Loh… kok… kok jadi canggung.
Suasananya jadi aneh.
Atmosfir tiba-tiba seperti menipis.
Sepuluh detik yang lalu terasa masih normal. Aku dan Zidny menggosipi gosip terbaru sambil melongok-longok ke bawah mengamati khalayak adik kelas yang berjalan kesana-sini. Lalu dia datang.
“Hai”
“Hei” Zidny menyapanya balik dengan ceria dan casual sementara aku hanya mengangguk tanpa suara dan tanpa sedikitpun menoleh. Aku ragu dia memperhatikan. “kalian ngapain?”
“Lagi skydiving, mau ikut?” Zidny menyahut dengan sarkastik, diam-diam aku tertawa. Secara tidak langsung Zidny mengatainya tolol karena selalu melemparkan pertanyaan bodoh. Intinya Zidny tidak suka basa basi.
Aku menemukan koridor yang agak sepi padahal sedang waktunya istirahat sebagai hal menarik untuk diperhatikan saat kurasakan Zidny mencubit pinggangku. Dengan kesal kupelototi dia dari ujung mata. Dia mendecak dengan kesal, mengedikkan kepalanya kearah cowok itu dengan cara tidak terlalu kentara. Aku mendengus dan mengalihkan pandangan yang mungkin diartikan Zidny sebagai masa bodoh.
“Jadi, ada apa bapak Reynald yang terhormat sampai anda tumben-tumbennya menghampiri kami-kami ini yang bukan apa-apa?” sarkasme Zidny selalu bisa membuatku tertawa.
Reynald tertawa, “keliatan banget ya gue udah ganggu kalian, mau ngusir?”
“Iya, sono-sono pergi!” Zidny mengusir-ngusir tapi Reynald sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Ia malah mengalihkan pembicaraan dan aku menenggelamkan diri lebih jauh dari percakapan mereka. Tanpa sedikitpun rasa ingin mendengar atau terlibat percakapan mereka.
“Kok lo diem sih?” aku tersentak, Zidny bertanya padaku tanpa menoleh. Ternyata Reynald sudah tidak ada.
“Nggak kok, perasaan lo aja kali”
“Shifa, lo diem” Zidny menegaskan, perlu banget gitu ditegaskan? “Tiba-tiba lo diem tadi waktu dia datang, kan gue jadi ngerasa nggak enak. Gue nggak suka diem-dieman”
“Lah kan lo pandai ngebacot, lo juga udah nyerocos mulu tadi”
“Hih bukan itu maksud gue! Lo jadi aneh aja gitu kalau ada dia”
Aku diam.
Zidny diam.
“Oh iya seharian ini kok gue belum keliatan batang hidungnya Nat yang mancung itu ya?”
Syukurlah topik berubah.
“Nggak masuk kali dia”
“Mungkin”
***
Zidny sahabatku. Itu sudah merupakan rahasia umum. Aku mulai merasa hal yang kusembunyikan ini tidak adil untuknya. Bukannya aku sengaja menyembunyikannya. Aku hanya tidak melihat hal baik yang akan terjadi kalau saja aku memberitahunya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi jauh di dasar hatiku, aku tau dia sangat pantas untuk mengetahui kebenarannya.
“Shifa”
Aku berhenti mengelap kaca jendela dan menoleh, Nat tersenyum sambil mengacungkan sapu yang patah. Tidak terpikir olehku kalau kami piket di hari yang sama.
“Nathan”
“Sapu kami patah nih, boleh minjam nggak?”
Memang sapu kalian dipakai terbang atau perang gladiator sampai patah begitu? Dasar aneh. Aku mengedikkan bahu, “masuk kelas aja, tanya mereka ada sapu nganggur atau nggak”
“Sip” ia berlari memasuki kelasku lalu tak lama kemudian keluar sambil membawa sapu utuh dengan tulisan nama kelasku di pegangannya, “temen lo genit semua” Nat berbisik.
Aku balik berbisik, “salah sendiri lo ganteng”
Nat menghentikan langkah, berbalik ke arahku dan tersenyum dengan jail, “lo pikir gue ganteng?”
Aku menaikkan satu sudut bibirku, “gue hanya mengutarakan pendapat umum yang sering gue denger”
“Jadi menurut lo gue ganteng?” Nat merasa perlu untuk mengulang pertanyaannya.
Mengutip pendapat Zidny yang menjadi pengagum rahasia Nat aku menjawab “untuk standar orang Indonesia, lumayan lah, not bad” ku kibaskan lap berwarna pudar yang ku pegang dan berjalan memasuki kelas sebelum mengambil tas dan pulang. Berusaha melupaka segala hal yang terjadi hari ini.
***
“Lo pacaran sama Nat? Nathan?”
“Nggak”
Dengan tenang aku menjawab. Zidny kalau sedang marah seperti ini tidak bisa balik dimarahi. Yang ada dia malah memutar balikkan fakta menjadi hal yang tidak masuk akal. Lagipula pertanyaan bodoh apa tadi? Aku dan Nathan pacaran? Lebih baik aku pacaran dengan manusia purba daripada dengan cowok songong yang minta di tonjok. Malah sampai detik ini aku belum menemukan alasan logis kenapa Zidny sangat memuja-muja Nat. Visualnya oke, otaknya juga lumayan encer, tapi kepribadian nol besar!
“Trus kenapa banyak yang bilang kalau kalian pacaran?”
“Mana gue tau Zidny, sejak kapan gue mau ngurusin omongan orang” aku menjawab dengan sabar.
“Tapi, katanya kemarin mereka denger lo bilang Nat ganteng trus Nat juga bilang lo cantik, pokoknya completely like flirting couple lah!”
Cuman orang-budek-yang-suka-nguping-dan-sok-tau yang menyebarkan gosip murahan seperti itu.
“Gue? Flirting? Dunia udah mau kiamat?” aku menaikkan sebelah alis, “Zid, mereka itu siapa? Lo lebih percaya gue atau mereka, ha?”
Zidny mulai tenang, sepertinya pikiran logikanya tidak bekerja terlalu baik di pagi hari seperti ini.
Tak ada seorangpun yang menduga Nathan bakal datang dan merangkulku penuh mesra, “duh babe kita udah viral nih di website gosip sekolah” dih kenapa terdengar vulgar begitu.
Kuinjak kakinya dan kutendang tulang keringnya sampai Nat meloncat-loncat kesakitan, “watch where you’re touching dude!”
“Pacar gue galak ya pagi ini” Nat tersenyum tengil. Gahhh ingin sekali ku tempeli bibirnya itu dengan sepatu sekolahku yang tidak pernah ku cuci ini.
Ku tarik dasinya sampai ia nyaris tercekik, “sejak kapan gue jadi pacar cowok brengsek kayak lo hah?”
“Orang-orang mengharapkan kita pacaran, udah turutin aja” Nat terkikik.
Ku sentakkan dia sampai nyaris terjungkal ke belakang, “sory gue bukan entertainer munafik kayak lo, awas kalau lo masih berani-berani ngebacot kita pacaran, gue pastiin lo ketemu raja neraka besok” saat itulah baru aku sadar Zidny sudah hilang entah kemana.
***
“Nangis mbak?”
“Ngaca lo ya! Gue kelilipan debu satu truk nih”
Zidny tertawa dengan garing sementara Reynald hanya tersenyum penuh pengertian.
“Gila ya? Ternyata siapa aja bisa nusuk lo dari belakang” Reynald diam, ia tidak tau harus berkata apa. Reynald diam selagi memikirkan hal positif untuk dikatakan sementara Zidny menyeka ingus dengan suara berisik. “Kok lo sama Shifa nggak jadian sih? Bukannya kalian udah lewat tahap PDKT ya? Padahal gue antusias banget nunggu kalian jadian” mengalihkan pembicaraan, Zidny banget.
Mungkin bukan waktu yang tepat untuk jujur, tapi kalau Reynald terus menunggu waktu yang tepat bisa saja waktu itu tidak akan pernah datang kalau tidak ia sendiri yang menciptakan, “gue bukan PDKT sama Shifa” jeda cukup lama, “gue PDKT sama lo” Zidny bungkam. Selesai sudah! Mungkin ini saat terakhir Reynald bisa berada sedekat ini dengan Zidny, sudah, keluarkan saja semuanya.
“Mungkin lo nggak sadar tentang ini tapi Shifa berusaha bikin gue bisa deket sama lo” kalau dipikir ulang, kalau saja Zidny mau berpikir, sekali saja berpikir tentang Reynald dan bukan Nathan mungkin ia akan menyadari keberadaan Reynald lebih banyak dari Nathan. Bagaikan buku absen, Reynald anak baik yang tidak pernah alfa sementara Nathan anak bandel yang kelot minta dikeluarkan. “Shifa akan bikin kalian duduk agak jauh dari kerumunan dan nyaman ngobrol lalu gue bakal tiba-tiba ikut nyambung, dia yang bikin kita jadi banyak ngomong kayak sekarang. Tapi dia selalu nyuruh gue buat nyamperin kalian belakangan karena dia yakin lo bakal ngomongin Nathan dulu sebelum lain-lain, dan gue ikut nimbrung waktu kalian ngobrolin Nathan bukan ide yang bagus” Reynald terkekeh, tapi Zidny tidak merasa ada sesuatu yang bisa ditertawakan sekarang.
“Shifa keliatan kesel banget waktu gue bilang gue mau nembak lo akhir minggu lalu, dia bilang gue belum berhasil. Dia gue paksa jujur tentang apa kira-kira yang lo rasain ke gue, dan dengan sadisnya lo tau dia ngomong apa? Dia bilang, nggak ada” Reynald terkekeh lagi, “trus dia bilang, lo cuman mikirin Nathan dan gue nggak pernah lo sebut sama sekali” selama berbicara Reynald tidak berani menoleh pada Zidny. Kini ia pasrah. Ini bukan pernyataan cinta, ini lebih seperti pengakuan dosa. Apapun respon Zidny akan ia terima, akan ia ambil positifnya, walau ia yakin semuanya akan negatif.
“Lo tau kenapa lo nggak pernah gue sebut?” Reynald dan Zidny sama-sama menahan nafas saat mereka tanpa sengaja saling menatap, “karena Shifa suka sama lo” Reynald bungkam dengan mata melotot. Ia sama sekali tidak menduga respon Zidny yang seperti itu. Tak terpikirkan sama sekali Zidny akan mengatakan itu, Reynald benar-benar tidak siap.
***
Sialan lo Rey! Timing lo salah total! Bodoh bin tolol! Semuanya brengsek! Berani-beraninya Reynald mengatakan kejujurannya disaat Zidny lebih butuh kebohongan. Walaupun Reynald sudah jujur bukan berarti Zidny harus ikut jujur juga kan? Kenapa Zidny malah ikut membuka kartu As ku? Semuanya hancur!
Apa yang bisa ku lakukan sekarang? Tidak ada.
Dan disinilah aku, berkerut di balik dinding membiarkan setiap kebenaran yang selama ini ku sembunyikan mati-matian di bongkar dan didengar oleh pihak yang tidak seharusnya mendengar. Saat ini aku yakin, sangat yakin bahwa mengatakan yang sebenarnya belum tentu benar. Di dunia ini ada hal yang bisa dan tidak bisa dikatakan.
***
Zidny tersenyum padaku. Senyum itu, palsu. Aku tidak suka Zidny yang mulai memasang jarak dan memakai topeng di depanku.
“Kenapa lo nggak bilang?” tentang Reynald.
“Karena gue nggak berhak” aku masih sama, ini masih aku. Tapi Zidny sudah beda, ini bukan dia. “dan lo juga nggak berhak bilang itu ke Reynald”
“Lo sama Nat?”
Aku mendengus dengan kesal, “nggak ada! Dari awal sampai sekarang, sampai nanti, kami nggak ada apa-apa”
Zidny memasang ekspresi asing. Aku tidak mengenalnya lagi.
“Lo mau tau pikiran gue soal Nathan? Nathan itu brengsek, nyebelin, songong, nggak punya etika, dan gue sama sekali nggak punya respect buat dia!”
“Jadi selama ini lo pikir gue suka sama cowok yang brengsek, nyebelin, songong, nggak punya etika dan nggak pantas dapet respect dari lo?” Ini dia, Zidny mulai memutar balikkan fakta.
“Gue nggak bilang gitu! Lo sahabat gue, gue hargai apapun yang lo pilih, karena itu gue—”
“Karena itu lo diem-diem comblangin gue sama Reynald?” tiba-tiba ganti topik? Oke. “padahal lo suka sama dia? What the hell was that?”
Aku mengatur nafas, “gue nggak suka sama dia dari awal, atau mungkin gue nggak sadar—yang jelas itu nggak penting”
“Jadi apa yang penting?”
Mungkin pada akhirnya aku dan Reynald akan ada di posisi yang sama. Ini akan jadi kesempatan terakhirku untuk berada sedekat ini dengan Zidny. Terserahlah.
Reynald yang awalnya minta didekatkan dengan Zidny.
Bodohnya aku malah suka pada Reynald.
Zidny yang memuja Nathan dan dengan bangga mengatakan ia penggemar rahasia Nathan.
Dan Nathan yang walau pada akhirnya masih sangat ingin ku bakar rambutnya.
Awal dan akhir tidaklah penting, yahh walaupun aku berharap aku mendapat akhir yang lebih baik dari ini. Tapi yang penting adalah prosesnya. Waktu yang ku lewatkan bersama Zidny dan Reynald.
Walaupun pada akhirnya aku yakin tidak ada satupun diantara aku dan Zidny yang akan memulai percakapan dan membangun semuanya kembali nantinya.
Pada akhirnya akan menjadi sangat canggung dan aneh diantara aku dan Reynald.
Yang terpenting aku punya kenangan tentang dan dengan mereka.
Baiklah.
“Elo, karena dari awal ini bukan cerita gue, ini cerita lo Zid”
***
Please Read Me;
Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapatmu tentang CERPEN In Between. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.
Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.
Bye.
♦♦♦
Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku!
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!
Comments
Post a Comment