Skip to main content

[CERPEN] Airplanes



Berlin menghentikan langkahnya dengan alis bertaut. Apa itu barusan? Lambaian hangat dan sapaan cerianya diabaikan begitu saja. Oleh sahabatnya sendiri. Ia cukup yakin jarak diantara mereka tadi cukup dekat, dan hanya ada beberapa kepala saja yang menghalangi pandangan mereka berdua, tapi, Berlin benar-benar diabaikan begitu saja. Ia yakin temannya itu dapat melihatnya, tapi ia diabaikan! Atau jangan-jangan temannya itu memang tidak melihat Berlin?

“Berlin! Ngapain bengong? Ayo ngantri sini, keburu rame nih.” Kintan memanggil dari depan kios bakso dengan wajah terjepit diantara bahu orang lain. Berlin diam-diam tertawa, jangan biarkan orang kurang tinggi mengantri untukmu.

Seenak apapun bakso yang sedang ia santap, selucu apapun Kintan terlihat saat kepedasan sambal, Berlin sama sekali tidak bisa melupakan kejadian tadi.

“Eh, ehm, Susan baik-baik aja kan?”

Kintan terbatuk pelan saat rasa pedas itu juga mulai menguasai tenggorokannya sebelum menjawab, “Hakh? Ehkm, emakh khenapa?” Eh buset, suaranya jadi serak luar biasa.

Berlin mencabut beberapa lembar tisu dan mengangsurkannya pada Kintan, “Enggak kenapa-kenapa sih, cuman tadi dia—“

“Parah lo makan nggak ngajak-ngajak.” Berlin nyaris menjatuhkan sendoknya saat tiba-tiba, entah darimana Reza menghempaskan dirinya tepat disamping Berlin.

Kintan membalas dengan bibir jontor dan wajah merah padam, “Eh siapa elo siapa gue, hush hush sana enyahlah.”

“Hih kejam lo sama temen sendiri.”

“Bodo amat.”

Kintan beralih pada Berlin saat ia melihat gadis itu tiba-tiba saja bangkit dari tempat duduknya, “Mau kemana Lin?”

“Toilet.”

“Mau ditemenin?” Kintan bertanya tanpa menoleh, ia sibuk mempertahankan butir-butir bakso terakhirnya dari rampasan Reza.

“Nggak usah.” Berlin mempercepat langkahnya keluar kantin. Tidak ada yang memperhatikan kalau Berlin berjalan berlawanan arah dari arah toilet.

***

Susan. Gadis berambut pendek itu hanya tepat beberapa langkah di depannya tapi Berlin merasa enggan, ia menarik kembali tangannya yang sudah terulur untuk menepuk pundak temannya. Berlin menghentikan langkahnya, kedua tangannya mengepal di belakang tubuhnya, keningnya berkerut, alisnya bertaut, ia tidak bisa menahan jantungnya yang berdetak hebat karena perasaan asing yang menjalarinya.

Pada akhirnya, Berlin benar-benar menuju toilet. Ia baru saja akan membuka kunci pintu saat dua suara asing yang saling bertaut terdengar menyebut-nyebut namanya.

“Berlin anak XII IPS-II itu?” Berlin merasa asing dengan suara feminim dan halus yang didengarnya, dari nada pertanyaannya sepertinya anak itu juga tidak terlalu mengenal Berlin.

Terdengar pintu yang ditutup, tepat di bilik sebelah Berlin mendekam, lalu terdengar suara cablak, “Iya, yang katanya rambutnya asli warna coklat itu.”

“Oh, yang katanya mantan Reza ya?”

Terdengar suara pintu dibuka dengan kasar diiringi desakan ssst- yang menyebalkan. “Gila lo Lel! Jangan keras-keras! Hubungan mereka katanya nggak boleh disebut-sebut kalau lo nggak mau kena sial!”

“Ngaco lo, biasa aja kali.”

“Eh gue serius lho. Gue diceritain langsung dari sumber yang terpercaya. Lo tau nggak sih kenapa nggak ada yang tau soal hubungan mereka sampai mereka putus?”

Seakan menyadari ada sepasang telinga lain yang mendengar percakapan mereka, dua gadis itu mulai berbisik-bisik sambil membunyikan kran air. Di dalam bilik, tangan Berlin sudah bergetar setengah mati, keringat dingin mulai membasahinya, dan ia tak mampu lagi menahan dirinya untuk membuka pintu.

Pintu masih terbuka sedikit, tapi dari celah yang kecil itu Berlin masih bisa melihat dua orang yang berjalan keluar toilet, Leli dan Erni. Anak XII IPA-I. Teman sekelas Susan.

“Bangsat lo Susan! Lo ternyata berani khianatin temen lo sendiri.”

***

Dari kejauhan Kintan dapat melihat satu-satunya orang yang dikenalnya yang berani mati memakai baju bebas ke sekolah melambai-lambai heboh kearahnya. “Woy Indah, ngapain lo gaya-gaya kayak boneka sawah gitu?”

Indah langsung menyeret Kintan ke dalam kelas menuju sudut paling pojok, “Aduh ketan itam! Lo kemana aja sih, gue cariin sampai berjenggot juga dari tadi! Urgent nih, ada berita heboh, bener-bener heboh!”

Kintan mengernyit merasakan titik-titik ludah Indah mendarat diwajahnya, “Oke, urgent, gue ngerti, tapi bisa kurangin kuahnya nggak? Tadi gue habis makan bakso jadi gue udah kenyang.”

“Etdah malah ngelucu, serius nih gue!” Apa boleh buat, Kintan akan berusaha menghadapi curah hujan Indah demi berita yang dibilang heboh ini. Indah mendekatkan mulutnya ke telinga Kintan. Pikiran tentang telinganya yang mungkin akan terasa lembab setelah dibisiki Indah sirna saat Indah selesai bicara. Apa itu? Gosip murahan apa itu? Itu bohongkan? Kintan menatap Indah penuh pertanyaan.

“Lo bohong kan?” Entah kenapa suara Kintan bergetar.

Indah mengedikkan pundak, “Lo temen dekatnya kan? Kenapa nggak tanya langsung ke orangnya?”

Bertanya langsung pada Berlin tentang itu? Kintan pasti sudah gila.

***

Pergi ke kantor guru sama saja seperti cari susah diri sendiri. Niatnya datang memberikan satu tugas, begitu pergi akan dibebani berbagai tugas lain. Berlin selesai menyusun dokumen kegiatan sekolah sesuai permintaan Pak Bono padahal beliau bisa saja menyuruh anggota OSIS yang sudah jelas bertanggung jawab akan hal itu. Memberikan kunci gudang langsung pada penjaga sekolah sendiri setelah mencari-cari orangnya tujuh keliling, permintaan Bu Desri. Dan sekarang ia harus memanggil Oscar dari kelas XII IPA-III untuk menyerahkan tugas kelas mereka tadi pagi, permintaan dari Bu Intan.

Sial, suasana kelas XII IPA-III terlihat seperti arena pertempuran. Walaupun berteriak dengan suara terkeraspun Berlin tidak yakin yang namanya Oscar akan mendengarnya. Dari 30 siswa di dalam kelas itu, hanya ada satu pasang mata yang memandangnya, Berlin cukup tau diri untuk tidak meminta bantuan darinya.

Akhirnya dengan mengeraskan muka Berlin menepuk pundak salah satu orang didekatnya dan menanyai yang mana Oscar. Jawabannya, “Oh itutuh yang lagi ngomong sama Reza didekat meja guru.”

Mampus! Sial betul hari ini. Apakah melanggar amanah kalau Berlin memberikan pesannya pada orang yang ditanyainya tadi lalu menyuruhnya menyampaikannya pada Oscar. Keegoisan diri sendiri atau menjalankan amanah? Ayo Berlin, pilih!

Berlin menepuk bahu orang yang didekatnya tadi yang mulai terlihat risih, “Tolong bilangin Oscar kalau Bu Intan minta tugas kelas tadi pagi dikumpul sekarang juga, makasih.”

***

Ada yang aneh rasanya. Beberapa hari ini Berlin jarang melihat Kintan. Kalaupun lihat pasti dari jarak paling jauh dan hanya melambai lalu pergi kearah yang berlawanan. Dan hal yang paling tidak enak dipandang adalah kini, kemanapun, Kintan dan Reza terlihat lengket. Mereka selalu saja kemana-mana berdua. Pergi sekolah, ke kantin, bahkan ke toilet pun mereka saling menunggui.

Susan dan Kintan menghindarinya. Reza bersikap aneh. Dan banyak orang yang tidak dikenalnya berbicara aneh. Hidup memang indah ya, Berlin?

Oscar. Cowok tinggi itu sudah tujuh kali mondar-mandir di depan kelasnya. Berlin yang duduk sambil menyalin catatan bahkan dapat mengenali bayangan cowok tinggi yang sedari tadi mendadak menjadi setrikaan rusak.

Ponsel Berlin bergetar untuk kesekian kalinya siang itu, kali ini pesan dari nomor pribadi. Mengirim sebuah link yang sama yang diterimanya sejak tadi. Link apa itu sebenarnya? Haruskah dibuka agar deretan spam ini berhenti? Berlin menyentuhkan jarinya pada link itu dan layar ponselnya mulai penuh dengan sederetan screenshot dari group chat berbagai kelas.


(-) +99431
      Jadi pemilihan tahun lalu nggak sah ya? Yahh…
 
(-) +99798
      Payah!
 
(-) +99679
      Gak ada gunanya juga walaupun udah ketauan sekarang
 
(-) +99519
      Ada dong! Ini namanya kecurangan! Gimana sih!
 
(-) +99320
      Lagian tahun lalu programnya sukses semua kok, trus sekolah kita juga jadi sekolah terfavorite!
 
(-) +99061
      Betul tuh, udahlah bodo amat! Woy besok ada kuis matematika nihhhh mampusssss gueeeeee
 
(-) +99810
      Eh eh tapi denger2 Reza sama Kintan jadian?
 
(-) +99146
     Memangnya yang kalian tau sekarang itu benar? Belum tentu kan?


Berlin nyaris membanting ponselnya. Ia berhenti membaca, tanpa sadar ia menekan komentar yang terakhir dibacanya. Reza, apa yang kau rencanakan?

***

Hari ini Berlin seperti lenyap entah kemana. Sementara foto yang terpampang dilayar ponselnya kini membuat Kintan ingin menarik jambang cowok yang ada di depannya.

“Serius amat sih lo? Ngeliatin apa?” Reza menyedot es buahnya sampai bersih lalu berusaha merebut ponsel Kintan. Gadis itu cukup gesit untuk menghindar dan cepat-cepat menyimpan ponselnya.

Kintan berdehem sebelum bertanya dengan agak gugup, “Lo ada dimana pas jam 8 malam kemarin?”

Reza mengetuk jam tangannya sambil berpikir, “Gue di gym dari jam 6 sampai setengah 8, berarti jam 8 kayaknya gue ke Mcdonald’s. Kenapa lo nanya?”

Kintan menggeleng. Reza tidak berbohong. Ia mengatakan semuanya dengan jujur, hanya saja Reza tidak menyebut tentang satu hal—orang yang bersamanya. Keterangan waktu di foto itu menunjukkan 7:45pm dan foto itu diambil saat Reza di dalam mobil, di tempat parkir Mcdonald’s, bersama Berlin yang sedang menangis.

Dari sudut matanya Kintan dapat melihat Susan yang sedang terlihat seru bercanda dengan teman-temannya. Ini menyadarkannya, Susan bertingkah aneh. Kintan sudah menduga selama ini Susan sengaja menghindarinya. Bahkan sejak tadi Kintan sudah merasakan lirikan-lirikan tajam dari arah Susan. Apakah semua hal yang terjadi ini ada hubungannya dengan Susan?

“Gue mau ke kelas sebentar.” Tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, Reza berjalan meninggalkan Kintan yang bibirnya sudah monyong lima senti. Reza tau betul menjauhkan Kintan dari segala hal ini adalah keputusan terbaik, tapi apa yang akan dilakukan sahabat baiknya ini lebih penting untuk diurusi. Atau dicegah. Oscar memang sinting!

Reza mempercepat langkah-langkah lebarnya walaupun akhirnya memutuskan untuk berlari tidak peduli sudah berapa orang yang melotot padanya dengan kesal karena ditabrak dengan kasar. Deretan SMS yang masuk ke dalam inbox nya membuatnya ingin mencekik diri sendiri.

Dari dulu Reza selalu berpikir yang membuat Oscar terlihat lebih tinggi adalah rambut jabriknya yang getol tidak mau ditidurkan sehingga berdiri tegak bertautan kesegala arah. Dan disitulah sahabatnya sekarang, duduk disalah satu meja kosong di dalam lab komputer dengan senyuman yang terlihat bodoh dan menjengkelkan. Yang lebih menjengkelkan lagi adalah apa yang terpampang di layar laptopnya.

Reza menderap kearah Oscar dan mencengkram kerah baju sahabatnya itu. “Lo pikir lo lagi ngapain goblok?” Geram Reza dengan rahang terkatup ratap.

Oscar terbatuk sejenak karena kerah baju yang melilit lehernya serasa akan membunuhnya kapan saja, “Gue pikir dia perlu tau kebenarannya.” Oscar sedikit meringis saat Reza menariknya dengan kasar sampai tatapan mereka bertumbuk, “Lo bisa cekik gue sampai mati tapi itu nggak akan ngembaliin semuanya.”

“Gue tau dari awal elo yang udah ngehasut Susan buat nyebarin gosip murahan itu!” Reza mengeratkan cengkramannya sampai Oscar merasa pandangannya mulai berkunang-kunang, “Gue tau elo yang udah nyebarin foto gue sama Berlin! Gue tau elo yang ngehasut semua orang buat berpikiran jelek tentang gue sama Berlin!” Oscar langsung jatuh tersungkur begitu Reza melepaskan cengkramannya dan mendorongnya sangat keras, “Gue akui lo emang hacker yang hebat, tapi nge-hack akun grup chat kelas-kelas lain? Ngirim SC ke Berlin tentang chat-chat murahan itu? Lo emang pengecut! Gembel!”

Oscar tertawa, dia tertawa! Tanpa sadar ia mengelus garis gelap keunguan di lehernya, “Ternyata emang bener dugaan gue, elo lebih kuat dari gue.”

Cukup sudah! Satu bogeman di pipi Oscar dan jeritan setelahnya cukup membuat dunia seperti sedang diambang kehancuran.

***

“Susan!” Teriakan setengah bentakan Kintan sama sekali tidak mampu menahan langkah Susan, gadis itu malah mempercepat langkahnya. “Susan lo berhenti nggak!?” Kadang Kintan sama sekali tidak dapat mengontrol kekuatannya, ia mengayunkan tangannya sampai Susan menabrak dinding dan terduduk dengan lengih kesakitan. “Sekarang lo diem!”

“APA? APA HAH? APA YANG MAU LO AMBIL LAGI DARI GUE?” Mata Susan, memerah?

Tanpa sadar suara Kintan melembut, “Gue sama sekali nggak ngerti jalan pikiran lo. Apa? Nyebarin gosip bahwa Berlin maksa Reza buat jadi pacarnya dan buat balasannya Berlin bakal bantuin Reza jadi ketua OSIS? Gue nggak pernah menyangka ternyata lo sebodoh itu.”

Jeda cukup lama, ada suara mesin pesawat yang sepertinya sedang terbang melewati langit. Tanpa sadar, kedua gadis itu teringat Berlin. “Gue cuman nggak mau kehilangan Berlin.” Apa? “Gue nggak mau Berlin punya orang lain yang lebih penting buat dirinya!” Hah? “Cuman gue yang boleh jadi orang terpenting Berlin!”

“Dan nyebarin gosip kayak gitu lo pikir bakal bikin Berlin mikir lo orang terpenting buat dia?” Kintan tau sejak awal bahwa ada yang salah dengan Susan. Ia melihat sekitar berharap tidak ada yang mendengar mereka atau mereka akan mendapat masalah besar. Kintan berjongkok di depan Susan berharap gadis itu mau memandangnya, “Kita berdua yang paling tau kalau Reza nggak akan pernah mau mencalonkan diri jadi ketua OSIS kalau Berlin nggak mau jadi pacar dia! Kita berdua tau betul kalau Berlin bakal dipindahin kepala sekolah kalau dia nggak bikin Reza jadi Ketus OSIS! Gue bener-bener nggak ngerti sama ayahnya Berlin, kenapa orang setolol dia bisa jadi kepala sekolah? Nyuruh anaknya buat bikin cowok yang punya pengaruh buat naikin pamor sekolah? Hahh dunia emang udah gila!”

“Kalau gue sebarin gosip itu,” Kintan menajamkan telinga saat Susan berbicara dengan suara sekecil semut, “Berlin bakal merasa tertekan dan dia bakal datang ke gue, itu yang Oscar bilang ke gue.”

“Oscar? Lo percaya bajingan tengik kayak dia? Udah gue duga lo emang bodoh!” Kintan menepuk puncak kepala Susan dengan gemas, “Gue nggak tau kalau cowok itu bisa nge-hack otak manusia juga.”

“Apa yang harus gue lakuin sekarang Tan?” Susan mulai terisak, “Gue udah ngancurin semuanya, sekarang gue harus gimana?”

Kintan tak sempat berpikir, ponselnya bergetar, ada SMS dari Berlin.

Pergi ke lab komputer yang lama kalau lo nggak mau cowok kesayangan lo bikin orang babak belur. Makasih ya udah belain gue, sekarang tolong jagain Reza, dia berhak dapat yang lebih baik.

Kintan menggeram dengan gemas, “AAHHH! Gue memang hidup diantara orang bodoh!” Tanpa berpikir panjang Kintan menarik Susan yang tengah terisak menuju lab komputer lama yang terletak di gedung sekolah paling belakang.

“Ngirim SC ke Berlin tentang chat-chat murahan itu? Lo emang pengecut! Gembel!”

Teriakan Reza yang penuh amarah bahkan terdengar sampai tangga, Kintan mempercepat langkahnya, ia bahkan sudah lupa untuk menyeret Susan bersamanya. Suara tawa Oscar yang menggelegar membuat Kintan merinding.

“Ternyata emang bener dugaan gue, elo lebih kuat dari gue.”

“STOPPPH!!!” Kintan terlambat sedetik! Hanya sedetik! Kintan terlambat sedetik untuk menghentikan Reza memukul Oscar, walau sebenarnya ia berpikir Oscar pantas mendapatkan lebih banyak pukulan yang lebih menyakitkan. “Tolong, berhenti.”

“Kintan? Ngapain lo kesini?” Reza menatap tajam, ia tidak bercanda, ia benar-benar serius, dan itu membuat Kintan takut.

“Berlin pergi” Mata Reza membulat, “Dia pindah.”

“Apa? Tapi, tapi dia bilang—“ Reza tergagap, ia berjalan limbung kearah Kintan, seakan mengharapkan Kintan akan tertawa dan mengatakan ia hanya bercanda.

“Dia pergi Za, udahlah semuanya udah nggak ada gunanya, lo nggak bisa berbuat apa-apa lagi.”

Kintan memeluk Reza yang berdiri kaku. Oscar tertawa dengan penuh kepuasan. Sementara Susan menangis dalam diam dibalik pintu. Semuanya benar-benar kacau.

***

Semua kejadian hari ini benar-benar membuatnya senang. Saat berjalan sambil sedikit meloncat-loncat, Oscar sama sekali tidak berpikir akan ada batang kayu dua kali besar betisnya menghantam tepat diwajahnya.

Oscar langsung terduduk, mengusap wajahnya yang berdenyut, “Berlin, ya?” Oscar tersenyum menatap paku karatan diujung lain batang kayu yang baru saja mencium wajahnya, “Kenapa nggak sekalian bikin wajah gue titanus?”

Berlin menatap paku karatan didekat pegangan kayunya, “Karena gue nggak sekejam dan sekeji lo.”

“Gue nggak kejam, oke? Gue hanya menyukai manusia, gue pengin melihat lebih emosi mereka.” Oscar menangkap batang kayu yang dilemparkan Berlin kearahnya, “Lo beneran pergi?”

“Lo tau, lo harus berhenti mempermainkan perasaan manusia.”

Oscar hanya tertawa, lalu meringis menyadari wajahnya yang mulai nyut-nyutan. “Lo mungkin harus mengharapkan itu pada bintang jatuh.”

Berlin melihat keatas, ada pesawat terbang yang seakan sedang membelah langit, “Gue selalu pura-pura pesawat adalah bintang jatuh, dan sekarang gue berharap,” Berlin menatap tajam Oscar, “Mati sana!”



Please Read Me;

Oscar adalah tokoh yang terinspirasi dari salah satu tokoh dalam Anime Durarara!!
Orihara Izaya.
Yups, dia adalah tokoh anime favorite ku (selain Ciel Phantomhive)
Awalnya cerita ini ku tulis dengan alur yang sedih dan lembut, tapi entah kenapa aku sedikit terpengaruh dengan karakter Izaya dan yahh beginilah jadinya. Aku tau, aku tau. Ini buruk! Aku terlalu mudah terbawa perasaan dan blahh semuanya berubah. Tapi tak apa, aku cukup puas dengan bagaimana cerita ini tetap berlanjut walau sedikit berubah dari niat awalku. Bahkan aku berpikir untuk membuat lagi cerita dengan Oscar didalamnya, yang belum tentu berakhir baik bwahahahah.
Aku harap penjelasan singkat ini menjawab kebingunganmu yang mungkin bertanya-tanya ketidakserasian antara judul dengan cerita.
Yahh bagaimanapun ...

Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapatmu tentang CERPEN Airplanes. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.

Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.

Bye.


♦♦♦


Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku! 
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. 
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!  

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contoh Laporan PKL/PRAKERIN PowerPoint Bahasa Inggris Kurikulum 2013

Hai ... Aku termasuk korban kurikulum 2013, angkatan pertama percobaan malah. Aku tau kurikulum 2013 itu ribet banget, jadi jalanin aja yah adek-adek ku muah~ Aku murid SMK N 2 Batam Kelas XI Akuntansi 3 Baru saja menyelesaikan PKL selama 4 bulan (Juli - Oktober) di PT. Unisem Batam Banyak pengalaman yang ku peroleh Salah satu alasan ku memilih SMK adalah kepingin merasakan yang namanya PKL, dan siapa sangka ternyata bener-bener tak terlupakan. Berikut adalah hasil laporan PKL/PRAKERIN punyaku. Karena sepertinya setting di Microsoft PowerPoint 2011 aku beda dari google jadi sepertinya ada beberapa gambar dan tulisan yang melenceng dari tempatnya, mohon di maklumi yah ^^~ Kuharap ini bisa membantumu yang terdampar disini untuk mencari sesuatu, hehe..

Drama Negosiasi 4 orang pemain: Perencanaan Penggusuran

Hello everybody~  \nyanyi Shinee - Everybody\ Ehem.. okay.. so.. gue lagi dapet tugas dari Guru Bahasa Indonesia (Guru yang sama yang ngasih gue tugas buat puisi -_-) disuruh buat Drama dengan tema Negosiasi, dan perkelompok itu sebanyak 4 orang, dan inilah hasil naskah drama ala kadarnya yang gue buat malem2 -uh- >< Kelompok gue belum nampil sih, tapi... aah.. gak tau deh nanti nampilnya bakal kayak mana. Sebenernya gue gak asing lagi sih sama yang namanya "DRAMA" tapi tetep bikin kretek-ktetek :v

Perjalanan Perubahan Warna Rambut

Dulu, kalau aku berani mencoba mewarnai rambutku mungkin aku akan langsung di bakar di perapian. Tapi sekarang beda tahun, beda cerita dan sepertinya beda jaman. Aku pertama kali mewarnai rambutku saat tahun baru 2014. Waktu itu warna yang muncul seharusnya dark blonde , tapi karena rambutku hitam banget, warna itu hanya muncul saat terkena cahaya atau sinar matahari. Karena kurang puas akhirnya aku pergi ke salon lagi. Salon yang selalu ku datangi sebelumnya adalah salon teman mamaku. Tapi, karena lokasinya jauh akhirnya aku memilih salon yang ada di mall terdekat. Aku memilih salon tertutup, seperti salon yang khusus untuk wanita-wanita hijab yang ingin merawat rambut tanpa mengumbar aurat (kira-kira begitu) dan isinya wanita semua. Warna yang ku pilih lagi-lagi blond e. Setelah hampir dua jam waktu ku habiskan di salon itu rambut ku malah berwarna oranye sedikit kekuning-kuningan. Ternyata tadi tanpa aku sadari orang yang mengurusi rambutku menambahkan bleach karena rambu...