Memang di dunia ini nggak ada yang sempurna, tapi namanya juga manusia pasti selalu pengen yang sempurna. Aku contohnya. Aku tau aku naif banget. Aku selalu menganggap semuanya sempurna, seperti yang aku inginkan, baik-baik saja, dan akan seperti itu selamanya. Tapi bodohnya itu tidak mungkin, sesuatu pasti akan berubah. Pasti akan hilang, akan rusak, dan tidak akan mungkin di perbaiki lagi, tidak akan mungkin bisa kembali lagi.
Awalnya
semuanya sangat menyenangkan, aku, abang, mama dan papa. Layak nya kakak-adik
yang normal, saudara, aku dan abang selalu bermain bersama, kadang juga kami
terlibat pertengkarang kecil yang kalau di lihat kembali sangat kekanak-kanakan
dan konyol. Mama yang suka memasak dan selalu dengan senang hati membuatkan
berbagai makanan enak. Papa yang sangat baik dan perhatian, selalu memberikan
banyak mainan dan melimpahkan kasih sayang. Berempat kami selalu merasa bahagia
dan disaat hari bahagia yang seharusnya kami lalui bersama hal buruk terjadi.
Papa di renggut dari kami, di ambil lagi oleh penciptanya dan tidak ada yang
bisa kami… aku lakukan selain menangis. Dari situlah semuanya berubah.
Hari itu
aku sedang berkumpul bersama keluarga besarku karena besok adalah Hari Raya
jadi kami semua berkumpul di rumah Kakek-Nenek. Tidak ada firasat atau
tanda-tanda. Aku masih sangat ingat, aku sedang berguling-guling di atas kasur
saat ponsel mama berbunyi, beliau langsung pergi ke kamar paling ujung dan
membuka lemari tempat dimana ponselnya berada. Mama mengangkatnya pas di depan
lemari, sesaat beliau terdiam mendengar perkataan orang di saluran lain telefon
dan aku terus memperhatikan mama. Lalu itulah saat mama menyebut kata-kata itu,
kata-kata dimana kau mendengar ada orang yang meninggal. Lalu mama menutup telfon
dan aku lupa apa yang terjadi selanjutnya. Yang kusadari papa yang harusnya
dijadwalkan terbang dari singpur ke sini agar beliau bisa menghabiskan hari
raya bersama kami, bersama ku, semua itu sirna sudah.
Disaat
aku seharusnya bersenang-senang memakan banyak kue dan mendapat banyak uang
jajan dari orang-orang baik, aku hanya diam di rumah, melihat mama terpuruk,
tertidur di kasur dan menangis. Aku tidak tau berapa lama mama terus menangis,
yang ku tau selanjutnya adalah aku ikut menangis bersamanya. Dan aku
benar-benar tidak ingat apa reaksi dan apa yang dilakukan abang ku saat itu,
aku bahkan tidak tau apakah ia juga menangis atau tidak. Lalu para keluarga
yang seharusnya datang untuk bersilaturahmi, berbagi cerita dan tawa sambil
menikmati kue kering yang enak dan minuman manis yang segar, malah datang untuk
berbela sungkawa, menenangkan dan ikut merasa sedih. Aku ingat tetangga ku yang
selalu ikut menjaga ku dari kecil dan akrab ku panggil Bude, menepuk-nepuk
kepala dan mengusap punggunggku dengan lembut saat aku terisak.
Lalu yang
kutau selanjutnya, mama pergi ke singapur untuk menghadiri pemakaman, aku dan
abang ingin ikut serta dibawa tapi tidak di izinkan oleh nenek lalu kami pun
bersarang di rumah nenek. Mulai bersekolah disana dan memulai membangun
segalanya lagi disana. Teman dan tentu saja perasaan yang sempat berantakan.
Hari demi
hari, waktu demi waktu, aku mulai terbiasa, berhasil mengatasi dan melewati
semuanya. Empat tahun berlalu dan saat Hari Raya yang lain datang, mama pulang,
bersama lelaku lain dan dua anak cowok lain, kembar. Semuanya terasa begitu
aneh dan janggal saat tiba-tiba aku harus memanggilnya ‘papa’. Aku lupa
hari-hari penuh rasa canggung yang sangat menganggu itu, melibatkan beberapa
perjalanan keluar kota dan lain-lain. Karena itu aku akan hanya mengaburkan
bagian itu dan berlanjut ke yang selanjutnya.
Setelah
lulu dari SD aku di bawa ke Batam. Membuatku meniggalkan teman-temanku dan
mengalami cultur shock. Aku kembali
tinggal di rumah tempat dulu keluargaku yang utuh dan sempurna tinggal. Tentu
saja rumah ini masih ada dan belum atau tidak akan mungkin dijual karena papa
bekerja sangat keras untuk rumah ini dan isinya. Lagipula aku tidak mungkin
tinggal bersama ‘mereka’ yang walaupun rumahnya terdapat di perumahan yang cukup
mewah sangat sempit karena banyak perabot dan tidak ada ruangan pula untuk ku
dan abang. Tahun pertama SMP aku dan abang tinggal bersama Om dan Tante yang
sengaja ikut ke Batam untuk bekerja. Tahun kedua bersama tante dan seorang
pembantu. Masih tahun kedua tante pergi untuk membina keluarga sendiri dan
tinggallah aku, abang dan pembantu yang entah beberapa kali berganti-ganti.
Tahun ketiga masih tetap sama dan aku mulai terbiasa dan menyukai lingkunganku
saat itu.
Kelulusan
abang memutuskan pergi kuliah keluar kota, pembantu sudah lama di tiadakan
karena terlalu banyak menimbulkan masalah dan tinggallah aku sendiri. Aku pun
pindah bersama mama dan ‘mereka’ yang untungnya sudah pindah ke perumahan yang
lebih sederhana tapi dengan ukuran rumah yang lebih besar. Dan aku mendapat
ruanganku sendiri walaupun jauh dari kata sempurna dan agak absurd, tanpa pintu
dan lebih mirip seperti ruangan kecil di atap. Tapi menjadi aku yang sangat
ingin membuat semuanya sempurna, aku menyempurnakan ruangan itu sendiri. Menambahkan
tv, meja, menempeli dindingnya agar terlihat ramai dan tidak membosankan. Salah
satu kekurangan, dari dulu aku suka memutar musik keras-keras dan apabila itu
kulakukan di ‘kamar’ ku yang sekarang itu akan membuat suaranya menggema dan
memenuhi seluruh seluk beluk rumah.
Aku suka
kegelapan, kadang aku membuat ruangan itu gelap sementara aku diam dan hanya
diterangi lampu dari layar laptop, mendengarkan lagu lewat headset. Dan kadang
itu sering membuat orang-orang yang ada di bawah menganggap aku tidak ada atau
mungkin tidak menyadari kehadiranku. Aku lebih suka melihat dan mendengarkan
daripada berbicara. Dan karena itu juga aku bisa mendengar setiap suara yang
ada di bawah. Aku cepat hafal dengan suara orang (dan sering lupa dengan wajah
mereka) dan aku sangat peka dengan bau. Aku sensitif.
Kadang
aku sering diam dan mendengarkan apapun yang ada di bawah. Dan kadang aku
bertanya pada kekosongan, kenapa aku disini? Aku tidak mau disini, aku ingin
ada dimanapun selain disini.
Mereka,
lelaki humoris yang kadang bisa sangat serius dan jika marah hanya bisa diam
dan membanting pintu, yang dulunya sangat baik telah membuat kesalahan yang
sangat besar, bukan padaku tapi pada mama, yang sangat kubenci karena mama
tidak mau bertindak karena ia memikirkan hasil kedepannya dan malah menyakiti
dirinya sendiri, cewek berkisar 20 tahun ke atas yang bekerja dimana
penghasilannya untuk senang-senang semata sementara biaya hidupnya masih minta
ditanggung orang tua, kembar idiot yang bahkan lebih idiot dari
seidiot-idiotnya orang, yang satunya berpikir bekerja jadi montir butut yang
menjijikkan itu lebih baik dan gampang daripada berjuang mendapat gelar di
bangku kuliah di zaman dimana gelar adalah segalanya ini, yang satunya lagi
sepertinya tidak punya urat malu sama sekali, sudah tidak naik kelas dua kali,
bukannya berusaha dan pengen cepat-cepat keluar dari sekolah yang aku yakin
sudah bosan sekali padanya itu malah membuat rapotnya warananya merah semua,
alasannya sama bengkel kotor yang rendahan menurutnya lebih baik dari apapun,
mereka bahkan ingin berhenti sekolah dan bertindak seperti pengembara jalanan
alias gelandangan karena mereka kasian pada ‘papa’, karena merek dipaksa.
Adakah yang lebih idiot dari mereka?
Itulah
hidupku sekarang, tinggal di bawah satu atap yang ngomong-ngomong panas banget
dengan orang seperti itu. Aku bahkan tidak ingin repot-repot berbicara pada
mereka. Aku berusaha meminimalisir kegiatanku di ruangan bawah saat mereka
disekitar. Aku hanya menyingkir jauh atau berlalu lewat atau bahkan melangkahi
mereka. Menganggap mereka tidak ada.
Aku tidak
sabar agar waktu cepat berlalu karena mama menjanjikan akan cepat pergi dari
sini saat itu tiba. Karena ini bukan keluarga atau orang-orang yang akan
kupilih untuk tinggal bersama dan berbagi cerita, ini hanyalah takdir dan
cobaan yang harus kulewati. Dan aku hanya perlu bertahan karena ini akan cepat
berakhir. Iyakan?
Ini
hanyalah sudut-sudut gelap yang harus kulewati walaupun terkadang aku tidak
hanya selalu bisa lewat melainkan harus menetap disana untuk beberapa saat.
Inilah
apa yang sebenarnya yang ada di kepalaku. Dan aku tidak peduli dengan pendapat
kalian karena bukan kalian yang melewati ini. Dan aku juga tidak peduli bila
salah satu diantara orang yang merasa ada di atas membaca ini, karena ini sudut
pandangku dan tidak ada yang bisa kau lakukan untuk mengubah sudut pandang
diatas. Karena semuanya sudah berlalu dan menggores dalam-dalam di hati.
Ini hanyalah sudut-sudut gelap yang harus kulewati dan tidak mungkin ku tempati karena tujuanku adalah tempat yang lebih terang☼
semoga semuanya cepat berlalu, aku juga menginginkan hal yang sama, ingin agar waktu bergulir lebih cepat :")
ReplyDelete