Skip to main content

[CERPEN] Yumi & Yozi


A/n: 20 pages; 4600+ words.
Pastikan kamu punya waktu.



Suara hantaman yang sangat keras mengagetkan semua orang yang ada di ruangan kelas. Guru yang sedang memenuhi papan tulis dengan berbagai rumus kimia langsung setengah belari menghampiri salah satu anak muridnya yang kini sudah terbaring di lantai.

“YUMI!!!” 

Dengan ringan guru kimia berkumis jarang-jarang itu langsung mengangkat Yumi dan membawanya ke UKS. Dokter Shi yang sedang bersantai-santai dan mengobrol bersama dua orang anggota PMR sekolah langsung siaga begitu melihat Yumi yang tak sadarkan diri.

“Dia langsung terjatuh begitu saja. Kepalanya terhantam lantai lumayan keras” jelas Pak Dono singkat dengan sedikit terengah. Menggendong gumpalan daging seberat 45 kg menuruni tangga—berlari pula, membuatnya harus mengejar napas pendek-pendek yang terlewat.

Dr. Shin mulai memeriksa apakah ada pendarahan di kepala Yumi, juga denyut nadi Yumi. “Dia masih bernapas kok, tidak ada pendarahan di kepala tapi mungkin akan sedikit membengkak saat ia bangun tidur besok pagi” Dr. Shin menatap Yumi dengan heran. Kenapa Yumi selalu mudah terluka padahal ia tidak melakukan apa-apa. Kalau ada penghargaan siapa yang paling sering mengunjungi UKS, sudah pasti penghargaan itu akan diberikan pada Yumi.

Minggu lalu Yumi juga masuk UKS. Saat Dr. Shin memeriksanya terdapat beberapa luka lebam di perut dan lengan. Dr. Shin baru saja akan mengambil kunci mobil dan membawanya ke rumah sakit saat Yumi memohon untuk merahasiakan ini dari siapapun.

Tiba-tiba darah mengalir keluar dari hidung Yumi. Dr. Shin langsung mengangkat kepala Yumi ke arah belakang sambil mulai berpikir apakah ia sudah melakukan hal yang benar dengan menyembunyikan keadaan Yumi. Bagaimana jika sebenarnya Yumi mengalami tindak kekerasan dari orang tuanya atau dari teman-teman sekelasnya?

***

Dr. Shin tidak pernah melepaskan pandangannya dari Yumi. Dokter muda yang baru magang di sekolah umum selama 6 bulan itu, merasakan keinginan kuat untuk selalu mengawasi dan menjaga Yumi. Ia juga mendapat banyak infromasi yang sangat janggal dari dokter magang sebelumnya. Yumi, gadis berambut hitam panjang berkilau itu selalu saja tiba-tiba pingsan dan mimisan. Bahkan kadang sampai kejang-kejang dan berteriak dengan sangat kesakitan padahal tidak ada seorangpun yang menyentuhnya. Banyak yang mengira Yumi kerasukan atau punya kelainan jiwa, tapi sesuatu di dasar hati Dr. Shin mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dan ia harus membereskannya.

Tangan Yumi yang lemas dan dingin tiba-tiba terkepal diikuti Yumi yang langsung bangkit dengan napas terengah lalu terbatuk-batuk. Dr. Shin langsung menepuk-nepuk punggungnya. Selimut putih yang berwarna putih bersih itu langsung berbercak darah dimana-mana. Cepat-cepat Dr. Shin mengambil tisu dan mengelap bibir dan dagu Yumi yang penuh darah.

“Sudah merasa baikan?”

Yumi mengangguk dengan lemah dan terbaring kembali. Isakan tangisnya terdengar sayup-sayup.


***

Yumi memutuskan untuk pulang setelah 30 menit bel berbunyi. Ia tidak ingin merasakan tatapan-tatapan menusuk itu, tidak saat ini, tidak disaat semua badannya terasa ingin mengkhianatinya.

Sebuah tangan mengambil tas yang sedang berusaha dipegang Yumi dengan susah payah. Lalu memakaikan jaket pada Yumi dan mengancingkannya tanpa memasukkan lengan Yumi ke lengan jaket. Disusul sebuah syal tebal dan lembut yang melilit lehernya sampai ke dagu. Bahu tegap itu, kalung dengan bentuk liontin aneh di leher itu, hembusan napas hangat yang menerpa wajah Yumi dan bau itu…

“Lo pingsan lagi? Bodoh,” Yumi terentak sedikit saat dahinya disentil dengan sangat pelan. Walau pelan, tapi dengan tubuh yang terasa akan remuk, sentilan itu terasa seperti bogeman mentah yang dahsyat.

“Vin! Sakit!” cicit Yumi nyaris menangis.

Kevin langsung panik dan mengusap tempat yang tadi ia sentil. “Sorry, mau gue antar pulang?”

Tawaran bagus! Yumi mengangguk dan mengikuti langkah Kevin ke parkiran sekolah yang sudah sepi. Tidak, belum, masih ada seseorang yang sengaja berbaring di atas kap mobil Kevin. Seseorang yang sangat tidak ingin ditemui Yumi saat ini. Seseorang yang paling ia benci di dunia ini.

Kevin berdiri menghalangi Yumi dengan penuh perlindungan. Orang itu melompat turun dari posisi berbaringnya dan melangkah dengan tenang ke arah mereka.

“Yoz—“ Kevin terenyak begitu saja saat Yozi mendorongnya. Yozi tersenyum melihat wajah Yumi yang pucat pasi, Yozi tersenyum saat meraih tangan Yumi yang sedingin es, Yozi tersenyum saat ia menarik Yumi ke pelukannya. Ia sangat berharap senyumnya dapat menghilangkan rasa sakit Yumi. Ia berharap rasa senang yang berusaha ia tumbuhkan di hatinya akan menyembuhkan Yumi. Dipeluknya Yumi lebih erat, berusaha membagi kehangatan yang sangat ia harapkan dapat dirasakan Yumi.

***

Gang kecil itu sepi, gelap, dan lembab. Tipikal. Mudah ditebak. Mereka berencana menghancurkannya diam-diam. Tanpa diketahui siapapun. Dibiarkan di kegelapan begitu saja, terlupakan.

Yozi menyeringai. Dasar tikus-tikus bodoh!, umpatnya dalam hati. Orang-orang seperti mereka itu memang pantas dihajar. Menjebak Yozi untuk bertanggung jawab atas perampokan toko perhiasan, kah? Mereka tidak cukup pintar untuk melakukan itu. Jelas-jelas Yozi punya alibi dan jebakan bodoh itu menghantam balik mereka lebih keras dari yang mereka pikirkan.

Tidak mengejutkan kalau mereka kabur dari penjara satu minggu kemudian. Entah bagaimana caranya. Undangan berupa ancaman yang disampaikan pada Yozi dari mulut ke mulut itu sangat mudah diprediksi. Tangan Yozi mulai gatal—ingin memukul bajingan-bajingan keparat itu.

Terdengar langkah-langkah kaki dari kejauhan. Dua orang? Empat orang? Bukan. Sepuluh orang? Seringai Yozi makin lebar.

“Bawa semua anak buah lo bos? Kenapa? Takut kalah?” Yozi sengaja memancing. Orang seperti mereka kan biasanya tidak labil emosinya.

Benar saja, pemimpin mereka, orang yang sudah menjebak Yozi, cowok berkulit gelap dengan lengan dipenuhi tato kata-kata provokatif, ekspresi sangar, botak pula, langsung menggeram tidak terima. “HEH! Gue bos mereka! Jelas mereka bakalan ikut kemanapun gue pergi!” Yozi hanya menggangguk-angguk sepele seperti mendengar ibu-ibu sedang menawarkan daster murah meriah. “Gue pengen liat kemampuan lo yang terkenal nggak terkalahkan itu” Lagi-lagi, Yozi tidak terkejut saat sembilan orang anak buah orang itu langsung menyerbu ke arahnya dengan ganas.

Dengan cepat Yozi meraih tong sampah raksasa di dekatnya dan melemparkannya cukup kuat untuk melumpuhkan empat dari mereka. Dua orang langsung mengarahkan tinju ke arah wajah dan perut Yozi, ia menahannya tapi lalu Yozi mental sampai terguling ke belakang karena ada susulan tendangan setelahnya. Tendangan tepat di dada itu membuat napas Yozi agak terengah, tangannya meraih apapun di dekatnya saat kaki lain berusaha menyerang ke arahnya. Balok kayu yang agak lapuk itu langsung hancur tapi untung cukup kuat untuk melindungi Yozi dari tendangan itu.

Melihat Yozi agak lengah, dua orang dari mereka mengangkat Yozi dan mencekal lengannya di dinding sementara orang lain memukuli wajah Yozi kanan-kiri sampai Yozi merasakan aliran darah mengalir keluar dari hidungnya. Sial! Baiklah, sudah cukup main-mainnya, biar gue habisin kalian!. Yozi memelintir kedua tangan yang mencekalnya sampai terdengar suara krek yang menyakitkan diikuti raungan kesakitan yang tidak jelas. Lalu Yozi mengarahkan dengkulnya ke arah wajah orang yang sudah memukulinya habis-habisan sampai orang itu tergelatak tak bergerak. Sisanya dipukuli tanpa ampun sampai mereka berdarah-darah dan tergelatak tak berdaya. Sudah bisa diduga kalau bos pengecut itu sudah kabur entah kemana, meninggalkan anak buahnya tanpa berpikir panjang. Yozi menginjak salah satu diantara mereka yang tergeletak terlentang, rupanya dia belum mati karena sedikit ada erangan tertahan yang terdengar.

Yozi menyeruak ke dalam semak-semak tempat ia menyembunyikan motornya. Baru saja ia akan meraih jaket yang tergantung di stang motor, Yozi menyadari buku-buku tangannya yang lecet dan sedikit membiru karena pukulan-pukulan yang dilayangkannya tadi. Belum lagi goresan-goresan yang mulai mengeluarkan titik-tiitk darah di seluruh lengannya. Pipinya juga mulai membengkak dan berwarna keunguan, ada juga darah yang masih mengalir dari pelipis, hidung, dan ujung bibirnya.

“Sial!” umpatnya diikuti isakan. “Kenapa gue nggak ngerasain sakitnya?”


***

Mereka kembar identik. Laki-laki dan perempuan. Lahir tanggal 15 oktober. Yang lebih tua adalah yang laki-laki, Yozi namanya. Adiknya yang perempuan, lahir sepuluh menit setelah Yozi, Yumi namanya. Saat masih kecil mereka selalu berpenampilan sama, model rambut sama-sama pendek dan mengenakan baju yang sama persis, sehingga bahkan orang tua mereka pun susah membedakan. Suara dan cara tertawa mereka sangat mirip, memanggil satu sama lain Yo dan Yu karena nama lengkap terlalu sulit untuk diucapkan, selalu saja menangis apabila dipisahkan.

Saat masuk SMP, Yumi ingin memanjangkan rambut agar bisa diikat cantik seperti teman-teman. Yozi agak kecewa tapi lalu ia menyukai Yumi yang berambut panjang, adiknya terlihat sangat cantik. Tidak seperti dirinya yang sama sekali tidak bisa berpenampilan rapi. Dengan rambut urakan, baju yang selalu saja terlihat kusut dibalik jaket atau kadang hoodie, dan tatapan mata tajam menusuk, Yozi terlihat sangat berbanding terbalik dengan Yumi yang selalu nampak rapi, rambut panjang terurai, serta aura dan tatapan mata lembut. Mereka bukan lagi kembar identik.

Kala itu, saat istirahat makan siang ada salah satu anak laki-laki yang sedang menjaili Yumi. Melihat wajah Yumi yang terlihat kesal tanpa disadari Yozi melangkah ke arah mereka siap dengan sendok garpu di tangan. Sendok garpu yang tadinya akan digunakan untuk makan itu kini berlumuran darah, tertancap di bahu kiri Yozi. Anak laki-laki yang menjaili Yumi itu terlalu cepat menghindar dan malah balik menyerang Yozi dengan senjatanya sendiri. Dia menanti Yozi untuk menangis dan meraung kesakitan, tapi teriakan kesakitan itu malah keluar dari mulut Yumi.

Kenapa Yumi berteriak seperti itu? Yozi berpaling ke arah adiknya dengan pandangan penuh kengerian. Kenapa bahu Yumi juga terluka?

Bahu kiri Yozi mengeluarkan darah, begitu juga bahu kiri Yumi. Tapi kenapa  hanya Yumi yang merasakan sakitnya?


***

Tinggal satu lagi dan selesai! Yumi menepuk-nepuk tangannya dengan puas setelah berhasil menutupi semua luka Yozi dengan plaster. Yumi menangkup kedua tangannya di pipi Yozi, memperhatikan wajah kakak kembarnya yang kini dipenuhi plaster dimana-mana. Susah payah Yumi menahan tawanya, tapi Yozi malah tertawa duluan dan Yumi tidak bisa menahan untuk tidak ikut tertawa juga. Lagipula apapun yang dirasakan Yozi dirasakannya juga.

“Nggak adil” Yozi berhenti tertawa dan menatap adik kembarnya. “kenapa aku bisa merasakan semua yang kamu rasakan tapi kamu nggak bisa merasakan yang aku rasakan? Nggak adil! Kakak bodoh!”

Yozi  melihat mata adiknya yang mulai berkaca-kaca. Disingkirkannya rasa sedih yang mulai menyelimuti hatinya, dipikirkannya bayangan Yumi di hari pertama ia akan masuk SMA dengan seragam licin berwarna cerah dan semerbak wangi baru. Yumi terlihat cantik dan Yozi tidak tahan untuk tidak memeluknya.

Yumi merasakannya. Rasa senang dari kakaknya. Yozi dengan sengaja melakukannya agar ia tidak menangis. Dasar kakak paling bodoh sedunia! Dipukulinya Yozi dengan senyum lebar.


***

Langit sore itu lebih oranye dari biasanya. Perasaan Kevin benar-benar tidak enak. Yozi menyuruhnya menunggu di lapangan kecil yang terbengkalai di dekat komplek industri. Hanya itu isi SMS yang diterimanya secara mendadak. Dilihatnya lagi untuk kesekian kali jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Jam sebelas, sudah masuk jam pelajaran keempat, sudah lewat dari jam yang seharusnya. Kevin tidak keberatan kalau harus bolos dua jam pelajaran, tapi tidak biasa Yozi merasa perlu untuk berkomunikasi dengannya kecuali kalau tidak tentang Yumi dan kenyataan itu membuatnya merasa lebih cemas dari sebelumnya.

Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Kevin merasa ada hal buruk yang akan terjadi. Tidak mungkin terjadi apa-apa dengan Yumi kan? Hari itu Yumi absen sekolah karena sakit. Pasti Yozi menjaganya kan? Diakan kakak kembarnya! Ah dasar saudara kembar yang menyusahkan

Suara deruman motor mendekat. Yozi menghentikan motornya tepat di depan Kevin. Di jok belakang Yumi duduk dengan wajah datar, tidak memperdulikan kakaknya sudah turun dari motor.

“Anak ini tidak mau meninggalkanku sendiri” Yozi mengadu pada Kevin dengan penuh pertolongan. Sejak pagi Yumi terus menempel padanya dan tidak mau melepaskan genggamannya pada kaus Yozi. Yumi bahkan rela bolos sekolah—kegiatan yang sangat disukainya, padahal ia sudah lengkap memakai seragam sekolah. Sementara sekolah sudah lama hilang dari ingatan Yozi.

Kevin menghela napas, lega karena Yumi baik-baik saja, juga sedikit gemas dengan dua saudara kembar di depannya. “Jadi lo mau gue ngapain? Gendong paksa Yumi ke sekolah?” Tak ada respon dari Yozi, berarti benar? “Serius?” Kevin bertanya ulang dan melirik Yumi yang sudah memasang wajah keras, ogah digendong paksa ke sekolah.

“GGGGAAAAHHHHHH!!!” Yozi berteriak keras-keras sambil mengacak-acak rambutnya, diikuti desahan napas keputusasaan. Ia berpaling pada Yumi dan Kevin dengan lelah, “Kalian lapar?”

“Pesanan kalian” Kevin menaruh nampan penuh makanan itu di atas meja dengan susah payah. Yumi tidak memperbolehkan Yozi melakukan apapun selain selalu berada didekatnya dan itu membuat Kevin sedikit kualahan karena berarti ialah yang harus memesan makanan di counter dan membayarnya.

Saat makan pun Yumi memegang ujung jaket Yozi dan melihat ke arahnya sekali-kali. Seakan Yozi adalah orang sakti yang bisa menghilang dalam kedipan mata.

Yozi tidak tahan untuk tidak mencubit pipi adiknya yang penuh dengan makanan, “Makanlah dengan tenang, aku tak akan pergi kemanapun” Yumi menautkan alis, tak sepenuhnya percaya. Yozi tertawa tanpa bisa ditahan.

Ide buruk. Yumi bodoh! Dia sudah meminum dua kaleng diet coke dan sekarang ia sangat membutuhkan kamar kecil. Dilihatnya Yozi sambil merapatkan kaki. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia sudah berhasil sejauh ini menjaga Yozi, jika kakaknya itu memutuskan untuk pergi saat ia ada di toilet, Yumi tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.

Yozi sudah memperhatikan gelagat adiknya, ia memutar mata dengan lelah. “Ayo kuantar ke toilet” Setengah diseret Yumi pun pergi ke toilet. Ditariknya ujung jaket Yozi untuk menjepit pintu toilet. Berbekal keyakinan sendiri jepitan jaket itu akan menahan Yozi, dan kalau Yozi benar-benar menyayanginya ia tak akan kabur dari Yumi, iyakan?

Ujung jaket itu masih terjepit, begitu membuka pintu seseorang yang memakai jaket itu juga masih bersandar disana, tapi itu bukan Yozi. Dan Yumi nyaris menangis sambil memukuli Kevin dengan sepatu.


***

“LO TERLAMBAT!!!” teriak si botak dari seberang ruangan. Yozi mengernyit dan memperhatikan sekeliling, seakan takut bangunan berlumut setengah jadi yang seharusnya menjadi mall megah ini akan runtuh karena teriakan si botak. Sepertinya si botak mendapatkan cecunguk-cecunguk baru. Banyak juga. Terdapat sekitar tiga puluh orang berdiri di belakang bos botak itu.

Yozi menyeringai, heran pada diri sendiri bagaimana ia bisa berurusan dengan orang-orang IQ jongkok, heran dengan banyaknya orang bodoh yang mengikuti bos bodoh itu.

“Wah” seru Yozi, “gue minta sory lah, tadi lagi asik nge-date sama cewek lain eh jadi lupa kalau gue juga punya date sama monyet-monyet tolol” Yozi tertawa sendiri, tawanya makin lebar saat nampak beberapa anak buah si botak mulai berlari kearahnya. Tch gitu aja kepancing, Yozi mengusap ujung bibirnya—kebiasaan kalau ia mulai serius. Ia akan mengakhiri semuanya disini, ia sudah capek berurusan dengan orang-orang ini. Da juga, Jangan sampai terluka bodoh! Makinya pada diri sendiri.


***

“Kenapa lo biarin dia kabur?!” Yumi melotot pada Kevin, yang dipelototi malah menengok kearah lain.

Kevin menggaruk kepalanya, “Dia—katanya, eng—punya urusan penting--“

“Gue tau urusan itu mangkanya gue nggak biarin dia pergi!!!” Kevin diam sejenak, alisnya bertaut. Yumi nyaris menangis, tapi ia melanjutkan, “selama ini dia banyak berurusan sama orang-orang nggak bener dan kemarin ada pesan aneh di ponselnya” Yumi menarik kerah baju Kevin dengan kasar, “kalau terjadi apa-apa sama Yozi, lo bakal jadi orang pertama yang gue salahin!” Kevin menelan ludah, keder. Mendadak Yumi mirip sekali dengan Yozi. Yumi seram, seseram Yozi—saudara kembarnya.

Kevin buru-buru mengekor Yumi yang sudah lebih dulu menderap keluar dari tempat makan cepat saji itu. Ia bertanya dengan ragu, “lo mau kemana?”

“Nemuin saudara kembar gue”

“Caranya?”

Satu sudut bibir Yumi terangkat, sekali lagi ia terlihat mirip sekali dengan cowok garang itu, “gue selalu tau keberadaan Yozi, kita kan kembar” senyum misterius Yumi membuat Kevin merinding.


***

Hampir saja. Yozi cepat-cepat menjaga jarak. Ayunan kapak barusan bisa saja memutus kepalanya. Sejauh ini ia sudah memastikan kalau ia tidak terluka, yang berarti Yumi juga akan baik-baik saja. Tapi Yozi banyak kehilangan tenaga, ia sudah mulai lelah, napasnya memburu, mereka menggunakan senjata karena sudah jelas kemampuan otak mereka nihil, jadi yang bisa mereka andalkan hanyalah kekuatan otot.

Seringai Yozi menghilang begitu satu bogeman menghantam wajahnya. Sebelum ia limbung buru-buru ia membuat jarak aman. Sementara pelaku yang sudah berani mati memukulnya tertawa terbahak-bahak dengan sangat puas.

Yozi mengusap tempat yang tadi terkena pukulan dengan muka kecut, “Lo akan membayar mahal untuk itu!”

***

Yumi terjatuh lagi, tersandung pada kekosongan. Kevin cepat-cepat menolongnya dan heran sendiri saat melihat luka-luka yang ada disekujur tubuh Yumi. Pelipis dan ujung bibir yang lecet, lebam dipipi, sayatan dalam dan panjang di lengan, dan sekarang ada luka pukulan benda tumpul di betisnya. Dari mana semua luka itu berasal?!

Kevin mendekapnya erat tapi sarat kelembutan dan kehati-hatian, “Lo nggak apa-apa? Kenapa, kenapa tiba-tiba ada banyak luka ngeri gini sih?”

Yumi menolak untuk menjawab, ia mengerang kesakitan saat muncul luka baru lagi—sayatan yang melewati matanya. “Nggak ada waktu buat ngejelasin, kita harus cepet nemuin Yozi” Yumi berusaha untuk berdiri dan mengabaikan banyaknya rasa nyeri dan luka lebam yang tiba-tiba muncul. Yozi pasti benar-benar sedang dalam masalah.

“Nggak! Mending kita balik aja! Gue yakin Yozi bisa ngurusin diri sendiri!” Kevin tiba-tiba saja merasa kesal, ia kesal karena tidak tau apa-apa, ia kesal karena ia tidak bisa membantu banyak. Kalau menjauhkan Yumi dari Yozi adalah hal yang dikiranya akan membantu, akan ia lakukan semampunya.

Yumi seperti tidak mendengar apa-apa, “Kalau lo mau cabut, pergi aja” Yumi menoleh dengan senyum tipis penuh ketulusan, “Makasih atas semuanya.”

Setelah itu Kevin tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Ia merasa lumpuh, ia merasa ditelan kegelapan.


***


“YOZI!!!!”

Semua pasang mata menoleh kearah sumber suara. Di ujung lorong yang menyambung sisi lain gedung, berdirilah seorang cewek berseragam sekolah yang terlihat seperti baru saja kena amukan masa.

“Siapa cewek babak belur itu?” Bos botak yang sedari tadi menikmati pertunjukan pemusnahan parasitnya—alias Yozi—menatap dengan penuh selidik. Dia tidak mengira akan ada makhluk hidup lain yang memasuki daerah ini.

Tidak ada siapapun yang berani mendekati daerah ini. Gedung terbengkalai ini bukan terbengkalai karena kekurangan dana begitu saja. Saat masa pembangunan, gedung ini tiba-tiba saja mengalami kebakaran, semua pekerja meninggal dunia, tidak ada yang selamat. Setelah itu banyak cerita yang terdengar dari mulut ke mulut bahwa kawasan ini berhantu. Karena memang sampai sekarang tidak ada yang tau bagaimana gedung ini bisa terbakar, karena saat kebakaran terjadi, saat itu sedang hujan deras.

“WOI BOTAK!” Bos botak nyelengit dipanggil sekaligus dihina secara blak-blakan begitu. “MANA YOZI?” Teriakan Yumi keras, jelas dan tegas walau sedikit bergetar. Menyulut sesuatu dari lawan bicaranya tanpa disadari. Bos botak memberi isyarat pada cecunguknya untuk melepaskan Yozi, bukannya tanpa tujuan, ia ingin memastikan sesuatu.

Yozi dilemparkan begitu saja ke tengah ruangan. Yumi buru-buru mendekat dan ia seperti sedang melihat cermin. Luka mereka benar-benar sama percis, tepat di tempat yang sama. Bedanya hanya Yumi yang merasakan sakitnya. Nafas Yozi memburu karena kelelahan, nafas Yumi terpatah-patah karena ia kesakitan.

Yozi juga merasakan hal yang sama saat ia melihat Yumi—ia seperti melihat dirinya sendiri. Tadinya ia ingin memarahi Yumi, tapi matanya melembut dan ototnya mulai lemas saat mengingat Yumi lah yang merasakan sakit yang disebabkan Yozi.

“Pergilah sebelum mereka mulai macam-macam,” bisik Yozi lirih. Ia mengusap sebentar kepala adiknya sebelum berdiri dengan tegak.

Yumi ikut berdiri, agak limbung menghalangi kakaknya. “Nggak! Kalau aku pergi, kamu juga harus ikut!”

Yozi mengepalkan tangannya dengan sabar, menahan amarah yang tanpa ia sadari juga dirasakan Yumi, “Kamu nggak ngerti! Kalau aku nggak beresin mereka sekarang juga, mereka nggak akan pernah mau berhenti!”

“Jangan sok kuat!” Bentak Yumi, tangannya yang bergetar mencengkeram kaus Yozi, “Kamu pikir kamu bisa menang melawan mereka?” Matanya yang berair menatap Yozi lurus-lurus, “Aku nggak sanggup lagi.”

Yozi merasa seperti ditonjok, hatinya nyeri. Apa ini? Rasa ini berasal dari siapa? Dia? Atau Yumi? Sebelum Yozi sempat menemukan jawabannya, Yumi sudah direnggut darinya.

Salah satu dari mereka menarik rambut Yumi dan mencengkeram kedua tangan cewek itu dibelakang badannya. Teriakan kesakitan Yumi menggema di telinga Yozi. Menyulut luka di hatinya. Perih.

Bos botak itu memegang dagu Yumi, ia ingin melihat wajahnya lebih dekat, ia ingin memastikan, lalu ia tertawa, karena ia merasa benar. “Ternya kalian kembar.” Yozi menggeram tidak kentara. “Kalau lo mau saudara kembar lo ini selamat, mending lo diam” Yozi sama sekali tidak berniat melawan saat mereka mulai mengeroyoknya lagi. Matanya lurus menatap Yumi yang bergetar menahan rasa sakit. Wajah adiknya itu sudah sangat pucat, luka lama yang terus ditimpa dengan luka baru terasa lebih menyakitkan. Kenapa? Kenapa Yumi harus merasakan rasa sakit mereka sendiri? Kenapa bukan Yozi saja yang menanggung rasa sakit mereka berdua?

Yozi menggulung diri, memeluk lutut, menulikan telinga, membutakan mata, menerima semua pukulan dan tendangan yang bahkan tidak bisa ia rasakan. Ia ingin semua ini berakhir, bukan untuknya, tapi untuk Yumi.

Hening.

Yozi membuka mata, tidak ada pukulan dan tendangan kearahnya. Ia membuka telinga, dan teriakan kesakitan itu merongrong telinganya. Bukan teriakan darinya maupun dari Yumi. Tapi dari orang lain.

Bos botak serta semua cecunguknya meringkuk di lantai dan mengerang kesakitan. Ada yang menggaruk-garuk wajah dan sekujur badan diri sendiri sampai berdarah-darah, ada yang menjambaki rambut sendiri, ada yang menggigiti anggota badan diri sendiri seakan ingin melepaskannya. Alis Yozi bertaut melihat si bos botak menggeram kesakitan sambil menjedukkan kepala ke dinding. Apa yang sedang terjadi disini?

Yozi menoleh kearah adiknya yang kini berdiri tegak tanpa cengkraman dari siapapun, rambutnya seperti sedang diterpa angin padahal tidak ada angin berhembus sedikitpun diruangan besar tertutup ini, dan matanya kosong. Bukan menatap kosong, tapi benar-benar kosong.

Yozi berlari kearah adiknya secepat kilat. Ia mengusap wajah adiknya dengan hati-hati. Alis Yozi bertaut, adiknya terasa dingin sekali. Yozi memegang bahu adiknya yang kaku dan keras. Ia merasa seperti sedang memegangi patung lilin yang kaku dan dingin. “YUMI!!!” Yozi mengguncang adiknya, berusaha menyadarkannya. Tiba-tiba saja rasa takut menyerangnya. “HENTIKAN! YUMI! SADARLAH!!!” Yozi semakin kuat mengguncang Yumi dan menepuki pipinya berulang-ulang.

Teriakan disekitarnya semakin keras seakan rasa sakit mereka bertambah kuat. Teriakan kesakitan yang semakin nyaring itu lama-lama melambat dan hilang. Yozi tidak berani menoleh karena ia tau pasti suara teriakan yang lenyap itu karena si pemilik suara sudah menyerah terhadap rasa sakitnya.

Yozi menatap mata kosong Yumi dengan nanar, “Kumohon Yumi, hentikan.” Ia mendekap adiknya kuat-kuat.

“Kak?” Dekapan Yozi mengerat, ia tidak menduga akan mendengar suara itu lagi. “Yozi, sakit” Tubuh yang tadi kaku itu kini lemas seakan tanpa tulang. Yumi mulai merosot dari dekapan Yozi seakan ia merasa sangat lelah dan ingin berbaring. Yozi membiarkan adiknya berbaring dipangkuannya. Yozi nyaris menangis melihat mata Yumi yang sayup dan lelah.

“Apa itu tadi? Apa yang kamu lakukan?”

Yumi menggeleng, “Aku tidak tau, aku hanya merasa marah melihat mereka memperlakukannmu seperti itu dan lalu… gelap.”

Yumi menyalurkan rasa sakitnya. Emosi yang memuncak membuatnya hilang kesadaran. Rasa sakit yang ia dapat dari Yozi, ia sebarkan pada orang-orang yang memberi rasa sakit itu. Begitu ironis. Entah bagaimana.

Yozi mengusap darah yang sedari tadi terus keluar dari hidung adiknya. “Apapun yang kamu lakukan tadi, jangan pernah mengulanginya lagi.”

“Aku nggak bisa janji.”

Bos botak yang ternyata masih hidup, mengendap-endap dan memukul Yozi dari belakang menggunakan batang balok yang besar sampai Yozi terpental. Yozi sempat menyingkirkan Yumi sebelum ia terkena pukulan. Tapi sepertinya yang tadi dilakukannya bukan pilihan yang benar. Seharunya ia tetap mendekap Yumi.

Kini dari seberang ruangan dengan posisi tengkurap, darah yang menghalangi penglihatan mata kananya, dan badan yang lumpuh dan tidak bisa ia kendalikan lagi, Yozi melihat bos botak itu mendekati adiknya, mencengkeram kerah bajunya dan mengangkatnya seperti selembar kertas sampai kakinya tidak menjajak tanah.

“Kalian berdua memang saudara kembar yang aneh.”

Walau lehernya terasa mau patah dan nafasnya tercekat, Yumi masih bisa tersenyum dan menjawab, “Kami sering mendengar itu.”

Yozi sempat melihat Yumi menoleh kearahnya dan menggumamkan sesuatu kearahnya sebelum semuanya gelap.

***

Merah. Merah. Merah. Sejauh apapun ia memandang yang bisa dilihatnya ada warna merah. Warna merah yang pekat dan kental. Merah darah.

Yozi melihat kedua tangannya yang dipenuhi darah berwarna merah pakat. Bukan hanya tangannya, tapi sekujur tubuhnya dan disekitarnya. Gedung tua berlumut yang lembab dan tertutup. Terasa sangat familiar. Kenapa ia bisa ada disini? Berlumuran darah pula.

Tiba-tiba saja banyak mayat yang bermunculan dan tergeletak dimana-mana. Mayat-mayat ini, Yozi merasa seperti ia mengenal mereka.

Diseberang ruangan lain, ada seorang cewek berseragam sekolah yang berdiri menatap lurus padanya dengan senyum simpul yang manis. Cewek itu juga berlumuran darah, tunggu, bukan hanya darah tapi juga daging dan segala isi perut manusia. Yack.

Tunggu dulu, “Yumi?” Yozi melompati beberapa mayat dan melesat kearah cewek berseragam itu, “Yumi?”

Yozi memeluk Yumi tanpa segan, erat, hangat, dan penuh perasaan. “Aku meledakkan orang botak itu.” Yozi  mempererat pelukannya, “Aku kotor kak, jadi aku nggak boleh disini lagi.” Terdengar suara isakan tertahan, “Katanya aku harus pergi kak, padahal aku pengin bersama sama kakak selamanya tapi aku nggak boleh kak, aku menodai dunia ini.”

Yumi melepaskan diri dan membuat jarak. “Jangan lupakan aku ya kak, ingat apa yang aku bilang waktu itu.” Derasnya air mata Yozi, ribuan gelengan yang dibuat Yozi tidak akan bisa menghentikan Yumi untuk membuat jarak lebih jauh lalu menghilang. “Kak, ingat yang aku katakana waktu itu.”

“Aku mencintaimua.”


***

“Aku mencintaimu”

“Hah?”

Yozi membuka mata lebar-lebar. Jantungnya berderu kencang. Cahaya terang menghantam matanya dan membuat nyeri kepalanya. Sekujur badannya terasa ngilu. Tunggu, ia bisa merasakan rasa sakit?

Suara tawa terdengar dari sebelahnya, “Lo kenapa bro? Jangan-jangan otak lo keparut aspal ya? Ngigau terus dari tadi, mimpiin siapa sih? Mimpi cewek ya? Sekarat gini sempat juga lo mimpi basah.” Kevin, cowok itu terbaring diranjang sebelahnya dengan kepala terbalut perban dan luka lecet diwajah. Mungkin saja ada luka lecet lain dibalik seragam rumah sakit yang dikenakannya. Walaupun begitu ia sangat menikmati waktunya dengan bermain game PC dan memakan irisan buah apel.

“Yozi!” Seorang wanita paruh baya menerobos masuk dengan air mata dan ingus yang bercucuran, dibelakangnya mengekor laki-laki beruban dan berjenggot tebal dengan wajah datar dan bosan. “Akhirnya kamu sadar juga nak”

“Dasar anak kurang ajar, bikin khawatir orang tua saja kamu ini.”

Mereka mengelus dan mengusap Yozi. Membelainya dengan penuh kasih sayang. Sementara itu, Yozi merasa canggung setengah mati. Ia menoleh pada Kevin dengan wajah merana meminta pertolongan, yang dimintai tolong malah tertawa diam-diam dan bergumam, “Mereka nangisin lo tuh semalaman.” Lalu menutup tirai pembatas dengan alasan memberi mereka privasi.

Yozi tidak pernah sedekat ini dengan orang tuanya setelah ia memutuskan untuk melupakan yang namanya sekolah dan pendidikan. Ia merasa tidak adil jika ia dapat merasakan kasih sayang orang tua dan pendidikan yang layak sementara Yumi harus menanggung rasa sakit darinya diam-diam.

“Tunggu, Yumi! Yumi mana ma?” Mama melihat Yozi seakan ia sudah gila. Papa menghela nafas dan menoleh kearah lain. Tidak ada yang tau harus menjawab apa. “Kenapa diam? Yumi mana?!” Suara Yozi meninggi, ia berusaha mencabut selang infus dan bangun untuk mencari Yumi. Papa dan Kevin langsung menahannya.

“Nak,” Suara mama bergetar, “Kata dokter kamu mungkin kenar trauma berat pasca kecelakaan.”

“Kecelakaan?” Mata Yozi membulat, bingung.

“Lo lupa bro? Kita kena kecelakaan beruntun habis pulang dari Bogor, sial banget ya, baru seneng-seneng pulang malah babak belur.” Kevin menyela lalu tertawa dengan wajah tolol senantiasa yang menjadi trend-mark nya.

“Seneng-seneng apanya? Dari Bogor otaklo bocor! Gue kan pergi mau musnahin komplotan sialan itu, gue suruh lo jagain Yumi tapi lo kemana hah?! Lo malah biarin Yumi datang ke tempat berbahaya kayak gitu!” Yozi memaki dan berteriak dalam sekali tarikan nafas. Sementara ia diam sejenak untuk menarik nafas, mama, papa dan Kevin menatapnya dengan nanar.

Papa memencet tombol diatas tempat tidur Yozi, “Kamu benar-benar butuh perotolongan, Dr. Shin akan segera kesini, Dr. Shin itu dokter yang hebat, beliau pasti bisa sembuhin kamu. Mengalami kecelakaan yang parah memang benar-benar bikin trauma, apalagi kamu sempat melihat pemandangan berdarah-darah dan isi perut manusia terburai disepanjang jalan. Tenang ya, kamu pasti sembuh kok, papa nggak mau kehilangan anak papa satu-satunya.”

Yozi berteriak dengan frustasi lalu tiba-tiba terdiam, “Anak papa satu-satunya? Maksud papa apa? Ada Yumi! Papa lupa Yumi! AAHHH MANA YUMI!” Kenapa mereka tidak mau mengatakan dimana Yumi? Pemandangan berdarah yang Yozi lihat bukan di jalanan, tapi di gedung tua, bersama Yumi. Dengan Yumi. Yumi. Kenapa tidak ada yang mengerti sih.

“Nak, sayang,” Mama mebuka mulut dengan ragu, “Siapa Yumi yang terus kamu sebut-sebut ini? Bahkan waktu kamu kritis kamu terus mengigau dan menyebut namanya, apa dia pacarmu? Temanmu? Atau korban kecelakaan juga? Biar mama cari ya nanti.” Mama mulai terlihat takut, ia takut hal-hal mengerikan yang terjadi seperti di film-film. Anaknya yang mengalami kecelakaan, jiwanya tertukar atau mungkin yang kembali bukan jiwa anaknya. Tidak realistis tapi yang terjadi pada Yozi sekarang juga benar-benar tidak masuk akal.

Yozi terlihat ingin menangis, “Yumi ma, saudara kembar Yozi, adik kembar Yozi yang cantik, anak mama sama papa juga.”

Papa dan Kevin melepaskan pegangannya pada Yozi, mereka menatap Yozi dengan nanar sementara mama tidak kuat menahan tangis.

“Bro jangan gini dong, gue ngeri,” Kevin menggaruk kepalanya dengan canggung. “Elo punya saudara kembar? Ngadepin lo aja gue udah kualahan apalagi kalau yang kayak lo ada dua.”

“Yozi—“ papa tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, “Siapapun Yumi yang kamu sebut-sebut ini,” Ia mendekap istrinya yang isakannya semakin keras.

“Yumi itu tidak ada.”



Please Read Me;

Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapatmu tentang CERPEN Yumi & Yozi. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.

Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.

Bye.


♦♦♦


Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku! 
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. 
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!  

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Contoh Laporan PKL/PRAKERIN PowerPoint Bahasa Inggris Kurikulum 2013

Hai ... Aku termasuk korban kurikulum 2013, angkatan pertama percobaan malah. Aku tau kurikulum 2013 itu ribet banget, jadi jalanin aja yah adek-adek ku muah~ Aku murid SMK N 2 Batam Kelas XI Akuntansi 3 Baru saja menyelesaikan PKL selama 4 bulan (Juli - Oktober) di PT. Unisem Batam Banyak pengalaman yang ku peroleh Salah satu alasan ku memilih SMK adalah kepingin merasakan yang namanya PKL, dan siapa sangka ternyata bener-bener tak terlupakan. Berikut adalah hasil laporan PKL/PRAKERIN punyaku. Karena sepertinya setting di Microsoft PowerPoint 2011 aku beda dari google jadi sepertinya ada beberapa gambar dan tulisan yang melenceng dari tempatnya, mohon di maklumi yah ^^~ Kuharap ini bisa membantumu yang terdampar disini untuk mencari sesuatu, hehe..

Drama Negosiasi 4 orang pemain: Perencanaan Penggusuran

Hello everybody~  \nyanyi Shinee - Everybody\ Ehem.. okay.. so.. gue lagi dapet tugas dari Guru Bahasa Indonesia (Guru yang sama yang ngasih gue tugas buat puisi -_-) disuruh buat Drama dengan tema Negosiasi, dan perkelompok itu sebanyak 4 orang, dan inilah hasil naskah drama ala kadarnya yang gue buat malem2 -uh- >< Kelompok gue belum nampil sih, tapi... aah.. gak tau deh nanti nampilnya bakal kayak mana. Sebenernya gue gak asing lagi sih sama yang namanya "DRAMA" tapi tetep bikin kretek-ktetek :v

Perjalanan Perubahan Warna Rambut

Dulu, kalau aku berani mencoba mewarnai rambutku mungkin aku akan langsung di bakar di perapian. Tapi sekarang beda tahun, beda cerita dan sepertinya beda jaman. Aku pertama kali mewarnai rambutku saat tahun baru 2014. Waktu itu warna yang muncul seharusnya dark blonde , tapi karena rambutku hitam banget, warna itu hanya muncul saat terkena cahaya atau sinar matahari. Karena kurang puas akhirnya aku pergi ke salon lagi. Salon yang selalu ku datangi sebelumnya adalah salon teman mamaku. Tapi, karena lokasinya jauh akhirnya aku memilih salon yang ada di mall terdekat. Aku memilih salon tertutup, seperti salon yang khusus untuk wanita-wanita hijab yang ingin merawat rambut tanpa mengumbar aurat (kira-kira begitu) dan isinya wanita semua. Warna yang ku pilih lagi-lagi blond e. Setelah hampir dua jam waktu ku habiskan di salon itu rambut ku malah berwarna oranye sedikit kekuning-kuningan. Ternyata tadi tanpa aku sadari orang yang mengurusi rambutku menambahkan bleach karena rambu...