalian bisa menghancurkan reputasi gue tau nggak!”
Dagu Sunny nyaris jatuh ke tanah karena terlalu lebarnya ia ternganga, “itu alasan rasional lo!? Reputasi? Blah!” Sunny mendengus-dengus seperti anjing kepanasan dengan tidak percaya.
Sementara seperti biasa Alfi terbahak seakan aku ini baru saja mengatakan lawakan terlucu sepanjang sejarah. Lalu tau-tau saja bibirnya menyapu bibirku, “siapa yang peduli soal reputasi?” Alfi merangkulku lagi dan setengah menyeretku yang terpatung karena serangan bibirnya yang tiba-tiba. Sunny tertawa dengan puas dan mengikuti langkah kaki kami dari belakang.
Sepertinya aku memang tidak bisa menghentikan ataupun menghindari mereka. Kalau begitu hanya tinggal satu pilihanku. Nikmati saja. Lagipula akan repot juga kalau aku harus menyingkirkan mereka, karena mereka sepertinya sudah seperti menjadi setengah dari diriku. I’m sure of that even though that’s the first.
Aku tersenyum dan balas memeluk pinggang Alfi. “baiklah akan ku ajarkan bagaimana teknik ‘heal fast’ itu” Alfi ber-yes-yes-ria sementara Sunny melompat-lompat dengan heboh. Tidak ada yang lebih berarti dari melihat kebahagiaan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku.
Please Read Me;
Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapamu. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.
Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.
Bye.
♦♦♦
Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku!
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!
Comments
Post a Comment