Tulisan sebelum tidur. Tak bisa ku ingat kapan terakhir kali aku melakukan ini, yang jelas sudah lama sekali. Dan aku sedikit merindukannya.
Bagaimana aku bisa menuahkan kegundahan yang bahkan tidak bisa di mengerti orang terdekat dan ku muntahkan menjadi paragraf-paragraf yang akan kembali ku baca suatu hari di masa depan.
Pernah merasa seperti terperangkap disebuah ruangan kecil tanpa jendela, ventilasi, bahkan pintu sekalipun? Seakan terperangkap dalam sebuah pengulangan buruk yang membunuh sedikit demi sedikit.
Apapun yang menyentuh kulit akan menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Sebuah mindset buruk pun terpasang di segala hal yang seharusnya tidak menimbulkan efek apapun.
Perasaan putus asa, tidak adil, kecewa, dan perasaan paling kuat diantara yang ada, kesendirian. Semuanya datang dari segala arah, menyerang titik lemah. Mematikan titik vital, hati.
Sebenarnya, aku sering diingatkan untuk mendekatkan diri padaNya. Kajian demi kajian. Namun hal itu seakan hanya ku tampung tanpa ada niatan untuk mempraktekkan.
Aku merasa segala hal yang menimpa diriku sangatlah tidak adil. Sangatlah tidak sepadan dengan apa yang ku berikan. Dan dengan tanpa malu aku menyalahkan Allah.
Aku benci padaNya karena membuat hidupku hancur dengan mengambil ayahku. Aku benci padaNya karena dengan perginya ayah juga membuatku kehilangan ibu dan saudaraku satu-satunya. Aku benci padaNya karena membuatku merasa tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku selalu merasa seperti bayangan tidak tau malu, tidak tau apa-apa dan tidak punya apa-apa yang memaksa matahari agar terus bersinar agar aku bisa membesar. Memangnya apa kewajiban matahari untuk melakukan itu? Memangnya apa yang sudah ku perbuat untuk matahari?
Tidak ada.
Aku memang tidak tau terimakasih.
Aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana tidak ada seorang manusia pun yang mau memperhatikan ku padahal Allah selalu melihatku.
Aku terlalu sibuk menggandeng dan mencurahkan seluruh perhatianku pada manusia yang bahkan hanya memikirkan kepentingannya sendiri padahal Allah selalu bersamaku.
Aku terlalu sibuk mengharapkan bagaimana manusia akan membalas kebaikanku padahal Allah selalu baik padaku dengan memberiku nafas kehidupan.
Aku terlalu sibuk mengatakan hal-hal tidak penting pada manusia padahal Allah selalu berusaha berbicara padaku lewat sholat yang jarang ku lakukan.
Aku memang hina.
Aku sengaja bersikap jahat pada manusia lain hanya karena mereka tidak memperlakukan ku seperti yang aku mau. Aku berkata jahat pada mereka, aku menyakiti mereka, hanya karena mereka tidak memenuhi ekspektasiku. Aku mengutuk mereka dalam hati karena mereka mengganggu kenyamanan ku.
Aku memang tidak pantas dijadikan hamba Allah jika aku sendiri tidak bisa memperlakukan hamba Allah yang lain dengan santun. Ego ini merasukiku. Keserakahan ini menguasaiku. Walau pada akhirnya rasa bersalah ini meracuniku, aku tetap tidak perduli.
Aku terlalu banyak membenci untuk bisa merasakan cinta.
Aku melukai karena terlalu banyak terluka.
Aku berkata kasar untuk menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.
Allah Swt yang maha pengasih masih saja mau menyebut manusia hina ini hambaNya. Apakah aku masih pantas walaupun aku terlambat memperbaiki diri?
Aku akan tau saat aku bersamaNya kelak.
Bagaimana aku bisa menuahkan kegundahan yang bahkan tidak bisa di mengerti orang terdekat dan ku muntahkan menjadi paragraf-paragraf yang akan kembali ku baca suatu hari di masa depan.
Pernah merasa seperti terperangkap disebuah ruangan kecil tanpa jendela, ventilasi, bahkan pintu sekalipun? Seakan terperangkap dalam sebuah pengulangan buruk yang membunuh sedikit demi sedikit.
Apapun yang menyentuh kulit akan menimbulkan rasa tidak menyenangkan. Sebuah mindset buruk pun terpasang di segala hal yang seharusnya tidak menimbulkan efek apapun.
Perasaan putus asa, tidak adil, kecewa, dan perasaan paling kuat diantara yang ada, kesendirian. Semuanya datang dari segala arah, menyerang titik lemah. Mematikan titik vital, hati.
Sebenarnya, aku sering diingatkan untuk mendekatkan diri padaNya. Kajian demi kajian. Namun hal itu seakan hanya ku tampung tanpa ada niatan untuk mempraktekkan.
Aku merasa segala hal yang menimpa diriku sangatlah tidak adil. Sangatlah tidak sepadan dengan apa yang ku berikan. Dan dengan tanpa malu aku menyalahkan Allah.
Aku benci padaNya karena membuat hidupku hancur dengan mengambil ayahku. Aku benci padaNya karena dengan perginya ayah juga membuatku kehilangan ibu dan saudaraku satu-satunya. Aku benci padaNya karena membuatku merasa tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku selalu merasa seperti bayangan tidak tau malu, tidak tau apa-apa dan tidak punya apa-apa yang memaksa matahari agar terus bersinar agar aku bisa membesar. Memangnya apa kewajiban matahari untuk melakukan itu? Memangnya apa yang sudah ku perbuat untuk matahari?
Tidak ada.
Aku memang tidak tau terimakasih.
Aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana tidak ada seorang manusia pun yang mau memperhatikan ku padahal Allah selalu melihatku.
Aku terlalu sibuk menggandeng dan mencurahkan seluruh perhatianku pada manusia yang bahkan hanya memikirkan kepentingannya sendiri padahal Allah selalu bersamaku.
Aku terlalu sibuk mengharapkan bagaimana manusia akan membalas kebaikanku padahal Allah selalu baik padaku dengan memberiku nafas kehidupan.
Aku terlalu sibuk mengatakan hal-hal tidak penting pada manusia padahal Allah selalu berusaha berbicara padaku lewat sholat yang jarang ku lakukan.
Aku memang hina.
Aku sengaja bersikap jahat pada manusia lain hanya karena mereka tidak memperlakukan ku seperti yang aku mau. Aku berkata jahat pada mereka, aku menyakiti mereka, hanya karena mereka tidak memenuhi ekspektasiku. Aku mengutuk mereka dalam hati karena mereka mengganggu kenyamanan ku.
Aku memang tidak pantas dijadikan hamba Allah jika aku sendiri tidak bisa memperlakukan hamba Allah yang lain dengan santun. Ego ini merasukiku. Keserakahan ini menguasaiku. Walau pada akhirnya rasa bersalah ini meracuniku, aku tetap tidak perduli.
Aku terlalu banyak membenci untuk bisa merasakan cinta.
Aku melukai karena terlalu banyak terluka.
Aku berkata kasar untuk menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya.
Allah Swt yang maha pengasih masih saja mau menyebut manusia hina ini hambaNya. Apakah aku masih pantas walaupun aku terlambat memperbaiki diri?
Aku akan tau saat aku bersamaNya kelak.
Comments
Post a Comment