\Fera\
Aku
tidak pernah mau berharap, akan apapun, terlebih pada orang lain. Saat kau
mengaharapkan sesuatu dan hal itu tidak terjadi, rasa kecewa, marah, dan sedih
serentak akan membunuhmu sedikit demi sedikit. Aku sama sekali sudah berhenti
berharap dan percaya pada orang lain saat orang
itu menghancurkan masa depanku.
Semua
orang mengenalku sebagai senior yang
sempurna, dikagumi, dipuja, bahkan dielu-elukan kapanpun dan dimanapun. Selama tiga tahun aku
bersekolah di SMA swasta ini aku tidak pernah menjabat peran penting, aku
bahkan yakin aku tidak pernah mengikuti organisasi apapun. Bagaimana aku bisa
sepopuler ini? Jawabannya gampang, permainan lidah. Setiap orang pasti akan
merasa tersanjung jika dihujani pujian dan kata-kata manis. Kiasan itu
memberikan kesan terdalam tapi juga dangkal, karena hanya dengan kata-kata
mereka mengira aku baru saja menyelamatkan mereka dari dasar jurang yang dalam
dan gelap. Padahal aku bersumpah, satu-satunya anggota tubuhku yang bergerak
hanya lidah, bukan tangan yang selalu terulur dan setia memeluk atau air mata
yang bersedia jatuh hanya untuk saling merasakan kesedihan dan rasa sakit satu
sama lain.
Itu
menyedihkan.
Aku
mungkin sudah kehilangan perasaanku sejak setahun lalu. Sejak kejadian itu…
“Fera,
kamu tidak apa-apa? Tiba-tiba kamu pucat dan banyak berkeringat,” Bu Indah,
guru Bahasa Indonesia yang meminta
bantuanku, dalam tanda kutip besar, mengusap keningku yang mulai dipenuhi
titik-titik keringat. Aku tersenyum dan hanya menggeleng. Setelah mengusap
puncak kepalaku, beliau kembali pada kertas-kertas ulangan yang sedang
dikoreksinya. Diam-diam aku memutar mata, duduk diam memang kadang membuatku
teringat akan hal itu, tapi aku tidak punya pilihan lain, Bu Indah percaya
bahwa aku sedang membantunya mengoreksi
hasil ulangan padahal yang kulakukan sejak tadi hanya duduk diam
disampingnya sambil melontarkan kata-kata manis. Seperti sebuah hipnotis.
Aku
berdehem, “Bu, bagaimana kelanjutan kasus pembunuhan di sekolah ini Bu? Apakah sudah
ditangani dengan baik?” aku mengangkat topik hangat itu dengan hati-hati dan
selembut mungkin seakan aku sedang membicarakan hal sepele.
Sontak
Bu Indah langsung heboh ber-ssst-ssst-ria untuk membungkamku, tapi beliau tetap
menjawab, “kamu jangan bilang siapa-siapa ya, polisi sudah menutup kedua kasus
pembunuhan yang terjadi di sekolah kita dua minggu terakhir ini, katanya ini
kasus bunuh diri, pihak keluarga merasa malu jadi mereka tidak ingin
mempublikasikannya, yah begitulah kurang lebih.” Aku mengangguk-angguk dengan
wajah polos. Merahasiakannya? Kalian salah besar, berita itu sudah tersebar
bahkan sampai ke dunia maya. Aku bahkan tidak merasa melebih-lebihkan saat
kubilang mungkin orang dari belahan bumi lain sudah mengetahui berita ini,
berkat internet.
Aku
hanya ingin mengkonfirmasi kebenaran. Toh semua bukti memang menunjukkan kalau
ini adalah kasus bunuh diri. Tapi ini tidak membantuku untuk merasa tidak
khawatir. Karena pembunuhan yang terjadi selama dua minggu terakhir
berturut-turut ini benar-benar sukses membuat sekolah yang awalnya terkenal
tentram, damai dan bebas dari tawuran menjadi sekolah paling menyeramkan.
Predikat yang didapat dalam waktu singkat itu menurutku pantas mendapat
penghargaan, jika ada.
Bel
pulang sudah berbunyi sejak 30 menit yang lalu. Karena itu aku menikmati
waktuku berjalan menyusuri koridor yang sepi. Perasaan damai ini, perasaan
seakan aku hanyalah murid normal dengan kehidupan normal, sudah lama aku tidak
merasakannya. Tapi, aku tau perasaan ini tidak akan bertahan lama saat aku
melihat sosoknya berjalan dari arah berlawanan, menuju kearahku. Cepat-cepat
aku membalik badan dan sedikit berlari menjauh. Langkah-langkah cepatku di kejar
langkah-langkah lebar hingga lenganku di tarik dengan paksa sampai aku nyaris
jatuh terjengkang kearahnya.
“Berhentilah
berlari, berhentilah menghindariku, tolong,” suaranya begitu dekat di samping
telingaku sampai aku bisa merasakannya nafasnya yang hangat. Aku berbalik,
kepalan tanganku mengenai hidungnya, aku melihat secercak darah tapi itu tidak
menghentikanku, satu lagi kepalan tanganku mengenai lehernya dan dadanya
berkali-kali sampai ia terbatuk-batuk.
Dengan
nafas putus-putus, aku menatapnya penuh kebencian, “Bukannya sudah kubilang
jangan berani-berani bicara denganku lagi!” dia menatapku dengan ekspresi itu
lagi, ekspresi kesedihan seakan ia adalah orang paling menderita di dunia ini. Aku
mengalihkan pandangan, setahun sudah ia mengikuti program pertukaran pelajar ke
Australia, ia kembali sekitar dua minggu yang lalu dengan perasaan bahwa
keadaan disekitar sini akan sama persis seperti setahun lalu saat ia pergi. Ia
salah besar. Semuanya sudah berubah. Aku sudah berubah. Dan yang paling ku
benci adalah, ia mengira hubungan kami masih sama saperti setahun lalu, padahal
hubungan kami sudah benar-benar selesai tepat sedetik saat ia memutuskan untuk
pergi.
“Fera—“
“Jangan
sebut namaku! Kau sudah tidak pantas menyebut namaku! Bangunlah Ray! Semuanya
sudah berubah! Seharusnya kau tidak kembali, bahkan kau sendiri tau betul bahwa
kau punya kemampuan lebih untuk tetap bisa melanjutkan sekolah disana sebagai
murid reguler!” Aku menarik nafas panjang, mengeluarkan makian dalam sekali nafas
memang melelahkan jadi aku melanjutkan dengan suara rendah, “Kau seharusnya
tidak kembali.”
Ray
berusaha meraih tanganku tapi aku menampiknya, “Aku tidak tau apa yang sedang
terjadi, aku baru saja kembali dan aku dengar terjadi pembunuhan di sekolah
ini?! Aku sangat khawatir padamu sampai rasanya aku tidak bisa bernafas.
Terlebih lagi aku kembali dan kau sudah sangat berubah, dengan alasan yang tak
jelas, kalau tau akan terjadi seperti ini lebih baik aku tidak usah pergi…”
“Ya, kau
memang seharusnya tidak pergi,” aku mengulang kata-katanya dan melanjutkan
dengan suara rendah, “dan penyesalan memang
selalu datang terlambat.“ semua tentang
Ray adalah kesalahan, semua tentang Ray adalah malapetaka, semua tentang Ray
harus dilupakan. Aku mulai melangkah pergi dan kali ini Ray sama sekali
tidak berusaha menghentikanku.
***
\Ray\
Aku
tidak mengenal Fera yang baru saja ku lihat. Aku tidak tau Fera yang dulu ku
kenal berada dimana yang jelas Fera yang baru saja melangkah pergi bukanlah
Fera yang dulu ku kenal, Fera-ku. Mataku terasa pedas, kepalaku panas, nafasku
naik turun tidak beraturan. Sebenarnya apa yang telah terjadi selama setahun
terakhir aku pergi?
Aku
nyaris berteriak, tapi tertahan saat ponselku bergetar. “Halo?”
“Ray,
pergilah ke lab komputer lama, sekarang.”
Sambungan
terputus. Suara itu, Markus? Kenapa dia dengan seenaknya memberiku instruksi
tidak jelas begitu? Walaupun tidak jelas dan sangat mencurigakan, rasa
penasaran mendorongku untuk pergi ke lab komputer lama di gedung sekolah paling
belakang yang kini hanya digunakan sebagai tempat perbaikan dan penyimpanan
komputer rusak.
Hari mulai
gelap, lampu di sepanjang koridor secara otomatis menyala. Begitu aku sampai di
lab komputer, Markus menyambutku dengan senyum lebar yang sangat tidak
diperlukan dan tangan terbuka seakan mengundangku ke dalam pelukannya yang
jelas-jelas tidak akan ku lakukan. Lebih baik aku memeluk pohon kaktus daripada
memeluk teman yang tidak tau malu seperti Markus. Percaya atau tidak kami dulu
pernah berteman baik. Karena beberapa hal kami jarang berkumpul kembali dan
tanpa sadar waktu sudah banyak berlalu.
“Selamat
datang kembali Ray,” ada apa dengan kata-kata menjijikkan begitu? “Ayolah
jangan memasang wajah jijik begitu, aku disini hanya ingin membantumu” Markus
mengetuk-ngeetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. “Aku yakin kau pasti
penasaran dengan apa yang telah terjadi selama setahun terakhir, terutama
kejadian pembunuhan yang baru-baru ini terjadi,” Markus mulai mondar-mandir,
terlihat berpura-pura serius padahal aku bisa melihat seringainya yang
menandakan ia bersemangat akan sesuatu.
“Kau
mengetahui sesuatu? Kenapa kau merasa harus memberitahukan itu padaku?” Aku
tidak sanggup untuk tidak tertawa. Semua ini sukses membuat kepalaku terasa
akan meledak.
Markus
berhenti mondar-mandir dan bersandar di dekat jendela. Angin yang tiba-tiba
saja berhembus kencang secara misterius menambah efek menyeramkan, “karena kau
berhubungan dengan semua ini.” Baiklah kini Markus mendapat semua perhatianku.
“Apa kau tau ini adalah tempat dua siswa yang dituduh bunuh diri itu merenggut nyawa?” Bulu kudukku langsung
meremang, dan tunggu, dituduh bunuh diri?
Apa maksudnya itu? “Dan apa kau tau siapa dua siswa itu? Ivan dan Heri.”
Ivan dan
Heri adalah teman Markus. Yang ku tau mereka berteman baik selama ini. Pantas
saja ia terlihat begitu marah tapi aku masih belum mendapat jawaban kenapa hal
ini ada hubungannya denganku.
“Korban
selanjutnya mungkin saja aku,” mataku melebar, kenapa bisa Markus korban
selanjutnya? Apalagi ia mengatakannya sambil tertawa, sulit untuk mengetahui
apakah ia serius atau hanya bercanda. Tapi hal yang kudengar selanjutnya adalah
hal yang sulit dipercaya tapi cukup untuk membuatku mengirim Markus menyusul
kedua temannya.
***
\Fera\
Jika aku
bisa mengubah masa lalu. Aku tidak akan mencoba memperbaiki kesalahan apapun
yang kulakuan tapi aku akan menghentikan hari dimana aku dilahirkan. Kupikir
itu pilihan yang lebih baik. Aku memang sangat menyesali hari dimana aku
memutuskan untuk pergi ke gedung olahraga sekolah sore itu. Tapi daripada
merubah hal itu aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan saja.
Hari itu
sekolah memang dipulangkan lebih awal. Aku hanya sekali bertatap muka dengan
Ray karena ia sibuk mengurusi tanggung jawabnya sebagai anggota OSIS, jadi aku
sama sekali tidak keberatan saat ia mengajakku bertemu di gedung olahraga
sekolah.
Hujan
deras mengguyur secara tiba-tiba. Cepat-cepat aku berlari memasuki gedung olahraga
dan menutup pintu sebelum air bercampur angin membasahiku. Gelap, hanya ada
beberapa lampu yang menyala, aku berusaha memanggil Ray tapi aku tidak
menemukannya dimanapun. Justru aku mendengar beberapa orang keluar dari tempat
penyimpanan peralatan olah raga.
“Wah
sungguh sangat mudah memancingmu kemari menggunakan nama Ray” Orang itu Markus,
Ray pernah menceritakan tentang dia. Ada dua orang lain dibelakangnya yang
tidak kukenali. Cepat-cepat aku meringsut mendekati pintu keluar, sesuatu
terasa tidak benar disini. Begitu tanganku menggapai handle pintu, seseorang menarik tanganku yang satunya. Aku
melayangkan tas yang tepat menghantam wajahnya dan berlari ke sisi lain gedung.
Aku mencoba menemukan jendela yang dapat dibuka, tanganku yang tadi dicekal
terasa sakit, nafasku tidak beraturan, jantungku berdetak begitu cepat, aku
harus keluar dari sini.
Tanpa
kusadari kehadirannya, salah satu teman Markus menarik rambutku dan menarikku
dengan paksa. Aku tidak sempat memikirkan rasa sakit karena yang bisa
kupikirkan saat ini adalah kabur secepat dan sejauh-jauhnya. Ia menarikku ke
dalam gudang penyimpanan peralatan olahraga. Ruangan gelap dan udara pengap
menyambutku. Aku dilemparkan begitu saja ke lantai, begitu mataku berhasil
menyesuaikan dengan pencahayaan seadanya lewat cahaya yang masuk lewat jendela
di atas kepalaku, kengerian seketika membuat seluruh tubuhku bergetar.
“Hayo
lho dia nangis tuh,” Markus yang sibuk mengganjal pintu dengan kursi terkekeh.
Aku bahkan tidak menyadari air mata telah membanjiri pipiku.
Dengan
kekuatan yang tersisa aku meneriakkan nama Ray berkali-kali, kulemparkan
bola-bola yang ada didekatku secara membabi buta. Entah kenapa telingaku mulai
berdengung, tapi sayup-sayup dapat kudengar Markus menyuruh dua temannya untuk
memegangiku.
“Woy
Ivan, Heri! Pegangin dia bego!”
Aku
berusaha memberontak saat mereka memegangi kedua tanganku. Markus berdecak dan
berjalan ke arahku, ia mengarahkan lututnya ke perutku. Aku langsung terjatuh,
tapi itu tidak menghentikannya, Markus masih saja menendangku berkali-kali
sampai aku terbatuk-batuk dan darah memuncrat keluar di sela-sela batukku.
Aku masih
sanggup merintihkan nama Ray, dan sepertinya itu membuat Markus tertawa. “Ray
tidak akan datang, bukannya ia akan berangkat ke Australia besok pagi?” Apa?! “Yah, itu cukup mendadak sih, tapi
aku tidak terkejut, bukankah Ray adalah si genius brengsek? Iyakan, princess?”
Aku
tidak ingin mempercayai apa yang baru saja kudengar. Karena itu aku tetap
berusaha memberontak saat kedua teman Markus mencengkal bahuku dan tanganku
seakan memakuku dengan lantai sementara Markus menutup mataku dengan dasinya.
Air mataku semakin deras saat aku mendengar Markus melonggarkan ikat pingganya.
Badanku langsung menggigil saat ia mulai melepaskan seluruh lapisan kain yang
kukenakan. Tanpa bisa kutahan, aku berteriak, rasa sakit yang menyengat
menggetarkan seluruh sarafku. Aku terus berteriak tapi aku bahkan tidak dapat
mendengar teriakanku sendiri. Markus menutup mulutku dengan tangannya, ia sibuk
memuaskan diri sendiri sementara aku merasa sangat kesakitan.
Mereka
bertiga bergantian melakukannya sampai tubuhku tak mampu merasakan apapun.
***
Rencanaku
gagal total. Gelas berisi jus yang baru saja akan ku minum melayang ke sisi
lain ruangan saat aku melihat wajah Ray yang datar di layar TV. Tepat di depan
kantor polisi semua kamera dan microphone diarahkan ke wajahnya. Aku memencet
remot dengan tangan bergetar, mengganti setiap channel dan menemukan nyaris
seluruh channel TV menayangkan Breaking
News dengan bersemangat seakan mereka ingin saling berebut rating
tertinggi. Aku melempar remot yang mendarat tepat di wajah Ray yang terpampang
di layar TV, wajahnya begitu datar, tapi bibirnya tak berhenti bicara, ia
mengungkapkan segala hal yang mati-matian ku rahasiakan selama setahun terakhir
dari dunia.
Mataku
yang mulai buram karena terhalang air mata membaca headline yang berada di bawah layar. F siswi SMA Swasta korban
pemerkosaan oleh teman sekolah sendiri membalas dendam dengan membunuh
tersangka satu persatu. Tangisanku pecah. Habislah aku. Habis sudah
harga diriku. Ray bajingan, brengsek, bodoh, tolol! Darimana dia tau semua itu?
Teganya dia membeberkan segalanya seperti ini?!
Aku
menahan isakan saat tiba-tiba terdengar gedoran dari pintu depan. “Tolong buka
pintunya, ini polisi,” matil sudah. Aku menggigit tangan untuk menahan isakan
sambil tergesa-gesa memakai sepatu dan mengambil jaket. Aku berlari keluar dari
pintu belakang, melompati pagar dan berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh
kebelakang. Ini gila. Semuanya benar-benar berantakan. Padahal hanya tinggal
Markus! Hanya tinggal satu bajingan itu dan semua akan selesai. Semudah itu.
Tapi gara-gara Ray, aku sekarang sudah kehilangan harga diri. Bahkan sekarang
aku dianggap menjadi tersangka pembunuhan.
Aku
tidak ingin memikirkan bagaiman respon orang tuaku nantinya. Mereka selalu
sibuk bekerja dan mereka selalu jadi orang terakhir yang tau mengenai apapun hal
yang kulakukan, entah itu berita bagus atau buruk. Lagipula aku sudah berhenti
memikirkan masa depan sejak kejadian di gedung olahraga. Aku berhenti berlari,
nafasku terengah, aku harus menenangkan diri dan memikirkan langkahku
selanjutnya.
Markus?
Dimana dia? Apa yang terjadi dengannya? Mungkin saja dialah yang menceritakan
semuanya pada Ray. Itu mungkin saja tapi kenapa Ray tidak malah membawa Markus
ke kantor polisi? Di berita tidak disebut apapun tentang tersangka pemerkosa,
ugh memikirkannya saja membuatku ingin muntah. Jadi tidak mungkin Markus masuk
kantor polisi. Aku harus membunuh bajingan itu, jika aku akan jatuh dia harus
jatuh bersamaku, ke jurang terdalam sekalipun.
Baru
saja aku akan berlari melewati tikungan sepi, sebuah tangan mendekap mulutku
dan mencekal kedua tanganku. Hal selanjutnya yang ku tau, aku diseret ke sebuah
rumah kosong yang sepertinya sudah ditinggalkan selama bertahun-tahun.
“Markus?” tanpa sadar aku menyeringai. Speaking
of the devil huh.
Cowok
itu menutupi seragam sekolahnya dengan jaket hitam. Tapi aku berani bersumpah
aku melihat darah melumuri kerah baju dibalik jaketnya. Markus sibuk menatap
keluar jendela, seakan mengawai kalau-kalau ada yang mengikuti. Aku juga sadar
setelah Markus melemparku ke dalam, ia cepat-cepat mengunci pintu. Alisku
bertaut, kenapa kami bertindak seakan kami berdua adalah tersangka? Kalau
dilihat dari sudut pandang polisi kami berdua memang benar-benar tersangka.
Tapi dari sudut pandangku, Markus dan kedua temannya yang sudah tewas kubunuh adalah
tersangkanya, begitu pula sebaliknya.
Tanpa
menoleh dan terus mengawasi keluar jendela Markus berkata dengan suara rendah,
“aku tau sejak awal kau akan melakukan balas dendam, percayalah, aku tau betul
seperti apa dirimu,” karena tidak ada sedikit pun suara keluar dari arahku
Markus menoleh dengan wajah panik mengira aku sudah kabur kemana, tapi lalu ia
tertawa lepas saat melihat masih berdiri di tempat yang sama dengan wajah ku
yang jelas-jelas memasang ekspresi jijik.
“Kau tau
ini bukan saat yang tepat untukmu tertawa? Aku bisa saja langsung membunuhmu
sekarang juga” aku bersidekap, diam-diam meraba pisau yang selalu kusembunyikan
pisau di balik lengan bajuku.
Markus
tertawa lagi. Ada apa dengannya? Apa ia sudah gila? “Yahh, kau memang kejam,
membunuh dengan menyuruh korbannya menggorok leher sendiri? Aku tau kau
memperlebar robekannya setelah itu”
“Aku tak
bisa menahan diri, rasanya sangat menyenangkan. Kau tau? Melihat darah yang
mengalir deras keluar dari setiap saraf dan nadi di leher seseorang,”
pelan-pelan aku melangkah ke arah Markus. Cowok itu mendengus, ia membuka
jaketnya dan menjatuhkannya di lantai yang penuh debu begitu saja.
“Kupikir
kau tidak perlu melakukannya,” aku bisa dengan jelas melihat luka lebam yang
ada di siku dan lengannya, aku juga merasa yakin badannya penuh dengan luka.
Markus berbalik menunjukkan luka di belakang kepalanya yang masih mengeluarkan
darah dan membasahi kerah bajunya daritadi. “Aku memberitahukan semuanya pada
Ray dan ia hampir memcehkan kepalaku.”
“Dasar bodoh!
Kenapa kau merasa perlu menceritakan dosa mu padanya? Dia tidak ada hubungannya
dengan semua ini!” aku nyaris berteriak, emosi ku seperti diaduk-aduk. Ray
memukuli Markus sampai seperti ini? Aku tau dia masih peduli padaku tapi aku
terlalu egois untuk mengakuinya hanya karena ia pernah meninggalkan ku sekali.
Markus
tertawa, “Ray punya hubungan besar dengan semua ini, apa kau tau? Seharusnya
kau menjadi pacarku! Aku yang melihatmu duluan! Dan Ray dia—pengkhianat
bangsat!”
Aku
benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Bagaimana Markus bisa mengira hal
seperti itu? Aku bahkan tidak pernah mengenal Markus. Aku hanya tau tentang
dirinya dari Ray. Itupun hanya hal-hal yang tidak penting. Dan karena hal bodoh
seperti itu dia mengajak dua temannya dan menghancurkan ku?
Markus
menjauh dari jendela dan melangkah ke arahku. Tanpa sadar aku ikut melangkah
mundur. Ia mendengus, “kau tau? Aku sudah tidak peduli lagi, aku bahkan tidak
mengerti kenapa kau begitu marah sampai berani membunuh Ivan dan Heri, aku tau
kau sengaja membuatku target terakhirmu hanya agar aku sadar kau lah yang
membunuh mereka dan membuatku terasa terancam.” Aku tidak sadar telah jauh
melangkah mundur sampai punggungku menabrak dinding dan kini Markus hanya
selangkah berada di depanku, “lagipula, bukannya sepeti aku telah merenggut
keperawananmu atau apapun itu, aku tau Ray telah lama lebih dulu melakukannya.”
That’s it! Kesabaranku sudah dujuk tanduk.
Aku menarik pisau dari lengan bajuku dan mengayunkannya ke arah Markus. Entah
karena terkejut atau refleknya memang sangat bagus ia menghindar dengan cepat.
Aku sudah melihat sekeliling sedari tadi, dan ruangan ini benar-benar kosong,
tidak ada benda apapun yang bisa kujadikan senjata. Sebilah pisau tidak akan
bisa kugunakan sebagai senjata melawan Markus. Aku akan kalah kalau aku berani
melawan Markus disini. Aku berlari cepat ke arah pintu belakang. Wow kejutan!
Pintunya terkunci! Tentu saja!
Aku baru
hendak memecahkan kaca jendela saat Markus memukul tengkuk ku sampai pandanganku
berkunang-kunang. Ia mencengkeram bahuku, mendorongku hingga menabrak dinding
dan menhanku dengan tubuhnya sendiri. Nafas kami sama-sama tidak beraturan,
kepalaku masih berdenyut, aku mulai memberontak saat aku merasakan lidahnya
menelusuri leherku.
Aku
mencabut kembali pisau yang kusembunyikan di balik lengan baju. Markus
sepertinya mengira aku sudah membuangnya karena sedari tadi ia tidak berusaha
mencari pisau itu melainkan hanya sibuk menahanku. Dengan cepat ku ayunkan
pisau itu ke arah belakang, tepat mengenai perut Markus, teriakannya semakin
kencang saat aku mencabut pisau itu kembali. Markus langsung jatuh dengan
posisi berlutut, kedua tangannya reflek menutupi luka yang mengucurkan darah,
aku mencengkeram rambutnya dan membuatnya mendongak melihat ke arahku, “selamat
tinggal Markus, ku harap kita tidak bertemu di neraka.” Aku membalikkan posisi
pisau ku dan dengan sekali ayun robekan lebar menganga di leher Markus. Darah
segar mengucur ke seluruh tubuhku dan aku bahkan sudah tidak peduli lagi. Ku
dorong tubuh Markus yang masih terkejang sampai terjerembab, memecahkan kaca
jendela dan melompat keluar.
***
\Ray\
Aku
benar-benar tidak bisa memikirkan apapun, aku tidak bisa merasakan apapun,
otakku mendadak kosong dan seluruh indraku mati rasa begitu aku melihat Fera di
depan mataku. Di dalam kamarku yang gelap. Ia berdiri di tengah ruangan seakan
itu adalah tempat paling aman untuknya. Aku menutup pintu dan menguncinya. Aku
tidak menghidupkan lampu karena aku tau Fera juga tak menginginkannya.
Fera
melangkah ke sudut ruangan dimana meja belajar penuh dengan tumpukan buku
berada, ia menghidupkan lampu belajar ku dan cahaya itu cukup untuk membuatku
dengan jelas melihat bercakan darah di sekujur tubuhnya.
“Markus
sudah tewas, aku—“
Sebelum
berkata lebih jauh aku memotong dengan suara rendah, “aku berusaha
menghentikannya tapi ia berhasil kabur.”
Fera
tertawa, “aku tau, ia sempat menunjukkan luka di kepalanya, mungkin dia nyaris
gagar otak karena ia sempat mengakui perasaannya padaku,” aku hendak
menjelaskan kenapa Markus tega melakukan semua itu padanya tapi dengan cepat
Fera sudah berada di hadapanku dan mendekap hampir setengah wajahku, “kalian
berhenti berteman karena aku? Karena itu saat kau pergi Markus—“ Fera
mengalihkan pandangannya dariku dan menghela nafas, “memangnya apa ini? Cerita cinta
picisan? Kalian yang punya masalah kenapa aku harus kena imbas paling besar?
Apa kau tau betapa menderitanya aku saat itu? Aku pulang dengan tertatih, aku
sampai harus merangkak untuk sampai ke rumah dan menghabiskan nyaris 48 jam di
kamar mandi karena darah yang tidak mau berhenti! Apa kau tau betapa sakitnya
itu?”
Tanganku
berusaha meraihnya, aku ingin memeluknya, membiarkannya menangis dan menuangkan
semua frustasinya padaku, tapi Fera tidak mengizinkanku, ia tidak ingin aku
menyentuhnya. Tidak lagi.
“Aku
akan pergi. Aku akan menghilang dari hidupmu. Berjanjilah padaku kau akan
melupakanku, berjanjilah padaku kau akan melanjutkan hidupmu seakan aku tidak
pernah ada, berjanjilah padaku untuk tidak muncul lagi di TV dengan wajah bodoh
dan memberitahu dunia hal yang tidak seharusnya mereka ketahui, dan berjanjilah
padaku untuk bahagia.” Tangan Fera menangkup wajahku, ia menciumku, ciuman yang
lama dan penuh air mata. Lalu ia pergi. Meninggalkan surat berisikan semua hal
yang terjadi dengan rinci.
Aku tau
dia akan pergi jauh dan tidak akan pernah kembali. Fera menulis dengan jelas
bahwa ia tidak bersalah, ia hanya merebut kembali haknya yang direbut darinya,
ia bukan pembunuh. Ivan, Heri dan Markus lah yang telah membunuhnya, membunuh
dirinya yang dulu.
Aku
tidak tau kesepakatan apa yang dibuat antara keluarga Fera, Markus, Ivan dan
Heri. Aku tidak mau tau. Aku hanya perlu menyerahkan surat Fera ke kantor
polisi dan menepati semua janjiku pada Fera.
***
Author's Note;
WELL THAT ESCALATED QUICKLY!
HAH! Sumpah aku tidak merencakan ceritanya akan berubah begitu... intens.
Well, aku agak menyukai hasilnya dan aku sempat menyuruh diri sendiri untuk menahan agar ceritanya tidak semakin berubah ke arah sana. If you know what I mean.
Anyway, semoga sukaaa dan dapat memetik pesan bahwa menjadi remaja di jaman sekarang tidaklah mudah :")
XXX
Comments
Post a Comment