ღPLAYLISTღ
★Season 1;
☞Part 2
★Season 2;
***
Baru saja aku selesai merantai sepeda dengan bersungut-sungut aku merasakan kehadiran lain di belakangku, takut jika kila ini aku bakal di lempar ke selokan atau lebih buruk di gantung di pohon! aku langsung melompat pergi dan lari secepat yang ku bisa.
Aku baru selesai berlari setelah sampai di depan kelas dan di sambut wajah silau Sunny.
“Ngapain kamu lari-lari?” tanyanya dengan ekspresi lugu yang minta di tonjok.
“Eh gila nyawa gue nyaris di ujung tanduk gara-gara elo! Gue malah jadi bulan-bulanan mereka tau nggak!”
Sunny malah menghela nafas dengan tenang, “itu karena kamu bukan ngirim energi positif ke mereka tapi kamu lebih ke marah-marah ke mereka”
“Bagi gue itu energi positif tau!”
“Hey!” aku merasakan tepukan di pundakku dan sebuah tangan melingkar di bahuku, badanku menegang, rasanya mulai panas, “kenapa lo tadi lari-lari?” agh cowok tiang listrik ini memang menyebalkan.
Bukannya menolongku Sunny malah diam, matanya melotot, genggaman tangannya pada buku yang dibawanya mengerat. Apa dia juga melihat bayangan alias benalu itu?
Sunny menggeleng-geleng sejenak sebelum akhirnya merenggut ku dari Alfi. Tangannya menggenggam erat tanganku dan entah kenapa rasa dingin yang menyejukkan langsung mengaliri tubuhku. Rasa panas nya hilang menguap entah kemana. Luar biasa.
“Sory fi, aku mau ngomong sama Jo dulu ya” tanpa menunggu jawaban Alfi, Sunny menyeretku agak menjauh.
“Lo liat?” sergahku.
Sunny menggangguk, “dan pikirannya, astaga, kepalaku sepertinya sudah mau pecah. Energi yang di pancarkannya berbeda, lebih kuat” aku bisa melihat tangannya yang tidak menggenggam tanganku gemetar.
“Sun” panggilku seraya meraih tangannya yang gemetar. Sunny melihatku dengan bingung sebelum akhirnya tersenyum. “gimana bisa lo ngilangin rasa panas dari badan gue?’
“Energi positif, ingat?”
Yah karena Sunny sudah menyelamatkanku kali ini, akan ku bunuh dia lain kali.
***
Kuperhatikan Alfi dari samping, sama sepertiku dia sama sekali tidak memperhatikan guru yang mengoceh sampai berbusa-busa di depan kelas. Dia malah sibuk menekuni ponsel nya.
“Gak usah ngeliatin gue sampai segitunya” serasa seperti ketauan habis mencuri jemuran tetangga aku langsung memalingkan wajahku yang memanas karena malu. Sial kenapa dia bisa menyadarinya.
Walaupun sudah memergoki ku memandanginya Alfi tidak mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Sunny yang melirik ku dari depan lewat bahunya tersenyum simpul. Mengingatkanku akan pesannya tadi pagi, “kamu harus mendekati Alfi dan mencari tau siapa ninth sense itu, benalu yang ada padanya sangat kuat, sepertinya dia sudah melahap habis setengah populasi ninth sense di dunia ini, ingat bersikap biasa saja jangan sampai dia curiga”
Saat kutanya kenapa kita tidak memberitahukan saja padanya tentang makhluk aneh yang menempel padanya Sunny malah menjitak kepalaku dengan sangat kurang ajar, “kalau kita beritahu dia tentang makhluk itu berarti kita juga harus memberitahunya tentang ninth sense, aku yakin bukannya percaya Alfi malah akan mengira kita gila”
Walaupun penjelasan Sunny sangat masuk akal dan aku sangat setuju, ku getok kepalanya dengan buku tebal yang ku bawa. Enak saja dia, berani-beraninya menjitakku dengan semena-mena.
Sekarang aku sangat yakin seyakin yakinnya bahwa Alfi benar-benar bermuka badak bercula satu yang langka alias tidak tau malu! Walaupun kemarin sudah ku bentak-bentak dan sudah ku usir-usir seperti anak anjing dia sama sekali tidak marah padaku. Salut sih. Padahal bukannya dia tidak punya teman, walaupun anak baru banyak anak-anak lain yang ingin menjadi temannya, bahkan mungkin jadi keset kakinya sekalipun. Terutama para cewek-cewek yang langsung naksir berat padanya.
Bukannya meremehkan tapi tampang Alfi jauh di atas kata standar, bukan jauh ke bawah tapi ke atas. Matanya besar dan berkilauan, hidungnya mancung, bibirnya selalu tersenyum memerkan kekayaan giginya yang putih dan berjajar rapi, rambutnya berwarna agak kecokelatan dengan model shaggy yang sedang ngetren, kadang poninya yang panjang dibiarkannya menutupi dahi kadang juga di sibakkan ke belakang. Alfi juga tinggi banget. Kulitnya putih alami dan bukan putih pucat sepertiku. Dan satu hal yang selalu membuatku gemas adalah telinganya yang besar dan hampir mirip seperti telinga para peri di cerita-cerita fiksi.
“Sory soal yang kemaren” kataku nyaris menyerupai bisikan, tapi karena telinga Alfi besar aku yakin dia bisa mendengarnya.
Akhirnya Alfi mengalihkan pandangannya dari ponselnya padaku, “it’s okay” senyumnya.
Saat itu juga aku yakin jantungku hampir meledak karena tiba-tiba berdetak lebih kencang dari biasanya.
***
Butuh berapa sendok gula untuk membuat secangkir teh menjadi manis? Aku tidak tau. Tapi yang ku tahu hanya butuh satu senyuman Alfi untuk bisa membuatku nyaris di ambang terserang serangan jantung.
Sejak acara perminta maafan ku itu, seperti yang Sunny bilang aku harus mencari tau tentang ninth sense. Sebelumnya memang sih aku menganggap ninth-sense-thingy yang di ceritakan Sunny ku anggap bualan semata. Tapi jika tidak ada Sunny dan pengetahuannya yang jauh dari ambang kewarasaan maka aku ini apa? Cewek yang kewarasannya sudah hilang karena sering diganggu perasaan-perasaan tidak enak dari makhluk dan akhirnya membuatku menjauhi sosialisasi dengan sejenisku alias manusia? Jika tidak ada Sunny aku tidak tau harus berpegang pada siapa, dengan adanya Sunny aku jadi merasa tidak sendiri lagi.
“Hey kok ngelamun?” Sunny mengibaskan sumpitnya di depan mukaku, membuat saus kacang dari mie saus kacang mencuigakan yang dimakannya menciprat ke pipiku.
“Sun!” bentakku marah. Sebelum aku sempat mengambil tisu untuk membersihkannya, Alfi sudah menyapukan sapu tangannya ke pipiku. Sunny malah cekikikan melihat adegan di depannya.
Inilah rutinitas makan siang ku sekarang. Biasanya aku makan siang sendiri atau bahkan tidak pernah makan siang. Tapi sekarang Alfi malah selalu menyeretku ke kantin dan memaksa ku makan. Sama seperti sebelumnya setiap kontak fisik yang di kirimkan Alfi padaku entah itu gandengan, rangkulan, atau hanya dorongan kecil di punggung selalu mengirimkan rasa panas yang luar biasa ke tubuhku. Karena itu aku selalu membawa Sunny. Jika Alfi merangkulku aku menggandeng Sunny, jika Alfi menggandengku aku merangkul Sunny. Tanpa sadar kami menjadi geng kecil aneh yang orang-orangnya sangat tidak serasi.
Alfi, cowok baru populer bertampang di atas rata-rata. Sunny, nerd bermuka tolol dan berkacamata besar yang juga tolol. Aku, Jo, cewek dingin bermuka datar yang suka melotot pada siapapun di sekitarku.
Seisi sekolah memang mulai heboh dengan kedekatan kami bertiga tapi sekarang ini pendapat orang lain sangat tidak penting. Yang penting adalah menyelamatkan siapapun ninth sense yang perlu kami selamatkan.
Lagi-lagi Alfi terus menekuni ponselnya, mengetik dengan cepat di atas layar sentuh ponselnya dan menunggu pesannya di balas sambil menggigiti ujung ponselnya dengan gusar. Seperti sekarang ini, Alfi tetap memelototi ponselnya seakan benda itu akan tumbuh kaki dan lari jika tidak dipelototi sampai matanya hampir jatuh dari rongganya.
“Lo lagi nunggu pesan dari siapa sih?” tanyaku sesantai mungkin sambil menyentuh lengannya, di sisi lain tanganku yang lain menggenggam tangan Sunny di bawah meja untuk menekan rasa panasnya.
“Bukan siapa-siapa” jawab Alfi singkat sambil mengembalikan ponselnya ke kantung celananya.
Aku mencium bau kebohongan begitu juga dengan Sunny, “jangan bohong, ayo cerita aja sama kami, ada apa sih?” desak Sunny tak sabar.
Sambil menggigit-gigit bibirnya dengan gelisah Alfi akhirnya menghela nafas dan mulai bercerita, “gue lagi nunggu kabar dari nyokap tentang adik gue, Melvin, sakitnya makin parah akhir-akhir ini”
Alisku naik sebelah, “sakit apa adek lo?”
Lagi-lagi Alfi menggigit-gigit bibirnya dengan gelisah, “kalo gue cerita kalian nggak bakal nganggap gue gila kan?” aku dan Sunny kompak menggeleng, “nyokap sama adik gue sempat kecelakaan beberapa bulan lalu, nyokap gue cuman sakit patah tulang kaki dan jari juga memar-memar sedikit tapi itu pun udah sembuh total sekarang, sementara adik gue kayaknya lebih parah, dia mental beberapa meter dari mobil dan koma selama 5 hari, pas dia bangun dia beda, Melvin jadi ketakutan, katanya dia ngeliat sosok-sosok aneh dimana-mana.” Sekarang sepertinya mulai menarik, “Melvin sering teriak-teriak gak jelas, jambak-jambak rambut, kadang juga jeduk-jedukin kepalanya sendiri ke dinding, nyokap sama gue langsung panik, Melvin.. Melvin kayak jadi gila”
Tanpa sadar aku menggenggam tangan Alfi.
“Boleh gak kami jenguk Melvin?” tanya Sunny mengutarakan isi pikiran yang sama denganku. Apakah Melvin adalah orang yang kami cari? Jawaban itu akan kami dapatkan sore ini.
Karena itu setelah pulang sekolah, aku dan Sunny memutuskan untuk langsung pergi ke rumah Alfi. Dan saat ada di mobil Alfi itulah aku baru menyadari saat tadi aku menggenggam tangan Alfi aku tidak menggenggam tangan Sunny, dan tidak ada rasa panas di tubuhku.
***
Alfi memasukkan mobilnya ke garasi setelah menurunkan ku dan Sunny, begitu kami mengetok pintu wanita sekitar berumur 30 tahunan menyambut kami di depan pintu.
“Ini mamaku, ma ini Jo dan Sunny” Alfi memperkanalkan seraya kami menjabat tangan wanita cantik itu. Dan betapa terkejutnya aku tangannya sangat dingin. Sunny juga menyadari itu, dia langsung menggamit lenganku dan berbisiki sepelan mungkin, “jangan lost control, sepertinya ini akan jauh lebih berbahaya dari yang kubayangkan” aku tidak tau pasti apa maksudnya itu tapi aku hanya membalasnya dengan mengangguk kecil.
Saat masuk ke dalam rumah dan dipersilahkan duduk di ruang tamu sementara mama Alfi pergi untuk membuat minum dan Alfi pergi untuk memanggil Melvin aku langsung berbisik-bisik heboh pada Sunny.
“Sun! rumahnya dingin banget! Apa Alfi nggak sadar rumahnya kayak rumah Eskimo di kutub utara gini?”
“Jo aku punya firasat kalau mamanya Alfi bukanlah mamanya Alfi”
“Hah? Maksud lo apaan?”
Belum sempat Sunny menjawab tante Vannesa atau tante Van---mama Alfi---kembali dengan nampan berisi dua gelas cairan ungu kental yang sangat mencurigakan. “maaf ya lama” Sunny tersenyum ramah saat akhirnya tante Van duduk di sofa seberang kami, karena aku memang tidak hobi senyum-senyum pada orang aku hanya memasang my famous poker face.
“Jadi kalian temen sekolahnya Alfi ya?” tante Van tersenyum ramah.
“Iya tante” jawab Sunny menanggapi basa-basi tante Van. Aku tidak mendengarkan percakapan mereka lagi dan menatap sekeliling ruangan ruang tamu yang cukup besar itu. Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah menuruni tangga dan Alfi muncul dengan anak laki-laki bermuka pucat dan dalam kasusku cukup seram. Rambutnya acak-acakan, ada lingkaran hitam di sekeliling matanya dan bibirnya nyaris berwarna putih. Tubuhnya yang kurus di tutupi kaus jersey yang kebesaran.
Matanya langsung membelalak begitu melihatku dan seketika Melvin langsung berlari ke arahku dan memelukku. Demi lautan api dan air ini pertama kalinya aku di peluk dengan semena-mena, apalagi oleh anak kecil!
“Hai” sapaku kikuk sambil mengusap kepalanya, lebih seperti merapikan rambutnya. Aku risih sekali dengan rambut riap-riapan seperti tidak pernah disisir ini. Tanganku langsung kaku saat segenggam rambut rontok begitu saja dan berjatuhan di lantai begitu ku lepaskan tanganku.
“Tolong” bisik Melvin lirih, membasahi seragam sekolahku dengan air matanya.
Aku menepuk-nepuk punggungnya dan mengajaknya berdiri. “gimana kalau kita jalan-jalan sebentar?” usulku.
“Tidak, Melvin tidak boleh pergi, dia masih sangat sakit” tolak tante Van mentah-mentah. Hmm interesting. Cara responnya yang sangat cepat mengundang senyum sinis di bibirku.
“Tidak apa-apa tante, hanya di dekat-dekat sini kok, kami pasti akan menjaganya” tambah Sunny, sepertinya dia menyadari maksudku sebenarnya.
“Iya ma, biarkan Melvin keluar sebentar, aku janji tidak akan membiarkan apapun terjadi padanya, lagipula Melvin mau kan jalan-jalan sebentar?” Melvin mengangguk-ngangguk lemah sambil terus memeluk pinggangku dan menenggelamkan mukanya di perutku.
“Baiklah tapi jangan lama-lama ya”
Alfi mengeluarkan mobilnya, karena Melvin terus meringsek ke arahku aku tidak bisa duduk di depan seperti tadi, jadilah Sunny yang duduk di samping Alfi sementara aku dan Melvin duduk di kursi penumpang belakang.
“Sun-“ belum sempat aku menyelesaikan kalimatku Sunny sudah memotong.
“Aku tau” dia terlihat berpikir keras dan aku memutuskan untuk tidak mengganggunya, Melvin yang tidur selonjoran dan menempatkan kepalanya di pangkuanku terdiam lama.
“Melvin kan? Aku Jo, temen sekolah kak Alfi” aku sendiri terkejut dengan nada ramah yang ku gunakan, aku juga bisa melihat keterkejutan Alfi lewat kaca spion dan Sunny yang langsung menoleh ke belakang.
“Kak Jo mau menolongku kan?” tanya Melvin lemah.
“Iya, kok kamu bisa tau? Siapa yang bilang?”
“Mama”
“Mama mu yang mana?” Sunny menyela dengan sengit.
Melvin menatapnya sejenak sebelum menjawab, “pokoknya bukan mamaku yang di rumah sekarang ini” jawaban Melvin sukses membuat Alfi shock dan mengerem mobil dengan tiba-tiba. Jika aku tidak cepat berpegangan mungkin aku dan Melvin sudah terlempar ke luar jendela.
“Fi lo kenapa sih?!”
“Melvin! Apa maksud omonganmu tadi?” suara Alfi terdengar dingin membuat Melvin menciut di pangkuanku.
“Kak Alfi nggak perlu tau! Setiap aku menceritakannya pada kak Alfi kakak nggak pernah mau percaya!” teriak Melvin frustasi.
“ITU KARENA ELO TERUS NGOMONGIN OMONG KOSONG BAHWA YANG DI RUMAH ITU BUKAN MAMA KITA!” Alfi balas berteriak dan Melvin mulai menangis.
“Yang di rumah memang bukan nyokap lo fi” ucapku tanpa sadar.
“Jo!” Sunny membentakku dengan tidak setuju, “kita nggak bisa beritahu dia yang sebenarnya” desisnya sambil melotot-lotot.
“Dia perlu tau Sun! toh Melvin juga udah cerita kan sama dia walaupun nggak percaya, gue nggak peduli Alfi bakal nganggap kita gila atau apa, lo nggak liat keadaan Melvin? That demon sucked the soul out of Melvin’s body!”
Akhirnya Sunny menyerah, dia menceritakan semua yang diceritakannya padaku pada Alfi. Yang tertinggal sekarang hanyalah Alfi yang diam tanpa ekspresi. Aku tak tau apa itu artinya tapi kuharap itu bagus.
“Fi pas gue salaman sama nyokap lo gue ngerasain tangannya dingin banget, pandangannya kosong, senyumnya palsu dan menipu banget”
“Aku bahkan bisa ngeliat pikirannya, padahal aku nggak bisa membaca pikiran manusia, dan pikiran mama mu kosong fi, hitam, gelap”
Alfi kelihatan semakin bingung. “itu nggak mungkin! Waktu mama meluk gue pagi ini dia hangat banget kok, nggak dingin, senyumnya nggak ada palsu-palsunya, semuanya normal kayak nyokap gue!”
“Itu karena kamu bukan ninth sense!” Sunny kelihatan semakin geram, “aku sama Jo adalah ninth sense dan kemungkinan besar Melvin juga!”
“Melvin? Gimana dia bisa? Dulu dia normal kok nggak kayak sekarang!” Alfi tetap tidak mau menyerah. Selain bermuka badak ternyata dia juga keras kepala banget!
“Itu karena saat kembali dari koma dia nggak kembali sendiri! Dia membawa sesuatu yang lain bersamanya!” aku bisa melihat urat-urat di pelipis Sunny mulai menonjol. Cewek itu benar-benar terlihat sangat geram.
Bukan salah Alfi juga, kalau aku jadi Alfi mungkin aku akan sama terkejutnya sepertinya. Semua kenyataan yang jauh dari ambang batas kewarasan ini memang sangat menyebalkan. Untung-untung Alfi tidak sampai gila saat mendengar ini. Melvin yang sejak tadi diam, aku tau dia juga khawatir dengan kakaknya dan aku tau pernyataan Sunny bahwa dia membawa hal lain bersamanya saat dia kembali itu memang benar.
“Jadi kalian nyuruh gue percaya bahwa yang ada di rumah itu bukan nyokap gue? Jadi siapa dia hah? Siapa?! Apa kalian bisa jelasin itu?” aku menatap Sunny, aku harap dia bisa menjelaskannya karena sejujurnya aku tidak bisa menjelaskan itu.
“Itu makhluk yang sama yang…”
Aku tidak mendengar perkataan Sunny lagi. Tiba-tiba keadaan di sekitarku berubah aku bahkan sudah tidak merasakan cengkeraman tangan Melvin pada kausku. Aku tetap ada di mobil tapi mobil yang berebeda. Di depanku ada tante Van yang memegang setir kemudi dan Melvin yang duduk tenang disampingnya sambil mendengarkan lagu anak-anak dari radio. Semuanya begitu tenang dan penuh kehangatan sebelum sebuah truk melompat melewati pembatas jalan dan ringsek mengimpit mobil kami. Aku terlempar sampai ke sisi mobil, susah payah aku membuka pintu mobil dan keluar dari situ. Darah segar mengucur dari pelipis dan juga belakang telingaku. Tangan kiriku juga sepertinya patah karena sempat terhantam tadi. Aku melihat supir truk yang berhasil keluar dari himpitan kepala truk dengan mobil tante Van, dia mengumpat-ngumpat sesuatu tentang rem blong dan oli bocor.
Supir truk yang juga berlumuran darahnya sendiri itu langsung merasa lemas saat melihat tante Van dan Melvin tidak bergerak. Jalan tol yang kami lewati terlihat sepi dan tidak ada satu kendaraan pun yang sepertinya akan lewat. Supir truk itu pun memutuskan untuk menelepon ambulans dan walaupun terlihat ragu-ragu dia menelepon polisi.
Denyutan rasa sakit di pelipisku serasa seperti bisa membunuhku. Sambil memegangi tangan kiri ku, aku berjalan menghampiri tante Van dan Melvin yang sama sekali tidak bergerak. Kedua tangan tante Van yang memegang setir tertekuk tak wajar, sebelah matanya terbuka dan sebelahnya tertutup, darah keluar dari kepalanya yang terbentur setir mobil dan tangannya yang tertekuk tak wajar, saat itu juga aku yakin tante Van sudah tiada. Melvin sepertinya pingsan, aku masih melihat dadanya naik turun sesekali, tapi keadaannya sangat lemah. Jika di ambulans tidak cepat datang mungkin dia akan meninggal karena kehabisan darah.
Tak lama kemudian raungan sirine ambulans terdengar dan keadaan disekitarku berubah menjadi seperti semula.
“…karena itu kamu harus percaya sama aku dan Jo, ngerti?” aku mendengar Sunny menyelesaikan kalimatnya, walaupun terlihat ragu Alfi menyetujuinya.
Melvin menarik-narik lengan bajuku dan menatapku penuh tanya, “apa yang kakak liat?” pertanyaan Melvin itu sukses menarik perhatian Alfi dan Sunny. Melihat wajah polos Melvin membuatku tak tega menceritakan apa yang sebenarnya ku lihat. Jadilah aku hanya menggeleng kecil dan bertatapan dengan Sunny penuh persekongkolan.
Suasana tiba-tiba tenang begitu Alfi kembali menjalankan mobil. “jadi sekarang kita mau kemana?”
Aku dan Sunny menjawab kompak, “gudang netral”
Please Read Me;
Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapamu. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.
Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.
Bye.
♦♦♦
Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku!
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!
Comments
Post a Comment