"Panas. Matahari sepertinya sedang sangat bersemangat untuk membakar dunia. Saat yang selalu ku tunggu-tunggu selama 6 hari berturut-turut hanyalah saat dimana bel tanda pulang berdengung dengan indah di telingaku. Agak dehidrasi. Minum sudah habis dari istirahat pertama. Setengahnya tumpah membasahi isi tas paginya. Sial. Tapi, ambil sisi positif saja—untung tidak membasahi seluruh buku yang ada di dalam tasku.
Masih panas. Jadi jangan salahkan aku kalau aku berjalan dengan agak limbung menuju gerbang. Dengan kepala tertunduk pula. Tak disangka, agak menyenggolku dari samping kiri dengan ringan sambil mengatakan sepatah kata dengan jelas dan santai, "permisi." Aku menghentikan langkah lalu menatap orang yang kini beberapa langkah di depanku. Menoleh ke belakang—padaku, dengan seulas senyum. Dua detik berlalu, "ngagetin." dan hanya itu yang kukatakan akhirnya. Agak ragu juga apa orang itu bisa mendengar suaraku yang mendadak sekecil semut karena lalu ia berpaling dan berjalan menjauh, dengan tergesa-gesa pula.
Setelah beberapa lama, hanya sepatah kata yang tertukar dan seulas senyum darinya. Aku jadi ling-lung sendiri. Apa ini? Kenapa? Ah sudahlah. Lupakan saja. Tapi, tidak bisa! Ugh bikin frustasi.
Memang apa yang kuharapkan? Kami pernah dekat, aku akui itu. Sangat dekat malah. Tapi itu sudah lama berlalu. Kupikir saat itu aku banyak bicara atau mungkin banyak curhat padanya karena saat itu aku merasa kesepian. Ingat kok, waktu itu kenaikan kelas dan aku berpisah kelas dengan teman-teman dekatku. Sedih. Dan saat itu hanya ada dia.
Sekarang kami saling menjauh. Jujur aku tidak mengerti apa sebabnya. Bagaimana awalnya bisa begini. Aku tidak tau. Yang jelas inilah yang sekarang terjadi.
Dulu kami sama. Tidak selalu sependapat, sering berdebat, dan nggak jarang adu kalimat. Tapi kami sama.
Sekarang kami berbeda. Dia lebih mencolok. Tanpa harus mencari, tanpa harus berkonsentrasi, aku bisa menemukannya dengan mudah. Ia sangat dikenal sekarang. Sangat dipuja. Dan disinilah aku, berdiri diantara pemujanya. Tidak meminta banyak. Tidak juga meminta agar kami bisa dekat lagi. Toh kala dekat itu tidak ada spesial-spesialnya. Aku tidak menganggapnya sebagai gebetan atau apalah, begitu juga sebaliknya. Jadi, kalimat lebih baik menjauh saat menjadi gebetan daripada mantan tidak berlaku disini. Tapi kangen juga mendengar suaranya di dekat telinga. Sama-sama menertawakan masa lalu. Ah lucunya.
Saling bertukar sepatah kata dan seulas senyum membuatku berpikir terlalu banyak. Apa sih yang kuharapkan? Tidak ada kok. Terus kenapa dipikirkan? Tidak tau. Kalau begitu lupakan. Baiklah. Tapi kenapa masih diributkan? Susah. Karena terus kepikiran? Iya. Dasar bodoh. Emang.
Kenapa bisa kepikiran? Kemarin-kemarin aku tidak pernah kok memikirkannya. Entah sengaja atau tidak yang jelas tidak pernah. Tapi kenapa kejadian tak sampai satu menit itu membuatku uring-uringan. Memang dia siapa? Kau siapa? Tidak ada yang bisa menjawab."
Masih panas. Jadi jangan salahkan aku kalau aku berjalan dengan agak limbung menuju gerbang. Dengan kepala tertunduk pula. Tak disangka, agak menyenggolku dari samping kiri dengan ringan sambil mengatakan sepatah kata dengan jelas dan santai, "permisi." Aku menghentikan langkah lalu menatap orang yang kini beberapa langkah di depanku. Menoleh ke belakang—padaku, dengan seulas senyum. Dua detik berlalu, "ngagetin." dan hanya itu yang kukatakan akhirnya. Agak ragu juga apa orang itu bisa mendengar suaraku yang mendadak sekecil semut karena lalu ia berpaling dan berjalan menjauh, dengan tergesa-gesa pula.
Setelah beberapa lama, hanya sepatah kata yang tertukar dan seulas senyum darinya. Aku jadi ling-lung sendiri. Apa ini? Kenapa? Ah sudahlah. Lupakan saja. Tapi, tidak bisa! Ugh bikin frustasi.
Memang apa yang kuharapkan? Kami pernah dekat, aku akui itu. Sangat dekat malah. Tapi itu sudah lama berlalu. Kupikir saat itu aku banyak bicara atau mungkin banyak curhat padanya karena saat itu aku merasa kesepian. Ingat kok, waktu itu kenaikan kelas dan aku berpisah kelas dengan teman-teman dekatku. Sedih. Dan saat itu hanya ada dia.
Sekarang kami saling menjauh. Jujur aku tidak mengerti apa sebabnya. Bagaimana awalnya bisa begini. Aku tidak tau. Yang jelas inilah yang sekarang terjadi.
Dulu kami sama. Tidak selalu sependapat, sering berdebat, dan nggak jarang adu kalimat. Tapi kami sama.
Sekarang kami berbeda. Dia lebih mencolok. Tanpa harus mencari, tanpa harus berkonsentrasi, aku bisa menemukannya dengan mudah. Ia sangat dikenal sekarang. Sangat dipuja. Dan disinilah aku, berdiri diantara pemujanya. Tidak meminta banyak. Tidak juga meminta agar kami bisa dekat lagi. Toh kala dekat itu tidak ada spesial-spesialnya. Aku tidak menganggapnya sebagai gebetan atau apalah, begitu juga sebaliknya. Jadi, kalimat lebih baik menjauh saat menjadi gebetan daripada mantan tidak berlaku disini. Tapi kangen juga mendengar suaranya di dekat telinga. Sama-sama menertawakan masa lalu. Ah lucunya.
Saling bertukar sepatah kata dan seulas senyum membuatku berpikir terlalu banyak. Apa sih yang kuharapkan? Tidak ada kok. Terus kenapa dipikirkan? Tidak tau. Kalau begitu lupakan. Baiklah. Tapi kenapa masih diributkan? Susah. Karena terus kepikiran? Iya. Dasar bodoh. Emang.
Kenapa bisa kepikiran? Kemarin-kemarin aku tidak pernah kok memikirkannya. Entah sengaja atau tidak yang jelas tidak pernah. Tapi kenapa kejadian tak sampai satu menit itu membuatku uring-uringan. Memang dia siapa? Kau siapa? Tidak ada yang bisa menjawab."
ughhhh :v
ReplyDelete