Skip to main content

[CERPEN] I L Y ...

BabyZelwi Present;




CAST;


What's ILY mean?

Gila ini pasti saat-saat paling canggung yang pernah ku hadapi selama enam belas tahun hidupku. Disaat Melvin dan Joe memutuskan untuk pindah ke tempat duduk di belakang ku. Teman sebangku ku, Sophie, sih malah kegirangan kedua cowok ganteng itu ada di dalam daerah jangkauannya untuk di genitin, tapi aku? Aku yang rasanya akan mati duduk! Kenapa begitu? Biar ku beri tahu kenapa.

Sekitar satu minggu yang lalu dua cowok yang menjabat sebagai ketua kelas dan wakil ketua kelas di kelas ku itu benar-benar mengerjaiku habis-habisan. Pertama saat ada ulangan harian sejarah mereka meletakkan buku sejarah di laci mejaku tanpa sepengetahuanku, gara-gara itu guru sejarah kami yang terkenal garang menuduhku akan mencontek saat memeriksa semua laci meja. Untung saja nama di buku sejarah itu bukan nama ku melainkan nama si biang kerok, Melvin, dengan mulus aku berkelit beralasan bahwa mana mungkin aku menyontek dengan buku sejarah punya orang dan bukan punyaku sendiri, aku menuduh Melvin salah menaruh buku di laci orang dan akhirnya guru sejarah berjidat lebar itu percaya. Belum selesai juga saat istirahat dengan kurang ajar Melvin dan Joe menaruh bon makanan mereka padaku, daripada dipelototi ibu kantin yang menuduh tidak ada yang mau membayar makanannya, akupun mengikhalskan uang dua puluh ribuku. Paling parah saat di hari aku piket yang, sialnya, aku satu kelompok piket dengan Melvin dan Joe, mereka yang seharusnya membuang sampah malah meninggalkan sampah itu padaku. Aku tidak bisa membawa tempat sampah yang gedenya seukuran denganku dan membuangnya ke belakang sekolah sendirian. Untungnya ketua kelas sebelah yang rajin banget yang selalu pulang paling terakhir dan memastikan kelas nya bersih dan terkunci sedang lewat, Timmy, sang ketua kelas idaman itu dengan senang hati mau membantuku mengangkat sampah yang ngomong-ngomong bau banget itu.

Gara-gara itu aku bersumpah tidak mau memaafkan Melvin dan Joe sekalipun mereka memohon-mohon dan bersujud di kakiku. Memang dasar tidak berguna! Apa salahku coba sampai dikerjai begitu! Huh!

“Hey Emily” Melvin menjawil bahuku dari belakang. Berusaha tidak memperdulikan mereka aku mengibaskan rambutku yang sudah setahun terakhir ini ku cat warna cokelat. Pagi ini aku sengaja mengikal bagian ujung rambutku dan menonjolkan highlight waran silver dan biru yang hanya sedikit di ujungnya.

“Hey ayolah masa lo masih marah sih gara-gara yang kemarin?” marah gara-gara di suruh membuang sampah sendirian? Iya mungkin aku akan marah selamanya!

Sophie yang sepertinya baru kembali dari toilet, keliatan dari bedaknya yang makin tebal dan parfumnya yang menyengat, memutar bangkunya ke belakang dan bertopang dagu di meja Melvin, “jadi kenapa kalian milih pindah ke belakang sini?”

“Yahh nggak kenapa-kenapa sih” Joe melipat tangannya di belakang kepala dan menutup matanya, “kami cuman jenuh duduk di depan terus” aku mendengus, dasar bilang saja kalau bosan di godain geng cewek-cewek centil yang sengaja duduk mengitari kedua cowok ini.

Dan begitu kedua cowok ini pindah kesini, geng abal-abal itu tidak akan berani menyusul karena bagian belakang kelas adalah daerahku, tepatnya daerah belakang paling pojok. Iya kami memang satu kelas tapi bukan berarti kami bisa menjadi satu kesatuan yang lengkap. Lagipula mereka yang memulai duluan dengan mambuat geng di kelas, seakan kelompok mereka paling elite atau apalah.
“Selain itu” Melvin meneruskan, “kami pengen lebih dekat sama Emily” iya lebih dekat, supaya lebih gampang ngerjainnya.

“Ily” aku terbatuk sendiri mendengar Joe memanggilku begitu, itu memang panggilanku yang lebih singkat tapi jika Joe yang mengucapkannya kenapa terkesan maknanya lain ya?

“Apa?” sahutku ogah-ogahan sambil terus memelototi ponsel yang lebih gede dari telapak tanganku dengan cermat.

“Nggak ada, ngetes aja” aku tidak sempat mencermati maksudnya karena guru mata pelajaran selanjutnya sudah memasuki kelas.


Sophie keterlaluan, tadi katanya mau mengantarku pulang karena hari ini kebetulan dia bawa mobil dan supir eh malah batal gara-gara dia baru ingat ada les balet, mana sialnya dia sudah telat jadi tidak sempat mengantarku.

Mana hujan begini lagi, aku mendongak ke langit yang sangat gelap dan kilat bersaut-sautan dengan riangnya. Aku suka hujan, suara hujan, bau hujan, angin dingin yang dibawa hujan, aku sangat mengagumi hujan. Aku bisa saja berjalan pulang ke rumah sambil menikmati hujan, tapi begitu sampai rumah aku pasti akan di damprat habis-habisan sama nyokap.

Tas di dekapanku mengerat, hari semakin sore, dan hujan belum juga reda. Koridor sekolah mulai sepi, sebagian murid yang membawa motor tetapi tidak membawa jas hujan ada juga yang menunggu hujan reda, atau murid lain yang menunggu jemputan memilih menunggu di halte kecil depan sekolah. Aku menunggu siapa?

“Ily!” Melvin dan Joe berjalan menghampiriku, langkah mereka menggema di lorong sekolah.

“Kok belum pulang?” tanya Joe dengan muka bingung.

“Nunggu hujan reda”

“Yang jemput siapa?” nah itu dia! Yang jemput siapa?

“Nggak ada yang jemput ya?” tebak Melvin, sial kenapa bisa tepat begitu, kini aku jadi kelihatan seperti cewek bego yang menunggu sesuatu yang nggak pasti.

“Lo pulang bareng Melvin aja” eh? Sontak aku dan Melvin melongo pada Joe.

“Kok gue?” nada kaget Melvin seakan ia baru saja di beritahu untuk mengantar pulang segerombolan monyet.

“Kan lo bawa mobil, gue bisa aja nebengin dia tapi gue bawa motor dan gue nggak mau dia kehujanan”

“Tapi kan…”

“Udah lah” aku memotong sebelum Melvin sempat mendebat Joe,  “kalian berdua nggak ada yang perlu nebengin gue, udah pulang sono” ujarku secuek mungkin dan berjalan pergi. Belum sampai dua langkah Melvin menahan lenganku.

“Lo tunggu disini gue ambil mobil dulu” lalu dia berpaling pada Joe dan menuding tepat di depan hidungnya, “lo yang nyuruh gue ya, jangan pernah nyesel gara-gara ini” setelah itu Melvin berlari menembus hujan ke tempat parkir. Tak sampai satu menit kemudian mobil sport warna merah Melvin sudah terpampang di depanku.

“Pulang sana” Joe  tersenyum dan mendorongku ke pintu mobil Melvin, “man hati-hati bawa mobilnya ya, jangan ngebut” suruh Joe dengan semena-mena saat Melvin membuka kaca mobil.

“Gue tahu bego, lo juga hati-hati pulangnya” teriak Melvin pada Joe kemudia kembali menutup jendela dan melajukan mobilnya ke luar sekolah.

Aku paling peka dengan yang namanya bau, karena itu aku bisa mencium bau Melvin ada di seluruh seluk beluk mobil ini. Melvin menghentikan mobilnya di lampu merah yang memanjang banget karena macet, lalu menatapku, “pake seatbelt nya gih” ucapnya singkat dan tiba-tiba mencondongkan badannya ke arahku, meraih seatbelt di sebelah kiriku dan menariknya melewatiku sebelum menancapkannya dan terdengar suara klik. Selama kurang dari lima detik barusan rasanya jantungku mencuat-cuat, berontak, ingin melompat keluar dari rongga dadaku.

Untuk menghilangkan kegugupan mendadak aku berdehem, “jadi..” sial suaraku agak pecah, “kenapa lo sama Joe tadi masih ada di sekolah? Bukannya biasanya kalian orang pertama yang keluar dari sekolah?”

Melvin tertawa singkat sambil memajukan mobilnya sedikit demi sedikit sebelum menjawab, “Joe sih ada rapat OSIS, kalau gue tadi mendadak laper jadi mampir dulu ke kantin”

Aku menggumamkan kata oh dan setelah itu kami diam. Sangat lama.

Barisan panjang kendaraan masih terpampang di depan kami, terjebak macet disaat hujan begini biasanya aku malah senang, tapi apabila orang yang terjebak macet bersamaku adalah orang yang dari kemarin mengerjaiku dan seharusnya ku benci rasanya malah jadi aneh.

Aku mengabaikan Melvin yang sepertinya sibuk melototin plat mobil warna kuning di depannya dan menatap keluar jendela. Hujan masih deras, titik-titik air di jendela terlihat sangat imut bagiku, dan suara hujan terdengar sangat merdu di telingaku. Tanpa sadar terlintas sesuatu, kenapa tadi jantungku bekerja dua kali lebih keras saat Melvin berada sangat dekat denganku?

Listen” sontak aku menoleh saat Melvin mendadak buka mulut, “gue minta maaf soal yang kemarin-kemarin itu”

Aku menyipitkan mataku, “enak saja, cuman minta maaf nggak akan memperbaiki apa-apa tau”

Melvin malah mendelik padaku, “jadi mau lo apa?”

“Jangan pernah ninggalin tugas lo…”

“Tugas buang sampah maksud lo?” potongnya.

“Iya” sahutku tidak sabar dan melanjutkan, “dan juga traktir gue makan besok”

“Oke” jawaban yang tidak kuduga, kupikir dia akan marah atau menolak mentah-mentah, “makan sepuas lo, gue yang bayar” luar biasa.

Lalu percakapan mengalir lancar, Melvin yang memang dasarnya orangnya kocak membuatku tertawa terpingkal-pingkal sepanjang perjalanan. Terakhir dia mengacak-acak rambutku dengan gemas saat ku tagih janjinya besok untuk mentraktirku makan. Tanpa sadar aku cemberut diperlakukan seperti anak kecil begitu, pipiku menggembung, bibirku mengerucut dan mataku menyipit. Melvin mencubit pipiku sebelum menjawab iya yang sangat panjang dan aku keluar dari mobilnya setelah menepis tangannya. Sambil menutup pintu aku mengawasi mobil Melvin yang melaju pergi.

Hujan deras yang tidak kunjung berhenti hingga larut malam menemaniku mereka ulang kejadian hari ini. Kenapa tiba-tiba Melvin baik padaku? Kenapa kerja jantungku bekerja berlipat ganda saat Melvin bersikap jail padaku? Kenapa aku sangat menyukai saat-saat aku terjebak macet di bawah hujan dengan Melvin? Kenapa aku sangat menunggu-nunggu hari esok saat Melvin akan mentraktir ku makan?

Pikiranku penuh dengan Melvin dan mengaburkan bayangan orang yang awalnya mengusulkan Melvin lah yang harus mengantarku pulang dan membuatku menumbuhkan perasaan campur aduk begini, Joe.


Bel istirahat berbunyi tapi Sophie tidak mau berhenti dan beristirahat dari mengucapkan kata maaf karena tidak mengantarku pulang. “Sophie udahlah nggak apa-apa kok” ulangku untung yang kesekian kalinya. Ia baru pamit pergi saat salah satu teman kami meneriakkan bahwa ia di panggil guru matematika kami, “sial pasti gue disuruh remed buat yang ke-enam kalinya” umpatnya sebelum menderap pergi.

Aku baru akan pergi ke kantin saat seseorang menahan bahuku dari belakang, “nggak jadi minta traktir?” aku menepuk jidatku sendiri. Bagaimana aku bisa lupa janji Melvin ini? Apa gara-gara semalam aku terlalu memikirkannya sebelum jatuh tertidur tanpa mimpi.

“Jadi dong” tegasku dan menggamit lengannya, “ayo, gue laper banget nih”

“Dasar rakus” lagi-lagi Melvin mengacak-acak rambutku yang hari ku biarkan tergerai lurus.
Melvin memesankanku sepiring mie ayam dan siomay serta es lemon sebagai minumnya. Hanya kebetulan atau dia memang tahu menu kesukaan ku? Ah mungkin hanya kebetulan.

Sementara aku melahap mie ayamku, Melvin sendiri menikmati nasi ayam yang di pesannya.

“Tidur nyenyak nggak semalam?” pertanyaan itu membuatku tersedak siomay yang sedang mengalir lancar dari tenggorokanku, Melvin reflek mengambilkan gelas es lemon ku dan mengacungkan pipetnya ke depan mulutku, reflek juga aku langsung membuka mulutku dan meminumnya dengan brutal.

Begitu batuk-batuk reda aku melotot pada Melvi, “jangan ngagetin gitu dong” sewotku, “kenapa tiba-tiba nanya begitu?”

Melvin hanya menggeleng sambil menahan tawa, mukanya jadi aneh dan justru membuatku tertawa, tak sanggup menahan tawa lama-lama Melvin pun ikut tertawa bersamaku.

By the way” aku mengusap setitik air mata di ujung mataku, “thanks traktirannya” ucapku tulus. Melvin sedang menghabiskan sisa siomay yang tidak bisa ku habiskan, karena ia sedang mengunyah ia hanya meresponku dengan mengangguk dan mengacungkan jempolnya.

“Oh iya” barulah aku tersadar sesuatu, “kemana Joe?” Melvin dan Joe seperti kembar siam yang tidak terpisahkan, mereka hanya berpisah saat punya urusan dengan ekskul masing-masing, Melvin basket dan Joe OSIS. Aku melihat Joe di kelas tadi dan masih menerima permintaan maafnya karena sudah mengerjaiku, tapi dia sudah menghilang begitu bel istirahat berbunyi.

“Biasa, ada meeting pramuka buat camping minggu ini” sahut Melvin sambil meneguk habis teh botol keduanya.

“Dia ikut pramuka juga?” Melvin hanya mengangguk, “bilangin ya, harusnya dia juga traktir-traktir aku tau” Melvin tidak menjawab jadi aku menegurnya, “Melvin!”

“Iya, cerewet ah” sungutnya lalu bangkit berdiri dan meninggalkanku. Sial aku di tinggal sendiri.
Aku harus berlari untung menyusul langkah-langkah lebar Melvin, terkutuklah kaki panjang Melvin yang mirip sumpit, “woy kok ninggalin gitu” aku menggamit lengan Melvin tapi dia malah menepisnya, tanpa pamit atau bahkan menatapku dia berlari ke lapangan basket yang langsung di sambut cowok-cowok basket lain dengan riang.

Kenapa jadi nyuekin gini? Apa dia marah gara-gara aku menghabiskan uangnya? Ah, mie ayam dan es lemon todak sampai dua belas ribu kok, dan siomaynya kan aku bagi dua dengannya. Lagipula ditilik dari gadget dan mobil sport nya Melvin adalah anak orang tajir yang tidak di biarkan keluar rumah tanpa uang minimal seratus ribu di kantong.

“Ily!” Sophie yang nampak dari ujung koridor berlari-lari ayam menghampiriku, “gila banget tuh si guru matematika” dia langsung merangkulku dan nyerocos seenak jidat sampai suarnya menggema, “masa gue di bilang payah tingkat rakjel sama matematika, jadinya guru itu males ngasih gue remed lagi, ujung-ujungnya gue di suruh cari buku tentang himbauan belajar matematika, disuruh beli dua lagi! Satu buat perpus, trus satunya lagi buat gue” kami berbelok menuju koridor kelas kami, “belum lagi katanya mumpung gue masih kelas satu gue disuruh baca buku himbauan gaje itu, abis itu kalau nanti gue ketemu dia di kelas dua gue di suruh presentasi, kurang gila apa coba?” Sophie mendengu-dengus seperti anjing kepanasan, “moga aja gue nggak ketemu dia di kelas dua nanti, ami-amit deh”

“Elo emang kurang belajar sih” tukasku dan tahu-tahu saja Sophie memukul belakang kepalaku, tidak terlalu keras sih tapi tetap saja aku sampai kaget.

“Heh sesama korban pelajaran matematika jangan suka nuduh gitu plis ya”

“Gue remed cuman dua kali nyet, bukan enam, ENAM!”

Sophie cemberut tapi aku balas merangkulnya sampai kami memasuki kelas dan duduk di bangku kami, “udahlah namanya matematika emang sedari dulu brengsek banget, cheer up Sophie hanya tersenyum simpul dan guru mata pelajaran selanjutnya pun masuk.

Aku menoleh kebelakang dan melihat bangku dibelakangku kosong, Joe sih oke meeting pramuka, tapi kemana Melvin? Entah ini yang namanya takdir atau bukan Melvin kembali ke kelas dengan bermandikan peluh. Setelah meminta maaf atas keterlambatannya pada guru ia malah duduk dibangku kosong disamping teman sekelasku yang berkulit hitam dan berambut sebahu. Kalo tidak salah, teman sebangkunya, cewek berbadan besar berambut panjang terkena penyakit cacar dan sudah hampir tiga hari ini tidak masuk.

“Sop” Sophie nyelengit di panggil begitu, katanya mirip panggilan sopir angkot ataupun sopir-sopir kendaraan lainnya.

“Apa?” desis Sophie pada Melvin yang mirip-mirip desisan ganas medusa.

“Lemparin tas gue dong” ringis Melvin.

“Ngapain sih lo pake pindah duduk disitu segala?” keluh Sophie sambil melemparkan tas merah Melvin.

“Suntuk gue duduk dibelakang sendiri” adunya setelah menangkap tasnya dengan sigap dan kembali memperhatikan papan tulis.

Suntuk karena duduk sendirian? Biasanya saat ada Joe pun dia sering mengajakku bercanda sampai kami kena tegur guru yang sewot  banget. Jadi dia benar-benar marah sampai aku jadi tak kasat mata sekarang?


“Ily, liat Melvin nggak?” tanya Joe sambil ikut duduk di sampingku. Aku menggeleng lemas sambil membalas SMS dari Bunda yang hari ini akan menjemputku untuk sekalian pergi chek ke dokter gigi.

Aku mendengus keras-keras selagi menjatuhkan ponselku ke atas tasku yang ada di pangkuanku.

“Kenapa? Kok muka lo kusut gitu?” tanya Joe tanpa memandangku dan sibuk mengikat tali sepatunya.

“Gimana nggak kusut di cekokin pelajaran membosankan seharian ini” sungutku, “elo sih enak setengah hari di dalam ruangan ber-AC, ngakunya sih meeting tapi gue tahu kalian lagi santai-santai sambil makan Pizza delivery

Joe terkikik, “kok tau?”

“Tau lah!” tegasku nyaris teriak, “orang gue lihat mas mas delivery nya”

“Hahh” Joe mendongak menatap langit yang walaupun mendung tapi tidak hujan, awan hitamnya hanya berarak menutupi matahari yang aku yakin sangat terik, “padahal gue nyisihin sekotak mini pizza buat lo”

“Eh? Beneran?” mataku langsung berkilau menatap bungkusan yang diberikannya padaku, “wah masih hangat”

“Iya tadi sempet gue masukin ke microwave

Microwave di tempat guru? Emang murid boleh pakai?”

“Kalau gue sih boleh, kan gue anak kesayangan guru”

Dasar pede banget deh! Aku menonjok lengannya, kurasa terlalu kuat karena dia sampai meringis lalu tertawa.

Aku menaruh mini pizza itu di pangkuanku dan membuka kotaknya. Bau keju langsung serbak memenuhi hidungku, “nggak apa-apa nih lo nyisihin gue sekotak utuh begini?”

“Nggak apa-apa kalik, itung-itung itu traktiran gue ke lo” jadi Melvin memberitahukan pesanku? Aku gagal menggigit potongan pertama pizza keju kesukaanku itu begitu mengingat Melvin.

“Kenapa?” tanya Joe bingung menyadari perubahan raut mukaku.

Aku meninju lengannya lagi, kali ini lebih kuat karena Joe sampai terhuyung, “enak aja, gue mau traktiran dari duit elo, bukan duit kas anak pramuka yang dipake makan-makan” saat itu juga pas sekali aku melihat mobil mini cooper merapat di gerbang sekolahku, “udah ya nyokap udah jemput tuh” ucapku cepat-cepat sambil kembali menutup kotak pizza di pangkuanku, “thanks pizza-nya” sambil menenteng tas dan kantong pizza belum lagi menggenggam ponsel aku berlari ke arah mobil mungil warna silver itu. Bunda menyambut senang bungkusan mini pizza yang kubawa, katanya lumayan untuk ngemil sementara menunggui aku chek gigi.

Ngomong-ngomong tentang pizza, niat banget Joe sampai menyisihkanku mini pizza dengan rasa kesukaanku pula, kebetulan atau apa? Ah pasti cuman kebetulan. Belum lagi ia juga sampai sempat menghangatkannya, terlalu baik? Diberi pizza dingin gratis pun masih akan tetap ku terima kok. Sepertinya kepala Joe baru ssaja kejeduk sampai otaknya miring dan dia jadi berbuat baik padaku. Iya pasti itu.

Terus Melvin bagaimana? Dia kenapa? Kenapa aku  dicuekin? Huh memikirkannya lebih pusing daripada memikirkan nyeri sakit bawaan menstruasi alis ribet banget.


Saat diberitahukan bahwa guru sedang rapat bertepatan dengan pelajaran matematika Sophie rasanya seperti melambung atau lebih tepatnya seperti dilempar ke istana pancake saus cokelat dengan taburan buah strawberry berlapis gula halus. Manis.

Aku menoleh kebelakang dan tidak ada siapa-siapa. Melvin sih tadi  langsung keluar lagi begitu memberi pengumuman tapi kemana Joe?

“Sophie, mau ke toilet nggak?” tanyaku spontan entah kenapa. Apa aku berharap bertemu Melvin dan Joe saat ingin ke toilet? Atau aku ingin sekali kena teguran Melvin karena pergi keluar kelas tanpa izin? Yeah aku pikir dua-duanya.

“Nggak deh, capek gue” Sophie menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

Aku memutuskan untuk pergi sendiri, langka banget seorang Emily mau pergi ke toilet sendiri tapi yahh instingku bilang aku harus ke toilet jadi aku bisa apa? Dan ternyata instingku ampuh banget, aku mendengar percakapan dua cowok bersaut-sautan dari ujung koridor menuju lapangan bisbol di belakang sekolah, yang tentunya masih sepi karena semua murid sedang menikmati waktu luang di dalam kelas.

Suara Melvin dan Joe. Aku langsung merapat ke dinding dan marayap-rayap mendekati belokan menuju ujung koridor. Kuberanikan mengintip sedikit dan yup! Itu Melvin dan Joe, Melvin berdiri bersandar di dinding sementara Joe duduk di undakan, lagi-lagi sambil mendongak ke langit yang hari ini cerah dan menumpukan badannya di tangannya yang menopangnya dari belakang.

“Jadi apa rencana kita sekarang?” Melvin bertanya ogah-ogahan dan melipat tangannya didada.

“Gue nggak tahu” jawab Joe dengan suara seperti jauh di atas awang-awang.

“Ini salah lo tau nggak” tiba-tiba suara Melvin meninggi, membuat Joe langsung duduk dengan tegak dan aku hampir terpeleset gara-gara kaget, “kalau lo waktu itu nggak nyuruh gue nganter Ily pulang mungking gue nggak bakal ikut suka sama dia” Deg!

Joe tertawa dengan garing nyaris menyedihkan, “apa juga gue bilang? Nggak ada yang bisa menghindar dari pesona Ily, walaupun lo nggak nganter dia waktu itu gue yakin lo bakal tetep suka sama dia”

Melvin mendengus, “lo sih setiap hari ngomongin dia mulu, gue jadi kepengaruh” lalu Melvin tiba-tiba tersenyum sendiri, “tapi lo bener juga man, dia bener-bener punya pesona yang tersembunyi yang perlu pakai perhatian ekstra buat nyadarin dan juga dia bener-bener suka sama hujan” Joe mulai mendongak menatap sohibnya, “cara dia menikmati suara hujan, mencium bau hujan, mengagumi titik-titik hujan di kaca mobil gue, semua itu bener-bener menggemaskan”

“Adorable as hell?”

“Adorable as hell!”

Tahu-tahu saja mereka tertawa terbahak-bahak. Lucu? Apa ada yang lucu dari seorang cowok bercerita tentang cewek yang ia suka pada sahabatnya lalu tau-tau saja sahabatnya juga ikut menyukai cewek itu? Darimana lucunya memperhatikanku secara diam-diam setiap kali aku dengan senangnya menyambut hujan? Beritahu aku dimana lucunya bila saat ini juga aku keluar dari tempat persembunyianku dan memergoki dua cowok brengsek yang sedang menggosipiku? HAH pasti akan lucu sekali!

Tapi sayangnya aku sedang tidak ingin ikut menertawai bagian lucu manapun yang mereka ceritakan, jadilah aku hanya berdiri kaku sambil membekap mulutku yang akan mengeluarkan isakan seiring dengan jatuhnya air mataku. Aku tidak tahu kenapa aku menangis, aku benar-benar tidak tahu.

Tersaruk-saruk aku kembali ke kelas, untungnya sebelum itu aku sempat betulan mampir ke toilet untuk membasuh sisa air mata dan ingus dari wajahku.

“Ily kok mata lo bengkak?” Sophie nyaris meraup mukaku dengan tangannya jika aku tidak cepat mengelak, sial aku memang jarang sekali menangis jadi sekali saja menangis mataku selalu langsung bengkak, “lo nggak di sengat lebah atau di tonjok orang pas lagi ke toilet kan?” aku hanya menggeleng lemah, “blah sekalinya gue biarin elo pergi ke toilet sendiri mata lo jadi berubah kayak bola tenis begini”

“Sop” Sophie tidak sempat memprotes panggilanku karena aku langsung memeluknya dan menangis di pundaknya. Hari ini seorang Emily pergi ke toilet sendiri dan hari ini pula seorang Emily menangis di tempat umum. What a day! Siap-siap saja besok dikepoin teman-teman sekelas dan di pelototin Melvin dan Joe yang sekarang melongo seperti orang bego melihatku terisak-isak di bahu Sophie.


Rasanya kepingin sekali menonjok Melvin dan Joe saat ini juga. Mereka terus merecokiku sepanjang hari. Melvin mengaku nyaris terkena serangan jantung saat melihatku menangis meraung-raung seperti habis di keroyok warga satu kampung, sementara Joe panik mencarikan tissue untuk persedian kalau tiba-tiba aku akan menangis lagi. Enak saja memangnya aku mau menangis dua kali berturut-turut apa?

Ternyata nyuekin Melvin dan Joe tidak segampang nyuekin kotoran ayam yang baru saja di injak Sophie. Aku sampai harus menguatkan pikiran dan jiwa, aku bahkan menerapkan ilmu tenaga dalam abal-abal yang diajarkan grandma saat aku berlibur di rumahnya di Beijing.

Aku takut menghadapi mereka karena begitu aku menatap salah satu dari mereka perasaanku akan terlihat semakin jelas. Iya aku menyukai salah satu diantara mereka. Tapi aku tidak mau mengatakannya, aku tidak mau menghancurkan persahabatan mereka. Lebih baik aku fokus belajar untung ujian kenaikan kelas nanti dan aku mungkin masih bisa mencoba untuk tidak mengacuhkan Melvin dan Joe paling tidak sampai… lulus sekolah? Itu mungkin kan? Setelah lulus kami pasti masuk ke Universitas yang berbeda. Iya itu dia.


Jantungku berdebar keras saat memeriksa daftar nama kelas yang akan kumasuki. Aku menemuka nama Sophie yang berarti kami sekelas lagi, tapi aku tidak menemukan nama Melvin dan Joe. Mereka berdua berada di kelas berbeda, dan itu sangat bagus! Aku pasti makin bisa meminimalisir pertemuan dengan mereka karena kami sibuk dengan urusan masing-masing. Iya pasti bisa! Hanya sampai lulus aku harus menghindari mereka dan kami bisa tidak saling bertemu untuk selamanya.
Memang sih rasanya dunia makin sepi tidak ada candaan konyol Melvin ataupun ceramah panjang Joe tentang pentingnya membuang sampah di tempatnya atau penghijauan. Tapi ini yang terbaik, untukku, dan mereka, iyakan?


Joe mengakhiri pidato kelulusan mewakili seluruh angkatan dengan lugas dan penuh semangat, mengundang tepuk tangan kagum yang menggema di seluruh auditorium. Melvin berteriak seperti seorang orang tua yang bangga pada anaknya padahal orang tua Joe sendiri tidak sehisteris Melvin. 

Nyaris dua tahun aku tidak berbicara pada mereka, jika tidak sengaja saling tatap, yang paling sering sih bersama Melvin, aku hanya tersenyum simpul dan di balas begitu pula.

Hari ini, hari kelulusan, paling tidak aku harus mengucapkan sepatah dua patah untuk mereka sebagai bentuk perpisahan sebelum kami tidak bakalan ngomong untuk selamanya.

Aku menyapa Joe yang malah membalas dengan mengenalkan pacarnya yang berasal dari sekolah lain, adik kelas pula. Sekolah kami memang membolehkan untuk mengundang satu dua orang di acara kelulusan ini selain keluarga.

“Baru dua minggu” bisik Joe penuh persengkokolan, “gue baru berani nembak cewek sekarang soalnya”

“Maksdu lo baru berani setelah lo dapat mobil?” iya sebagai kelulusan Joe diberi hadiah mobil oleh orang tuanya yang di datangkan satu bulan lebih awal dari pengumuman kelulusan. Yahh sebenarnya tidak diragukan juga, Joe yang berhasil terpilih menjadi ketua OSIS mengadakan acara MOS paling heboh dan bergengsi yang membuatnya menjadi ketua OSIS yang berhasil. Belum lagi acara galang dana yang sukses sekali.

Joe hanya meringis sebelum aku menepuk bahunya dan berlalu pergi. Untunglah dia benar-benar sudah move on dariku. Walaupun waktunya lama sekali, huh. Sekarang tinggal satu orang lagi.

“Melvin” lengkingku penuh semangat saat melihat Melvin duduk di dinding pembatas lantai dua gedung kelas dua belas. Melvin menduduk untuk melihatku lalu melambai, aku tak sempat membalas lambaiannya karena aku langsung berlari mendaki tangga, “hey ngapain lo disini sendirian?”

Melvin tersenyum, sama seperti senyum-senyum tersembunyi yang dilemparkannya padaku setiap kali pandangan kami tidak sengaja bertemu, “lagi pengen mengenang sekolah aja sebelum pergi”

“Idih melankolis banget” aku menoyor bahunya cukup kuat sampai Melvin hampir terhuyung ke belakang, panik aku menarik tangannya dan Melvin langsung terjatuh menimpaku, “MELVIN! SAKIT!”

Bukan malah menyingkir dari atasku Melvin malah tertawa, terlihat dari bahunya yang terguncang-guncang, sial ternyata dia hanya pura-pura akan jatuh tadi! Dengan kesal aku mendorongnya sampai ia terjatuh di sampingku dan bangkit berdiri. Sambil membersihkan seragamku yang kotor aku melotot padanya dengan sengit.

Melvin belum berhenti tertawa dan malah berguling-guling di lantai. Kesal aku berencana meninggalkannya disini saja, tapi pergelangan tanganku langsung disambarnya. Melvin meloncat berdiri dan menyugari rambutnya dengan tangan.

“Gue nggak gampang move on tau” cetusnya tiba-tiba, satu menit kemudian Melvin menjelaskan bagaimana Joe sangat mengagumi ku dan menghujani Melvin dengan seribu pujian tentangku, barulah  Melvin mengusulkan agar mereka mulai mengerjaiku karena hanya itu satu-satunya cara membuat Joe selalu dekat dengan ku secara natural (natural di mereka, sengsara padaku) dan saat Melvin mengantarkanku pulang itulah ia ternyata juga mulai jatuh untukku.

“Gue tau” dua kata itu sukses membuat Melvin tidak bisa berkata-kata.

“Itu menjelaskan kenapa lo ngehindarin kami selama ini” ketusnya dengan muka kesal yang lucu.

“Tapi…” Melvin melanjutkan, “udah gue bilang gue nggak gampang move on, si Joe sih dia maksa nembak cewek model teletubies alias hobi peluk-peluk itu, katanya siapa tau bisa ngebantu ngelupain lo, eh emang dasarnya aneh tu anak, sekarang tinggal gue deh yang stuck sama lo” sial tiba-tiba jantungku bekerja lebih cepat dari biasanya sampai aku yakin siapapun akan mendadak budek jika mendengarkan detak jantungku lewat stetoskop.

“Gimana kalau gue bilang kalau gue juga stuck sam a lo?”

Gerakan badan Melvin terhenti sejenak sampai aku khawatir dia juga berhenti bernafas, “maksud lo?” tanyanya nyaris terbata.

Ganti aku yang memaparkan alasan lebih jelasnya kenapa aku menjauhi mereka. Aku menyukai Melvin.

“Jadi…” suara Melvin mulai pecah, “karena Joe udah maksa mau move on berarti sekaran… lo… kamu… eh, kita, bisa…” glek “pacaran?”

Aku terkikik dengan geli dan menepuk bahu Melvin dengan santai, “maunya?” Melvin mengangguk-ngangguk dengan heboh dan detik berikutnya dia langsung memelukku, mengangkatku dan berputar-putar di tempat, takut jika tiba-tiba nanti aku terlempar jatuh aku melingkarkan tanganku di leher Melvin, dengan erat.

Melvin menurunkanku, bertepatan dengan kemunculan Joe, “gue udah nguping dari tadi, selamat yaaaaa” Joe tersenyum begitu lebar, meyakinkan ku dan juga Melvin bahwa ia tidak apa-apa. Yahh kalau akhirnya begini mau gimana lagi. Inikah yang namanya takdir?

Joe meloncat duduk di dinding pembatas dan menompa badannya dengan satu tangan ke arah samping, memiringkan sedikit badannya dan dia bisa leluasa mendongak ke atas langit yang sangat cerah.

Emily…” Melvin merangkulku dan menarikku lebih dekat dengannya, “I…L…Y” Melvin mengeja nama panggilanku sambil menyandarkan dahinya di bagian samping kepalaku agar ia bisa mengendus bau wangi rambutku yang di akuinya memabukkan beberapa detik lalu dan juga berbisik tepat di telingaku, “I Love You





Please Read Me;

Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapatmu tentang CERPEN ILY. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.

Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.

Bye.


♦♦♦


Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku! 
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. 
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!  

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Laporan PKL/PRAKERIN PowerPoint Bahasa Inggris Kurikulum 2013

Hai ... Aku termasuk korban kurikulum 2013, angkatan pertama percobaan malah. Aku tau kurikulum 2013 itu ribet banget, jadi jalanin aja yah adek-adek ku muah~ Aku murid SMK N 2 Batam Kelas XI Akuntansi 3 Baru saja menyelesaikan PKL selama 4 bulan (Juli - Oktober) di PT. Unisem Batam Banyak pengalaman yang ku peroleh Salah satu alasan ku memilih SMK adalah kepingin merasakan yang namanya PKL, dan siapa sangka ternyata bener-bener tak terlupakan. Berikut adalah hasil laporan PKL/PRAKERIN punyaku. Karena sepertinya setting di Microsoft PowerPoint 2011 aku beda dari google jadi sepertinya ada beberapa gambar dan tulisan yang melenceng dari tempatnya, mohon di maklumi yah ^^~ Kuharap ini bisa membantumu yang terdampar disini untuk mencari sesuatu, hehe..

Drama Negosiasi 4 orang pemain: Perencanaan Penggusuran

Hello everybody~  \nyanyi Shinee - Everybody\ Ehem.. okay.. so.. gue lagi dapet tugas dari Guru Bahasa Indonesia (Guru yang sama yang ngasih gue tugas buat puisi -_-) disuruh buat Drama dengan tema Negosiasi, dan perkelompok itu sebanyak 4 orang, dan inilah hasil naskah drama ala kadarnya yang gue buat malem2 -uh- >< Kelompok gue belum nampil sih, tapi... aah.. gak tau deh nanti nampilnya bakal kayak mana. Sebenernya gue gak asing lagi sih sama yang namanya "DRAMA" tapi tetep bikin kretek-ktetek :v

Perjalanan Perubahan Warna Rambut

Dulu, kalau aku berani mencoba mewarnai rambutku mungkin aku akan langsung di bakar di perapian. Tapi sekarang beda tahun, beda cerita dan sepertinya beda jaman. Aku pertama kali mewarnai rambutku saat tahun baru 2014. Waktu itu warna yang muncul seharusnya dark blonde , tapi karena rambutku hitam banget, warna itu hanya muncul saat terkena cahaya atau sinar matahari. Karena kurang puas akhirnya aku pergi ke salon lagi. Salon yang selalu ku datangi sebelumnya adalah salon teman mamaku. Tapi, karena lokasinya jauh akhirnya aku memilih salon yang ada di mall terdekat. Aku memilih salon tertutup, seperti salon yang khusus untuk wanita-wanita hijab yang ingin merawat rambut tanpa mengumbar aurat (kira-kira begitu) dan isinya wanita semua. Warna yang ku pilih lagi-lagi blond e. Setelah hampir dua jam waktu ku habiskan di salon itu rambut ku malah berwarna oranye sedikit kekuning-kuningan. Ternyata tadi tanpa aku sadari orang yang mengurusi rambutku menambahkan bleach karena rambu...