( @ Pantai Pasir Parang Tritis, Yogyakarta)
Sudah lebih dari sebulan blog ini lagi-lagi ku abaikan. Sebulan ku lewatkan tanpa memposting apapun. Dan akhir-akhir ini, sahabatku terus menodongku untuk menulis blog. Mungkin hanya dia pembaca setia blog ku (yang jujur saja, tidak pernah terpikirkan olehku.) Bukan tanpa alasan blog yang sudah ku anggap seperti bagian dari diriku ini ku abaikan. Aku memang benar-benar tidak memiliki ide dan semangat sedikit pun untuk menulis. Jadi, inilah cerita terbaruku, hal-hal yang terjadi dalam hidupku beberapa minggu terakhir dan betapa payahnya aku dalam menghadapi hidup.
Mari mulai dari hal baik yang terjadi.
Aku berkesempatan untuk pergi ke Yogyakarta. Bersama teman-teman yang tidak ku sangka akan sangat menyenangkan menghabiskan empat hari, duapuluhempat jam non-stop bersama mereka. Selama empat hari itu kami seperti tidak menyia-nyiakan waktu sedikit pun. Kami berpetualang layaknya Bolang di kota orang. Dengan hanya bermodal google map! Mengunjungi kota di negeri sendiri layaknya turis-turis luar negeri. Menggila seakan tidak ada hari esok. Dan selama empat hari itu aku merasa menjadi diriku sendiri, membiarkan teman-teman yang sebenarnya tidak terlalu dekat denganku untuk melihat siapa aku sebenarnya. Aku merasa beruntung sekali lagi dapat merasa bahagia dan bebas melakukan apapun tanpa tuntutan siapapun.
Selain itu, aku dan teman-temanku juga sangat beruntung dapat menginap gratis di salah satu rumah kontrakan kerabat salah satu temanku. Hal itu sangat membantu kami untuk menghemat sebagian besar uang saku yang kami bawa dan pada akhirnya mengalihkannya untuk membeli buah tangan yang sebagian besar makanan dan bukan cindera mata pada umumnya.
Jujur, aku ingin menghabiskan waktu libur lain bersama mereka. Saat hari biasa mungkin mereka bisa sangat bodoh, menyebalkan dan sulit ditebak. Tapi mereka tidak terlalu buruk untuk diajak bersenang-senang dan menikmati keindahan dunia.
Tak terasa, kunjunganku ke kota yang penuh dengan sejarah misterius yang hanya di apresiasi oleh orang-orang dari luar negeri sementara orang-orang di dalam negeri sendiri tidak terlalu memedulikannya, sudah sebulan yang lalu.
Aku kembali ke hidupku yang membosankan dan itu-itu saja.
Bedanya, sekarang, kuliahku masuk malam. Yang berarti aku bisa mulai magang atau kerja di pagi hari. Yang, astaga! Sangat membuat frustasi! Aku sudah sangat sadar kalau mencari pekerjaan itu sulit. Tapi kurasa lebih sulit lagi untuk mencari motivasi mencari pekerjaan itu sendiri. Tiba-tiba motivasiku untuk meneruskan hidup hilang. Aku ingin berhenti dari segala hal yang sudah sedikit demi sedikit ku kerjakan. Sebuah pertanyaan besar seakan dijatuhkan di dalam kepalaku, bukan di depan mataku, tapi di dalam kepala yang menimbulkan sakit kepala akut.
"Apakah ini benar-benar hal yang ingin kau lakukan?"
Tanpa berpikir jawabanku adalah tidak. Tapi tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk membuang kerja kerasku selama ini. Aku tidak bisa membuang semua waktu, biaya dan kerja keras yang selama ini ku keluarkan untuk mencapai hal yang harusnya ku inginkan. Aku terjebak dalam penyangkalan.
Aku harusnya bersyukur masih bisa kuliah. Mendapat tempat tinggal dengan segala fasilitas yang ada. Tercukupi dalam hal materi. Tapi kenapa emosi ku selalu terpancing hanya karena hal-hal sepele? Aku terlalu berlebihan saat terjatuh padahal aku hanya tersandung kerikil kecil dan bukannya tertimpa beton besi. Aku menangis terlalu keras padahal tanganku hanya tersayat silet dan bukannya terpotong.
Apakah kepribadian ku memang seburuk itu? Aku sedikit demi sedikit mengerti bagaimana pandangan orang lain tentangku. Tapi apakah aku seburuk itu?
Hidup dengan orang lain itu susah. Menghadapi emosi orang lain saat kau tidak bisa mengendalikan emsoimu sendiri itu sulit. Aku tidak akan berbohong, aku benar-benar kesulitan dalam menghadapi segala hal yang terjadi.
Aku tidak tau perlukah untuk menyebut ini tapi sepertinya ibuku akan menikah lagi. Belum dipastikan, tapi orang buta atau tuli sekalipun akan tau kalau waktu akan menuntun ke arah sana.
Sekilas fakta, ayah kandungku meninggal saat aku berumur tujuh tahun. Saat aku berumur 12 (mungkin), ibuku menikah lagi. Dan tahun lalu, setelah aku lulus sekolah dan pindah ke luar kota untuk kuliah, ibuku bercerai. Sudah hampir dua tahun aku tidak tinggal bersama ibuku. Kami tidak saling berbicara lewat telfon setiap hari, hanya beberapa kali seminggu. Lalu aku mendengar kabar kalau ibuku dekat dengan orang baru lewat orang lain, yang jelas bukan ibuku.
Lagi-lagi waktu ku seakan berhenti. Jantungku berdetak cepat, tapi waktu dan duniaku seakan berhenti. Aku tidak berhak untuk menolak, ini hidup ibuku dan aku tidak ingin beliau sendirian sampai akhir hidupnya. Jadi di sisi lain aku bersyukur Allah masih (selalu) berbaik hati. Tapi sisi lain berteriak aku tidak siap memilik ayah tiri kedua. Walau tentu saja, selamanya ayahku hanya satu yang kini berbahagia di surga.
Kehidupan memang sulit. Perjuangannya nyata. Dan sudah semestinya segala halangan dihadapi dan bukan dihindari. Tapi menurutku, kalau belum siap menghadapi, menghindari sejenak tidak akan menyakiti siapapun. Hidupmu, pilihanmu.
Dan juga, hargailah dan jagalah setiap orang yang selalu ada dalam masa-masa gelapmu. Setiap jiwa yang selalu ada dalam masa terburukmu adalah jiwa paling berharga yang ada. Percayalah, aku menghargai setiap pribadi yang selalu hadir dan setia mendengar keluhan bodohku mengenai hidup setiap detik, setiap menit, setiap jam, 24/7! Padahal aku tau mereka juga menahan beban berat mereka sendiri dan tambahan beban adalah hal terakhir yang mereka inginkan. Tapi jika mereka memilih untuk membantu menahan bebanmu walaupun sedikit, bantulah mereka dengan beban mereka juga, walaupun hanya secuil.
Setiap orang ingin bahagia, hanya jalannya saja yang berbeda. Saling membantu tidak ada salahnya.
Love,
An almost 20-years-old girl who struggle with her own life.
Comments
Post a Comment