Skip to main content

[CERPEN] SINNER


\Fera\
Aku tidak pernah mau berharap, akan apapun, terlebih pada orang lain. Saat kau mengaharapkan sesuatu dan hal itu tidak terjadi, rasa kecewa, marah, dan sedih serentak akan membunuhmu sedikit demi sedikit. Aku sama sekali sudah berhenti berharap dan percaya pada orang lain saat orang itu menghancurkan masa depanku.

Semua orang mengenalku sebagai senior yang sempurna, dikagumi, dipuja, bahkan dielu-elukan kapanpun dan dimanapun. Selama tiga tahun aku bersekolah di SMA swasta ini aku tidak pernah menjabat peran penting, aku bahkan yakin aku tidak pernah mengikuti organisasi apapun. Bagaimana aku bisa sepopuler ini? Jawabannya gampang, permainan lidah. Setiap orang pasti akan merasa tersanjung jika dihujani pujian dan kata-kata manis. Kiasan itu memberikan kesan terdalam tapi juga dangkal, karena hanya dengan kata-kata mereka mengira aku baru saja menyelamatkan mereka dari dasar jurang yang dalam dan gelap. Padahal aku bersumpah, satu-satunya anggota tubuhku yang bergerak hanya lidah, bukan tangan yang selalu terulur dan setia memeluk atau air mata yang bersedia jatuh hanya untuk saling merasakan kesedihan dan rasa sakit satu sama lain.

Itu menyedihkan.

Aku mungkin sudah kehilangan perasaanku sejak setahun lalu. Sejak kejadian itu…

“Fera, kamu tidak apa-apa? Tiba-tiba kamu pucat dan banyak berkeringat,” Bu Indah, guru Bahasa Indonesia yang meminta bantuanku, dalam tanda kutip besar, mengusap keningku yang mulai dipenuhi titik-titik keringat. Aku tersenyum dan hanya menggeleng. Setelah mengusap puncak kepalaku, beliau kembali pada kertas-kertas ulangan yang sedang dikoreksinya. Diam-diam aku memutar mata, duduk diam memang kadang membuatku teringat akan hal itu, tapi aku tidak punya pilihan lain, Bu Indah percaya bahwa aku sedang membantunya mengoreksi hasil ulangan padahal yang kulakukan sejak tadi hanya duduk diam disampingnya sambil melontarkan kata-kata manis. Seperti sebuah hipnotis.

Aku berdehem, “Bu, bagaimana kelanjutan kasus pembunuhan di sekolah ini Bu? Apakah sudah ditangani dengan baik?” aku mengangkat topik hangat itu dengan hati-hati dan selembut mungkin seakan aku sedang membicarakan hal sepele.

Sontak Bu Indah langsung heboh ber-ssst-ssst-ria untuk membungkamku, tapi beliau tetap menjawab, “kamu jangan bilang siapa-siapa ya, polisi sudah menutup kedua kasus pembunuhan yang terjadi di sekolah kita dua minggu terakhir ini, katanya ini kasus bunuh diri, pihak keluarga merasa malu jadi mereka tidak ingin mempublikasikannya, yah begitulah kurang lebih.” Aku mengangguk-angguk dengan wajah polos. Merahasiakannya? Kalian salah besar, berita itu sudah tersebar bahkan sampai ke dunia maya. Aku bahkan tidak merasa melebih-lebihkan saat kubilang mungkin orang dari belahan bumi lain sudah mengetahui berita ini, berkat internet.

Aku hanya ingin mengkonfirmasi kebenaran. Toh semua bukti memang menunjukkan kalau ini adalah kasus bunuh diri. Tapi ini tidak membantuku untuk merasa tidak khawatir. Karena pembunuhan yang terjadi selama dua minggu terakhir berturut-turut ini benar-benar sukses membuat sekolah yang awalnya terkenal tentram, damai dan bebas dari tawuran menjadi sekolah paling menyeramkan. Predikat yang didapat dalam waktu singkat itu menurutku pantas mendapat penghargaan, jika ada.

Bel pulang sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu. Karena itu aku menikmati waktuku berjalan menyusuri koridor yang sepi. Perasaan damai ini, perasaan seakan aku hanyalah murid normal dengan kehidupan normal, sudah lama aku tidak merasakannya. Tapi, aku tau perasaan ini tidak akan bertahan lama saat aku melihat sosoknya berjalan dari arah berlawanan, menuju kearahku. Cepat-cepat aku membalik badan dan sedikit berlari menjauh. Langkah-langkah cepatku di kejar langkah-langkah lebar hingga lenganku di tarik dengan paksa sampai aku nyaris jatuh terjengkang kearahnya.

“Berhentilah berlari, berhentilah menghindariku, tolong,” suaranya begitu dekat di samping telingaku sampai aku bisa merasakannya nafasnya yang hangat. Aku berbalik, kepalan tanganku mengenai hidungnya, aku melihat secercak darah tapi itu tidak menghentikanku, satu lagi kepalan tanganku mengenai lehernya dan dadanya berkali-kali sampai ia terbatuk-batuk.

Dengan nafas putus-putus, aku menatapnya penuh kebencian, “Bukannya sudah kubilang jangan berani-berani bicara denganku lagi!” dia menatapku dengan ekspresi itu lagi, ekspresi kesedihan seakan ia adalah orang paling menderita di dunia ini. Aku mengalihkan pandangan, setahun sudah ia mengikuti program pertukaran pelajar ke Australia, ia kembali sekitar dua minggu yang lalu dengan perasaan bahwa keadaan disekitar sini akan sama persis seperti setahun lalu saat ia pergi. Ia salah besar. Semuanya sudah berubah. Aku sudah berubah. Dan yang paling ku benci adalah, ia mengira hubungan kami masih sama saperti setahun lalu, padahal hubungan kami sudah benar-benar selesai tepat sedetik saat ia memutuskan untuk pergi.

“Fera—“

“Jangan sebut namaku! Kau sudah tidak pantas menyebut namaku! Bangunlah Ray! Semuanya sudah berubah! Seharusnya kau tidak kembali, bahkan kau sendiri tau betul bahwa kau punya kemampuan lebih untuk tetap bisa melanjutkan sekolah disana sebagai murid reguler!” Aku menarik nafas panjang, mengeluarkan makian dalam sekali nafas memang melelahkan jadi aku melanjutkan dengan suara rendah, “Kau seharusnya tidak kembali.”

Ray berusaha meraih tanganku tapi aku menampiknya, “Aku tidak tau apa yang sedang terjadi, aku baru saja kembali dan aku dengar terjadi pembunuhan di sekolah ini?! Aku sangat khawatir padamu sampai rasanya aku tidak bisa bernafas. Terlebih lagi aku kembali dan kau sudah sangat berubah, dengan alasan yang tak jelas, kalau tau akan terjadi seperti ini lebih baik aku tidak usah pergi…”

“Ya, kau memang seharusnya tidak pergi,” aku mengulang kata-katanya dan melanjutkan dengan suara rendah,  “dan penyesalan memang selalu datang terlambat.“ semua tentang Ray adalah kesalahan, semua tentang Ray adalah malapetaka, semua tentang Ray harus dilupakan. Aku mulai melangkah pergi dan kali ini Ray sama sekali tidak berusaha menghentikanku.

***

\Ray\
Aku tidak mengenal Fera yang baru saja ku lihat. Aku tidak tau Fera yang dulu ku kenal berada dimana yang jelas Fera yang baru saja melangkah pergi bukanlah Fera yang dulu ku kenal, Fera-ku. Mataku terasa pedas, kepalaku panas, nafasku naik turun tidak beraturan. Sebenarnya apa yang telah terjadi selama setahun terakhir aku pergi?

Aku nyaris berteriak, tapi tertahan saat ponselku bergetar. “Halo?”

“Ray, pergilah ke lab komputer lama, sekarang.”

Sambungan terputus. Suara itu, Markus? Kenapa dia dengan seenaknya memberiku instruksi tidak jelas begitu? Walaupun tidak jelas dan sangat mencurigakan, rasa penasaran mendorongku untuk pergi ke lab komputer lama di gedung sekolah paling belakang yang kini hanya digunakan sebagai tempat perbaikan dan penyimpanan komputer rusak.

Hari mulai gelap, lampu di sepanjang koridor secara otomatis menyala. Begitu aku sampai di lab komputer, Markus menyambutku dengan senyum lebar yang sangat tidak diperlukan dan tangan terbuka seakan mengundangku ke dalam pelukannya yang jelas-jelas tidak akan ku lakukan. Lebih baik aku memeluk pohon kaktus daripada memeluk teman yang tidak tau malu seperti Markus. Percaya atau tidak kami dulu pernah berteman baik. Karena beberapa hal kami jarang berkumpul kembali dan tanpa sadar waktu sudah banyak berlalu.

“Selamat datang kembali Ray,” ada apa dengan kata-kata menjijikkan begitu? “Ayolah jangan memasang wajah jijik begitu, aku disini hanya ingin membantumu” Markus mengetuk-ngeetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “Aku yakin kau pasti penasaran dengan apa yang telah terjadi selama setahun terakhir, terutama kejadian pembunuhan yang baru-baru ini terjadi,” Markus mulai mondar-mandir, terlihat berpura-pura serius padahal aku bisa melihat seringainya yang menandakan ia bersemangat akan sesuatu.

“Kau mengetahui sesuatu? Kenapa kau merasa harus memberitahukan itu padaku?” Aku tidak sanggup untuk tidak tertawa. Semua ini sukses membuat kepalaku terasa akan meledak.

Markus berhenti mondar-mandir dan bersandar di dekat jendela. Angin yang tiba-tiba saja berhembus kencang secara misterius menambah efek menyeramkan, “karena kau berhubungan dengan semua ini.” Baiklah kini Markus mendapat semua perhatianku. “Apa kau tau ini adalah tempat dua siswa yang dituduh bunuh diri itu merenggut nyawa?” Bulu kudukku langsung meremang, dan tunggu, dituduh bunuh diri? Apa maksudnya itu? “Dan apa kau tau siapa dua siswa itu? Ivan dan Heri.”

Ivan dan Heri adalah teman Markus. Yang ku tau mereka berteman baik selama ini. Pantas saja ia terlihat begitu marah tapi aku masih belum mendapat jawaban kenapa hal ini ada hubungannya denganku.

“Korban selanjutnya mungkin saja aku,” mataku melebar, kenapa bisa Markus korban selanjutnya? Apalagi ia mengatakannya sambil tertawa, sulit untuk mengetahui apakah ia serius atau hanya bercanda. Tapi hal yang kudengar selanjutnya adalah hal yang sulit dipercaya tapi cukup untuk membuatku mengirim Markus menyusul kedua temannya.

***

\Fera\
Jika aku bisa mengubah masa lalu. Aku tidak akan mencoba memperbaiki kesalahan apapun yang kulakuan tapi aku akan menghentikan hari dimana aku dilahirkan. Kupikir itu pilihan yang lebih baik. Aku memang sangat menyesali hari dimana aku memutuskan untuk pergi ke gedung olahraga sekolah sore itu. Tapi daripada merubah hal itu aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan saja.

Hari itu sekolah memang dipulangkan lebih awal. Aku hanya sekali bertatap muka dengan Ray karena ia sibuk mengurusi tanggung jawabnya sebagai anggota OSIS, jadi aku sama sekali tidak keberatan saat ia mengajakku bertemu di gedung olahraga sekolah.

Hujan deras mengguyur secara tiba-tiba. Cepat-cepat aku berlari memasuki gedung olahraga dan menutup pintu sebelum air bercampur angin membasahiku. Gelap, hanya ada beberapa lampu yang menyala, aku berusaha memanggil Ray tapi aku tidak menemukannya dimanapun. Justru aku mendengar beberapa orang keluar dari tempat penyimpanan peralatan olah raga.

“Wah sungguh sangat mudah memancingmu kemari menggunakan nama Ray” Orang itu Markus, Ray pernah menceritakan tentang dia. Ada dua orang lain dibelakangnya yang tidak kukenali. Cepat-cepat aku meringsut mendekati pintu keluar, sesuatu terasa tidak benar disini. Begitu tanganku menggapai handle pintu, seseorang menarik tanganku yang satunya. Aku melayangkan tas yang tepat menghantam wajahnya dan berlari ke sisi lain gedung. Aku mencoba menemukan jendela yang dapat dibuka, tanganku yang tadi dicekal terasa sakit, nafasku tidak beraturan, jantungku berdetak begitu cepat, aku harus keluar dari sini.

Tanpa kusadari kehadirannya, salah satu teman Markus menarik rambutku dan menarikku dengan paksa. Aku tidak sempat memikirkan rasa sakit karena yang bisa kupikirkan saat ini adalah kabur secepat dan sejauh-jauhnya. Ia menarikku ke dalam gudang penyimpanan peralatan olahraga. Ruangan gelap dan udara pengap menyambutku. Aku dilemparkan begitu saja ke lantai, begitu mataku berhasil menyesuaikan dengan pencahayaan seadanya lewat cahaya yang masuk lewat jendela di atas kepalaku, kengerian seketika membuat seluruh tubuhku bergetar.

“Hayo lho dia nangis tuh,” Markus yang sibuk mengganjal pintu dengan kursi terkekeh. Aku bahkan tidak menyadari air mata telah membanjiri pipiku.

Dengan kekuatan yang tersisa aku meneriakkan nama Ray berkali-kali, kulemparkan bola-bola yang ada didekatku secara membabi buta. Entah kenapa telingaku mulai berdengung, tapi sayup-sayup dapat kudengar Markus menyuruh dua temannya untuk memegangiku.

“Woy Ivan, Heri! Pegangin dia bego!”
Aku berusaha memberontak saat mereka memegangi kedua tanganku. Markus berdecak dan berjalan ke arahku, ia mengarahkan lututnya ke perutku. Aku langsung terjatuh, tapi itu tidak menghentikannya, Markus masih saja menendangku berkali-kali sampai aku terbatuk-batuk dan darah memuncrat keluar di sela-sela batukku.

Aku masih sanggup merintihkan nama Ray, dan sepertinya itu membuat Markus tertawa. “Ray tidak akan datang, bukannya ia akan berangkat ke Australia besok pagi?” Apa?! “Yah, itu cukup mendadak sih, tapi aku tidak terkejut, bukankah Ray adalah si genius brengsek? Iyakan, princess?”

Aku tidak ingin mempercayai apa yang baru saja kudengar. Karena itu aku tetap berusaha memberontak saat kedua teman Markus mencengkal bahuku dan tanganku seakan memakuku dengan lantai sementara Markus menutup mataku dengan dasinya. Air mataku semakin deras saat aku mendengar Markus melonggarkan ikat pingganya. Badanku langsung menggigil saat ia mulai melepaskan seluruh lapisan kain yang kukenakan. Tanpa bisa kutahan, aku berteriak, rasa sakit yang menyengat menggetarkan seluruh sarafku. Aku terus berteriak tapi aku bahkan tidak dapat mendengar teriakanku sendiri. Markus menutup mulutku dengan tangannya, ia sibuk memuaskan diri sendiri sementara aku merasa sangat kesakitan.

Mereka bertiga bergantian melakukannya sampai tubuhku tak mampu merasakan apapun.

***

Rencanaku gagal total. Gelas berisi jus yang baru saja akan ku minum melayang ke sisi lain ruangan saat aku melihat wajah Ray yang datar di layar TV. Tepat di depan kantor polisi semua kamera dan microphone diarahkan ke wajahnya. Aku memencet remot dengan tangan bergetar, mengganti setiap channel dan menemukan nyaris seluruh channel TV menayangkan Breaking News dengan bersemangat seakan mereka ingin saling berebut rating tertinggi. Aku melempar remot yang mendarat tepat di wajah Ray yang terpampang di layar TV, wajahnya begitu datar, tapi bibirnya tak berhenti bicara, ia mengungkapkan segala hal yang mati-matian ku rahasiakan selama setahun terakhir dari dunia.

Mataku yang mulai buram karena terhalang air mata membaca headline yang berada di bawah layar. F siswi SMA Swasta korban pemerkosaan oleh teman sekolah sendiri membalas dendam dengan membunuh tersangka satu persatu. Tangisanku pecah. Habislah aku. Habis sudah harga diriku. Ray bajingan, brengsek, bodoh, tolol! Darimana dia tau semua itu? Teganya dia membeberkan segalanya seperti ini?!

Aku menahan isakan saat tiba-tiba terdengar gedoran dari pintu depan. “Tolong buka pintunya, ini polisi,” matil sudah. Aku menggigit tangan untuk menahan isakan sambil tergesa-gesa memakai sepatu dan mengambil jaket. Aku berlari keluar dari pintu belakang, melompati pagar dan berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh kebelakang. Ini gila. Semuanya benar-benar berantakan. Padahal hanya tinggal Markus! Hanya tinggal satu bajingan itu dan semua akan selesai. Semudah itu. Tapi gara-gara Ray, aku sekarang sudah kehilangan harga diri. Bahkan sekarang aku dianggap menjadi tersangka pembunuhan.

Aku tidak ingin memikirkan bagaiman respon orang tuaku nantinya. Mereka selalu sibuk bekerja dan mereka selalu jadi orang terakhir yang tau mengenai apapun hal yang kulakukan, entah itu berita bagus atau buruk. Lagipula aku sudah berhenti memikirkan masa depan sejak kejadian di gedung olahraga. Aku berhenti berlari, nafasku terengah, aku harus menenangkan diri dan memikirkan langkahku selanjutnya.

Markus? Dimana dia? Apa yang terjadi dengannya? Mungkin saja dialah yang menceritakan semuanya pada Ray. Itu mungkin saja tapi kenapa Ray tidak malah membawa Markus ke kantor polisi? Di berita tidak disebut apapun tentang tersangka pemerkosa, ugh memikirkannya saja membuatku ingin muntah. Jadi tidak mungkin Markus masuk kantor polisi. Aku harus membunuh bajingan itu, jika aku akan jatuh dia harus jatuh bersamaku, ke jurang terdalam sekalipun.

Baru saja aku akan berlari melewati tikungan sepi, sebuah tangan mendekap mulutku dan mencekal kedua tanganku. Hal selanjutnya yang ku tau, aku diseret ke sebuah rumah kosong yang sepertinya sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun. “Markus?” tanpa sadar aku menyeringai. Speaking of the devil huh.

Cowok itu menutupi seragam sekolahnya dengan jaket hitam. Tapi aku berani bersumpah aku melihat darah melumuri kerah baju dibalik jaketnya. Markus sibuk menatap keluar jendela, seakan mengawai kalau-kalau ada yang mengikuti. Aku juga sadar setelah Markus melemparku ke dalam, ia cepat-cepat mengunci pintu. Alisku bertaut, kenapa kami bertindak seakan kami berdua adalah tersangka? Kalau dilihat dari sudut pandang polisi kami berdua memang benar-benar tersangka. Tapi dari sudut pandangku, Markus dan kedua temannya yang sudah tewas kubunuh adalah tersangkanya, begitu pula sebaliknya.

Tanpa menoleh dan terus mengawasi keluar jendela Markus berkata dengan suara rendah, “aku tau sejak awal kau akan melakukan balas dendam, percayalah, aku tau betul seperti apa dirimu,” karena tidak ada sedikit pun suara keluar dari arahku Markus menoleh dengan wajah panik mengira aku sudah kabur kemana, tapi lalu ia tertawa lepas saat melihat masih berdiri di tempat yang sama dengan wajah ku yang jelas-jelas memasang ekspresi jijik.

“Kau tau ini bukan saat yang tepat untukmu tertawa? Aku bisa saja langsung membunuhmu sekarang juga” aku bersidekap, diam-diam meraba pisau yang selalu kusembunyikan pisau di balik lengan bajuku.

Markus tertawa lagi. Ada apa dengannya? Apa ia sudah gila? “Yahh, kau memang kejam, membunuh dengan menyuruh korbannya menggorok leher sendiri? Aku tau kau memperlebar robekannya setelah itu”

“Aku tak bisa menahan diri, rasanya sangat menyenangkan. Kau tau? Melihat darah yang mengalir deras keluar dari setiap saraf dan nadi di leher seseorang,” pelan-pelan aku melangkah ke arah Markus. Cowok itu mendengus, ia membuka jaketnya dan menjatuhkannya di lantai yang penuh debu begitu saja.

“Kupikir kau tidak perlu melakukannya,” aku bisa dengan jelas melihat luka lebam yang ada di siku dan lengannya, aku juga merasa yakin badannya penuh dengan luka. Markus berbalik menunjukkan luka di belakang kepalanya yang masih mengeluarkan darah dan membasahi kerah bajunya daritadi. “Aku memberitahukan semuanya pada Ray dan ia hampir memcehkan kepalaku.”

“Dasar bodoh! Kenapa kau merasa perlu menceritakan dosa mu padanya? Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!” aku nyaris berteriak, emosi ku seperti diaduk-aduk. Ray memukuli Markus sampai seperti ini? Aku tau dia masih peduli padaku tapi aku terlalu egois untuk mengakuinya hanya karena ia pernah meninggalkan ku sekali.

Markus tertawa, “Ray punya hubungan besar dengan semua ini, apa kau tau? Seharusnya kau menjadi pacarku! Aku yang melihatmu duluan! Dan Ray dia—pengkhianat bangsat!”

Aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Bagaimana Markus bisa mengira hal seperti itu? Aku bahkan tidak pernah mengenal Markus. Aku hanya tau tentang dirinya dari Ray. Itupun hanya hal-hal yang tidak penting. Dan karena hal bodoh seperti itu dia mengajak dua temannya dan menghancurkan ku?

Markus menjauh dari jendela dan melangkah ke arahku. Tanpa sadar aku ikut melangkah mundur. Ia mendengus, “kau tau? Aku sudah tidak peduli lagi, aku bahkan tidak mengerti kenapa kau begitu marah sampai berani membunuh Ivan dan Heri, aku tau kau sengaja membuatku target terakhirmu hanya agar aku sadar kau lah yang membunuh mereka dan membuatku terasa terancam.” Aku tidak sadar telah jauh melangkah mundur sampai punggungku menabrak dinding dan kini Markus hanya selangkah berada di depanku, “lagipula, bukannya sepeti aku telah merenggut keperawananmu atau apapun itu, aku tau Ray telah lama lebih dulu melakukannya.”

That’s it! Kesabaranku sudah dujuk tanduk. Aku menarik pisau dari lengan bajuku dan mengayunkannya ke arah Markus. Entah karena terkejut atau refleknya memang sangat bagus ia menghindar dengan cepat. Aku sudah melihat sekeliling sedari tadi, dan ruangan ini benar-benar kosong, tidak ada benda apapun yang bisa kujadikan senjata. Sebilah pisau tidak akan bisa kugunakan sebagai senjata melawan Markus. Aku akan kalah kalau aku berani melawan Markus disini. Aku berlari cepat ke arah pintu belakang. Wow kejutan! Pintunya terkunci! Tentu saja!

Aku baru hendak memecahkan kaca jendela saat Markus memukul tengkuk ku sampai pandanganku berkunang-kunang. Ia mencengkeram bahuku, mendorongku hingga menabrak dinding dan menhanku dengan tubuhnya sendiri. Nafas kami sama-sama tidak beraturan, kepalaku masih berdenyut, aku mulai memberontak saat aku merasakan lidahnya menelusuri leherku.

Aku mencabut kembali pisau yang kusembunyikan di balik lengan baju. Markus sepertinya mengira aku sudah membuangnya karena sedari tadi ia tidak berusaha mencari pisau itu melainkan hanya sibuk menahanku. Dengan cepat ku ayunkan pisau itu ke arah belakang, tepat mengenai perut Markus, teriakannya semakin kencang saat aku mencabut pisau itu kembali. Markus langsung jatuh dengan posisi berlutut, kedua tangannya reflek menutupi luka yang mengucurkan darah, aku mencengkeram rambutnya dan membuatnya mendongak melihat ke arahku, “selamat tinggal Markus, ku harap kita tidak bertemu di neraka.” Aku membalikkan posisi pisau ku dan dengan sekali ayun robekan lebar menganga di leher Markus. Darah segar mengucur ke seluruh tubuhku dan aku bahkan sudah tidak peduli lagi. Ku dorong tubuh Markus yang masih terkejang sampai terjerembab, memecahkan kaca jendela dan melompat keluar.

***

\Ray\
Aku benar-benar tidak bisa memikirkan apapun, aku tidak bisa merasakan apapun, otakku mendadak kosong dan seluruh indraku mati rasa begitu aku melihat Fera di depan mataku. Di dalam kamarku yang gelap. Ia berdiri di tengah ruangan seakan itu adalah tempat paling aman untuknya. Aku menutup pintu dan menguncinya. Aku tidak menghidupkan lampu karena aku tau Fera juga tak menginginkannya.

Fera melangkah ke sudut ruangan dimana meja belajar penuh dengan tumpukan buku berada, ia menghidupkan lampu belajar ku dan cahaya itu cukup untuk membuatku dengan jelas melihat bercakan darah di sekujur tubuhnya.

“Markus sudah tewas, aku—“

Sebelum berkata lebih jauh aku memotong dengan suara rendah, “aku berusaha menghentikannya tapi ia berhasil kabur.”

Fera tertawa, “aku tau, ia sempat menunjukkan luka di kepalanya, mungkin dia nyaris gagar otak karena ia sempat mengakui perasaannya padaku,” aku hendak menjelaskan kenapa Markus tega melakukan semua itu padanya tapi dengan cepat Fera sudah berada di hadapanku dan mendekap hampir setengah wajahku, “kalian berhenti berteman karena aku? Karena itu saat kau pergi Markus—“ Fera mengalihkan pandangannya dariku dan menghela nafas, “memangnya apa ini? Cerita cinta picisan? Kalian yang punya masalah kenapa aku harus kena imbas paling besar? Apa kau tau betapa menderitanya aku saat itu? Aku pulang dengan tertatih, aku sampai harus merangkak untuk sampai ke rumah dan menghabiskan nyaris 48 jam di kamar mandi karena darah yang tidak mau berhenti! Apa kau tau betapa sakitnya itu?”

Tanganku berusaha meraihnya, aku ingin memeluknya, membiarkannya menangis dan menuangkan semua frustasinya padaku, tapi Fera tidak mengizinkanku, ia tidak ingin aku menyentuhnya. Tidak lagi.

“Aku akan pergi. Aku akan menghilang dari hidupmu. Berjanjilah padaku kau akan melupakanku, berjanjilah padaku kau akan melanjutkan hidupmu seakan aku tidak pernah ada, berjanjilah padaku untuk tidak muncul lagi di TV dengan wajah bodoh dan memberitahu dunia hal yang tidak seharusnya mereka ketahui, dan berjanjilah padaku untuk bahagia.” Tangan Fera menangkup wajahku, ia menciumku, ciuman yang lama dan penuh air mata. Lalu ia pergi. Meninggalkan surat berisikan semua hal yang terjadi dengan rinci.

Aku tau dia akan pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Fera menulis dengan jelas bahwa ia tidak bersalah, ia hanya merebut kembali haknya yang direbut darinya, ia bukan pembunuh. Ivan, Heri dan Markus lah yang telah membunuhnya, membunuh dirinya yang dulu.


Aku tidak tau kesepakatan apa yang dibuat antara keluarga Fera, Markus, Ivan dan Heri. Aku tidak mau tau. Aku hanya perlu menyerahkan surat Fera ke kantor polisi dan menepati semua janjiku pada Fera.

***


Author's Note;
WELL THAT ESCALATED QUICKLY!
HAH! Sumpah aku tidak merencakan ceritanya akan berubah begitu... intens.
Well, aku agak menyukai hasilnya dan aku sempat menyuruh diri sendiri untuk menahan agar ceritanya tidak semakin berubah ke arah sana. If you know what I mean.
Anyway, semoga sukaaa dan dapat memetik pesan bahwa menjadi remaja di jaman sekarang tidaklah mudah :")


XXX



Comments

Popular posts from this blog

Contoh Laporan PKL/PRAKERIN PowerPoint Bahasa Inggris Kurikulum 2013

Hai ... Aku termasuk korban kurikulum 2013, angkatan pertama percobaan malah. Aku tau kurikulum 2013 itu ribet banget, jadi jalanin aja yah adek-adek ku muah~ Aku murid SMK N 2 Batam Kelas XI Akuntansi 3 Baru saja menyelesaikan PKL selama 4 bulan (Juli - Oktober) di PT. Unisem Batam Banyak pengalaman yang ku peroleh Salah satu alasan ku memilih SMK adalah kepingin merasakan yang namanya PKL, dan siapa sangka ternyata bener-bener tak terlupakan. Berikut adalah hasil laporan PKL/PRAKERIN punyaku. Karena sepertinya setting di Microsoft PowerPoint 2011 aku beda dari google jadi sepertinya ada beberapa gambar dan tulisan yang melenceng dari tempatnya, mohon di maklumi yah ^^~ Kuharap ini bisa membantumu yang terdampar disini untuk mencari sesuatu, hehe..

Drama Negosiasi 4 orang pemain: Perencanaan Penggusuran

Hello everybody~  \nyanyi Shinee - Everybody\ Ehem.. okay.. so.. gue lagi dapet tugas dari Guru Bahasa Indonesia (Guru yang sama yang ngasih gue tugas buat puisi -_-) disuruh buat Drama dengan tema Negosiasi, dan perkelompok itu sebanyak 4 orang, dan inilah hasil naskah drama ala kadarnya yang gue buat malem2 -uh- >< Kelompok gue belum nampil sih, tapi... aah.. gak tau deh nanti nampilnya bakal kayak mana. Sebenernya gue gak asing lagi sih sama yang namanya "DRAMA" tapi tetep bikin kretek-ktetek :v

Perjalanan Perubahan Warna Rambut

Dulu, kalau aku berani mencoba mewarnai rambutku mungkin aku akan langsung di bakar di perapian. Tapi sekarang beda tahun, beda cerita dan sepertinya beda jaman. Aku pertama kali mewarnai rambutku saat tahun baru 2014. Waktu itu warna yang muncul seharusnya dark blonde , tapi karena rambutku hitam banget, warna itu hanya muncul saat terkena cahaya atau sinar matahari. Karena kurang puas akhirnya aku pergi ke salon lagi. Salon yang selalu ku datangi sebelumnya adalah salon teman mamaku. Tapi, karena lokasinya jauh akhirnya aku memilih salon yang ada di mall terdekat. Aku memilih salon tertutup, seperti salon yang khusus untuk wanita-wanita hijab yang ingin merawat rambut tanpa mengumbar aurat (kira-kira begitu) dan isinya wanita semua. Warna yang ku pilih lagi-lagi blond e. Setelah hampir dua jam waktu ku habiskan di salon itu rambut ku malah berwarna oranye sedikit kekuning-kuningan. Ternyata tadi tanpa aku sadari orang yang mengurusi rambutku menambahkan bleach karena rambu...