BabyZelwi Present;
CAST;
What's ILY mean?
Gila ini pasti saat-saat paling canggung yang
pernah ku hadapi selama enam belas tahun
hidupku. Disaat Melvin dan Joe memutuskan untuk pindah ke tempat duduk di
belakang ku. Teman sebangku ku, Sophie, sih malah kegirangan kedua cowok
ganteng itu ada di dalam daerah jangkauannya untuk di genitin, tapi aku? Aku
yang rasanya akan mati duduk! Kenapa begitu? Biar ku beri tahu kenapa.
Sekitar satu minggu yang lalu dua cowok yang
menjabat sebagai ketua kelas dan wakil ketua kelas di kelas ku itu benar-benar
mengerjaiku habis-habisan. Pertama saat ada ulangan harian sejarah mereka
meletakkan buku sejarah di laci mejaku tanpa sepengetahuanku, gara-gara itu
guru sejarah kami yang terkenal garang menuduhku akan mencontek saat memeriksa
semua laci meja. Untung saja nama di buku sejarah itu bukan nama ku melainkan
nama si biang kerok, Melvin, dengan mulus aku berkelit beralasan bahwa mana
mungkin aku menyontek dengan buku sejarah punya orang dan bukan punyaku
sendiri, aku menuduh Melvin salah menaruh buku di laci orang dan akhirnya guru
sejarah berjidat lebar itu percaya. Belum selesai juga saat istirahat dengan
kurang ajar Melvin dan Joe menaruh bon makanan mereka padaku, daripada
dipelototi ibu kantin yang menuduh tidak ada yang mau membayar makanannya,
akupun mengikhalskan uang dua puluh ribuku. Paling parah saat di hari aku piket
yang, sialnya, aku satu kelompok piket dengan Melvin dan Joe, mereka yang
seharusnya membuang sampah malah meninggalkan sampah itu padaku. Aku tidak bisa
membawa tempat sampah yang gedenya seukuran denganku dan membuangnya ke
belakang sekolah sendirian. Untungnya ketua kelas
sebelah yang rajin banget yang selalu pulang paling
terakhir dan memastikan kelas nya
bersih dan terkunci sedang lewat, Timmy, sang ketua kelas idaman itu dengan
senang hati mau membantuku mengangkat sampah yang ngomong-ngomong bau banget itu.
Gara-gara itu aku bersumpah tidak mau memaafkan
Melvin dan Joe sekalipun mereka memohon-mohon dan bersujud di kakiku. Memang
dasar tidak berguna! Apa salahku coba sampai dikerjai begitu! Huh!
“Hey Emily” Melvin menjawil bahuku dari
belakang. Berusaha tidak memperdulikan mereka aku mengibaskan rambutku yang
sudah setahun terakhir ini ku cat warna cokelat. Pagi ini aku sengaja mengikal
bagian ujung rambutku dan menonjolkan highlight waran silver dan biru yang
hanya sedikit di ujungnya.
“Hey ayolah masa lo masih marah sih gara-gara yang kemarin?”
marah gara-gara di suruh membuang sampah sendirian? Iya mungkin aku akan marah
selamanya!
Sophie yang sepertinya baru kembali dari toilet, keliatan
dari bedaknya yang makin tebal dan parfumnya yang menyengat, memutar bangkunya
ke belakang dan bertopang dagu di meja Melvin, “jadi kenapa kalian milih pindah
ke belakang sini?”
“Yahh nggak kenapa-kenapa sih” Joe melipat tangannya di
belakang kepala dan menutup matanya, “kami cuman jenuh duduk di depan terus”
aku mendengus, dasar bilang saja kalau bosan di godain geng cewek-cewek centil
yang sengaja duduk mengitari kedua cowok ini.
Dan begitu kedua cowok ini pindah kesini, geng abal-abal itu
tidak akan berani menyusul karena bagian belakang kelas adalah daerahku,
tepatnya daerah belakang paling pojok. Iya kami memang satu kelas tapi bukan
berarti kami bisa menjadi satu kesatuan yang lengkap. Lagipula mereka yang
memulai duluan dengan mambuat geng di kelas, seakan kelompok mereka paling
elite atau apalah.
“Selain itu” Melvin meneruskan, “kami pengen lebih dekat sama
Emily” iya lebih dekat, supaya lebih gampang ngerjainnya.
“Ily” aku terbatuk sendiri mendengar Joe memanggilku begitu,
itu memang panggilanku yang lebih singkat tapi jika Joe yang mengucapkannya
kenapa terkesan maknanya lain ya?
“Apa?” sahutku ogah-ogahan sambil terus memelototi ponsel
yang lebih gede dari telapak tanganku dengan cermat.
“Nggak ada, ngetes aja” aku tidak sempat mencermati maksudnya
karena guru mata pelajaran selanjutnya sudah memasuki kelas.
Sophie keterlaluan, tadi katanya mau mengantarku pulang
karena hari ini kebetulan dia bawa mobil dan supir eh malah batal gara-gara dia
baru ingat ada les balet, mana sialnya dia sudah telat jadi tidak sempat
mengantarku.
Mana hujan begini lagi, aku mendongak ke langit yang sangat
gelap dan kilat bersaut-sautan dengan riangnya. Aku suka hujan, suara hujan,
bau hujan, angin dingin yang dibawa hujan, aku sangat mengagumi hujan. Aku bisa
saja berjalan pulang ke rumah sambil menikmati hujan, tapi begitu sampai rumah
aku pasti akan di damprat habis-habisan sama nyokap.
Tas di dekapanku mengerat, hari semakin sore, dan hujan belum
juga reda. Koridor sekolah mulai sepi, sebagian murid yang membawa motor tetapi
tidak membawa jas hujan ada juga yang menunggu hujan reda, atau murid lain yang
menunggu jemputan memilih menunggu di halte kecil depan sekolah. Aku menunggu
siapa?
“Ily!” Melvin dan Joe berjalan menghampiriku, langkah mereka
menggema di lorong sekolah.
“Kok belum pulang?” tanya Joe dengan muka bingung.
“Nunggu hujan reda”
“Yang jemput siapa?” nah itu dia! Yang jemput siapa?
“Nggak ada yang jemput ya?” tebak Melvin, sial kenapa bisa
tepat begitu, kini aku jadi kelihatan seperti cewek bego yang menunggu sesuatu
yang nggak pasti.
“Lo pulang bareng Melvin aja” eh? Sontak aku dan Melvin
melongo pada Joe.
“Kok gue?” nada kaget Melvin seakan ia baru saja di beritahu
untuk mengantar pulang segerombolan monyet.
“Kan lo bawa mobil, gue bisa aja nebengin dia tapi gue bawa
motor dan gue nggak mau dia kehujanan”
“Tapi kan…”
“Udah lah” aku memotong sebelum Melvin sempat mendebat
Joe, “kalian berdua nggak ada yang perlu
nebengin gue, udah pulang sono” ujarku secuek mungkin dan berjalan pergi. Belum
sampai dua langkah Melvin menahan lenganku.
“Lo tunggu disini gue ambil mobil dulu” lalu dia berpaling
pada Joe dan menuding tepat di depan hidungnya, “lo yang nyuruh gue ya, jangan
pernah nyesel gara-gara ini” setelah itu Melvin berlari menembus hujan ke
tempat parkir. Tak sampai satu menit kemudian mobil sport warna merah Melvin
sudah terpampang di depanku.
“Pulang sana” Joe
tersenyum dan mendorongku ke pintu mobil Melvin, “man hati-hati bawa mobilnya ya, jangan ngebut” suruh Joe dengan
semena-mena saat Melvin membuka kaca mobil.
“Gue tahu bego, lo juga hati-hati pulangnya” teriak Melvin
pada Joe kemudia kembali menutup jendela dan melajukan mobilnya ke luar
sekolah.
Aku paling peka dengan yang namanya bau, karena itu aku bisa
mencium bau Melvin ada di seluruh seluk beluk mobil ini. Melvin
menghentikan mobilnya di lampu merah yang memanjang banget karena macet, lalu
menatapku, “pake seatbelt nya gih” ucapnya singkat dan tiba-tiba mencondongkan
badannya ke arahku, meraih seatbelt
di sebelah kiriku dan menariknya melewatiku sebelum menancapkannya dan
terdengar suara klik. Selama kurang dari lima detik
barusan rasanya jantungku mencuat-cuat, berontak, ingin melompat keluar dari
rongga dadaku.
Untuk menghilangkan kegugupan mendadak aku berdehem, “jadi..”
sial suaraku agak pecah, “kenapa lo sama Joe tadi masih ada di sekolah?
Bukannya biasanya kalian orang pertama yang keluar dari sekolah?”
Melvin tertawa singkat sambil memajukan mobilnya sedikit demi
sedikit sebelum menjawab, “Joe sih ada rapat OSIS, kalau gue tadi mendadak
laper jadi mampir dulu ke kantin”
Aku menggumamkan kata oh dan setelah itu kami diam. Sangat
lama.
Barisan panjang kendaraan masih terpampang di depan kami,
terjebak macet disaat hujan begini biasanya aku malah senang, tapi apabila
orang yang terjebak macet bersamaku adalah orang yang dari kemarin mengerjaiku
dan seharusnya ku benci rasanya malah jadi aneh.
Aku mengabaikan Melvin yang sepertinya sibuk melototin plat
mobil warna kuning di depannya dan menatap keluar jendela. Hujan masih deras,
titik-titik air di jendela terlihat sangat imut bagiku, dan suara hujan
terdengar sangat merdu di telingaku. Tanpa sadar terlintas sesuatu, kenapa tadi
jantungku bekerja dua kali lebih keras saat Melvin berada sangat dekat
denganku?
“Listen” sontak aku
menoleh saat Melvin mendadak buka mulut, “gue minta maaf soal yang
kemarin-kemarin itu”
Aku menyipitkan mataku, “enak saja, cuman minta maaf nggak
akan memperbaiki apa-apa tau”
Melvin malah mendelik padaku, “jadi mau lo apa?”
“Jangan pernah ninggalin tugas lo…”
“Tugas buang sampah maksud lo?” potongnya.
“Iya” sahutku tidak sabar dan melanjutkan, “dan juga traktir
gue makan besok”
“Oke” jawaban yang tidak kuduga, kupikir dia akan marah atau
menolak mentah-mentah, “makan sepuas lo, gue yang bayar” luar biasa.
Lalu percakapan mengalir lancar, Melvin yang memang dasarnya
orangnya kocak membuatku tertawa terpingkal-pingkal sepanjang perjalanan.
Terakhir dia mengacak-acak rambutku dengan gemas saat ku tagih janjinya besok
untuk mentraktirku makan. Tanpa sadar aku cemberut diperlakukan seperti anak
kecil begitu, pipiku menggembung, bibirku mengerucut dan mataku menyipit.
Melvin mencubit pipiku sebelum menjawab iya yang sangat panjang dan aku keluar
dari mobilnya setelah menepis tangannya. Sambil menutup pintu aku mengawasi
mobil Melvin yang melaju pergi.
Hujan deras yang tidak kunjung berhenti hingga larut malam
menemaniku mereka ulang kejadian hari ini. Kenapa tiba-tiba Melvin baik padaku?
Kenapa kerja jantungku bekerja berlipat ganda saat Melvin bersikap jail padaku?
Kenapa aku sangat menyukai saat-saat aku terjebak macet di bawah hujan dengan
Melvin? Kenapa aku sangat menunggu-nunggu hari esok saat Melvin akan mentraktir
ku makan?
Pikiranku penuh dengan Melvin dan mengaburkan bayangan orang
yang awalnya mengusulkan Melvin lah yang harus mengantarku pulang dan membuatku
menumbuhkan perasaan campur aduk begini, Joe.
Bel istirahat berbunyi tapi Sophie tidak mau berhenti dan
beristirahat dari mengucapkan kata maaf karena tidak mengantarku pulang.
“Sophie udahlah nggak apa-apa kok” ulangku untung yang kesekian kalinya. Ia
baru pamit pergi saat salah satu teman kami meneriakkan bahwa ia di panggil
guru matematika kami, “sial pasti gue disuruh remed buat yang ke-enam kalinya”
umpatnya sebelum menderap pergi.
Aku baru akan pergi ke kantin saat seseorang menahan bahuku
dari belakang, “nggak jadi minta traktir?” aku menepuk jidatku sendiri.
Bagaimana aku bisa lupa janji Melvin ini? Apa gara-gara semalam aku terlalu
memikirkannya sebelum jatuh tertidur tanpa mimpi.
“Jadi dong” tegasku dan menggamit lengannya, “ayo, gue laper
banget nih”
“Dasar rakus” lagi-lagi Melvin mengacak-acak rambutku yang
hari ku biarkan tergerai lurus.
Melvin memesankanku sepiring mie ayam dan siomay serta es
lemon sebagai minumnya. Hanya kebetulan atau dia memang tahu menu kesukaan ku?
Ah mungkin hanya kebetulan.
Sementara aku melahap mie ayamku, Melvin sendiri menikmati
nasi ayam yang di pesannya.
“Tidur nyenyak nggak semalam?” pertanyaan itu membuatku
tersedak siomay yang sedang mengalir lancar dari tenggorokanku, Melvin reflek
mengambilkan gelas es lemon ku dan mengacungkan pipetnya ke depan mulutku,
reflek juga aku langsung membuka mulutku dan meminumnya dengan brutal.
Begitu batuk-batuk reda aku melotot pada Melvi, “jangan
ngagetin gitu dong” sewotku, “kenapa tiba-tiba nanya begitu?”
Melvin hanya menggeleng sambil menahan tawa, mukanya jadi
aneh dan justru membuatku tertawa, tak sanggup menahan tawa lama-lama Melvin
pun ikut tertawa bersamaku.
“By the way” aku
mengusap setitik air mata di ujung mataku, “thanks
traktirannya” ucapku tulus. Melvin sedang menghabiskan sisa siomay yang tidak
bisa ku habiskan, karena ia sedang mengunyah ia hanya meresponku dengan
mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
“Oh iya” barulah aku tersadar sesuatu, “kemana Joe?” Melvin
dan Joe seperti kembar siam yang tidak terpisahkan, mereka hanya berpisah saat
punya urusan dengan ekskul masing-masing, Melvin basket dan Joe OSIS. Aku
melihat Joe di kelas tadi dan masih menerima permintaan maafnya karena sudah
mengerjaiku, tapi dia sudah menghilang begitu bel istirahat berbunyi.
“Biasa, ada meeting
pramuka buat camping minggu ini”
sahut Melvin sambil meneguk habis teh botol keduanya.
“Dia ikut pramuka juga?” Melvin hanya mengangguk, “bilangin
ya, harusnya dia juga traktir-traktir aku tau” Melvin tidak menjawab jadi aku
menegurnya, “Melvin!”
“Iya, cerewet ah” sungutnya lalu bangkit berdiri dan
meninggalkanku. Sial aku di tinggal sendiri.
Aku harus berlari untung menyusul langkah-langkah lebar
Melvin, terkutuklah kaki panjang Melvin yang mirip sumpit, “woy kok ninggalin
gitu” aku menggamit lengan Melvin tapi dia malah menepisnya, tanpa pamit atau
bahkan menatapku dia berlari ke lapangan basket yang langsung di sambut
cowok-cowok basket lain dengan riang.
Kenapa jadi nyuekin gini? Apa dia marah gara-gara aku
menghabiskan uangnya? Ah, mie ayam dan es lemon todak sampai dua belas ribu
kok, dan siomaynya kan aku bagi dua dengannya. Lagipula ditilik dari gadget dan
mobil sport nya Melvin adalah anak orang tajir yang tidak di biarkan keluar
rumah tanpa uang minimal seratus ribu di kantong.
“Ily!” Sophie yang nampak dari ujung koridor berlari-lari
ayam menghampiriku, “gila banget tuh si guru matematika” dia langsung
merangkulku dan nyerocos seenak jidat sampai suarnya menggema, “masa gue di
bilang payah tingkat rakjel sama matematika, jadinya guru itu males ngasih gue
remed lagi, ujung-ujungnya gue di suruh cari buku tentang himbauan belajar
matematika, disuruh beli dua lagi! Satu buat perpus, trus satunya lagi buat
gue” kami berbelok menuju koridor kelas kami, “belum lagi katanya mumpung gue
masih kelas satu gue disuruh baca buku himbauan gaje itu, abis itu kalau nanti
gue ketemu dia di kelas dua gue di suruh presentasi, kurang gila apa coba?”
Sophie mendengu-dengus seperti anjing kepanasan, “moga aja gue nggak ketemu dia
di kelas dua nanti, ami-amit deh”
“Elo emang kurang belajar sih” tukasku dan tahu-tahu saja
Sophie memukul belakang kepalaku, tidak terlalu keras sih tapi tetap saja aku
sampai kaget.
“Heh sesama korban pelajaran matematika jangan suka nuduh
gitu plis ya”
“Gue remed cuman dua kali nyet, bukan enam, ENAM!”
Sophie cemberut tapi aku balas merangkulnya sampai kami
memasuki kelas dan duduk di bangku kami, “udahlah namanya matematika emang
sedari dulu brengsek banget, cheer up”
Sophie hanya tersenyum simpul dan guru
mata pelajaran selanjutnya pun masuk.
Aku menoleh kebelakang dan melihat bangku dibelakangku
kosong, Joe sih oke meeting pramuka,
tapi kemana Melvin? Entah ini yang namanya takdir atau bukan Melvin kembali ke
kelas dengan bermandikan peluh. Setelah meminta maaf atas keterlambatannya pada
guru ia malah duduk dibangku kosong disamping teman sekelasku yang berkulit
hitam dan berambut sebahu. Kalo tidak salah, teman sebangkunya, cewek berbadan
besar berambut panjang terkena penyakit cacar dan sudah hampir tiga hari ini
tidak masuk.
“Sop” Sophie nyelengit di panggil begitu, katanya mirip
panggilan sopir angkot ataupun sopir-sopir kendaraan lainnya.
“Apa?” desis Sophie pada Melvin yang mirip-mirip desisan
ganas medusa.
“Lemparin tas gue dong” ringis Melvin.
“Ngapain sih lo pake pindah duduk disitu segala?” keluh
Sophie sambil melemparkan tas merah Melvin.
“Suntuk gue duduk dibelakang sendiri” adunya setelah
menangkap tasnya dengan sigap dan kembali memperhatikan papan tulis.
Suntuk karena duduk sendirian? Biasanya saat ada Joe pun dia
sering mengajakku bercanda sampai kami kena tegur guru yang sewot banget. Jadi dia benar-benar marah sampai aku
jadi tak kasat mata sekarang?
“Ily, liat Melvin nggak?” tanya Joe sambil ikut duduk di
sampingku. Aku menggeleng lemas sambil membalas SMS dari Bunda yang hari ini
akan menjemputku untuk sekalian pergi chek ke dokter gigi.
Aku mendengus keras-keras selagi menjatuhkan ponselku ke atas
tasku yang ada di pangkuanku.
“Kenapa? Kok muka lo kusut gitu?” tanya Joe tanpa memandangku
dan sibuk mengikat tali sepatunya.
“Gimana nggak kusut di cekokin pelajaran membosankan seharian
ini” sungutku, “elo sih enak setengah hari di dalam ruangan ber-AC, ngakunya
sih meeting tapi gue tahu kalian lagi
santai-santai sambil makan Pizza delivery”
Joe terkikik, “kok tau?”
“Tau lah!” tegasku nyaris teriak, “orang gue lihat mas mas
delivery nya”
“Hahh” Joe mendongak menatap langit yang walaupun mendung
tapi tidak hujan, awan hitamnya hanya berarak menutupi matahari yang aku yakin sangat
terik, “padahal gue nyisihin sekotak mini pizza buat lo”
“Eh? Beneran?” mataku langsung berkilau menatap bungkusan
yang diberikannya padaku, “wah masih hangat”
“Iya tadi sempet gue masukin ke microwave”
“Microwave
di tempat guru? Emang murid boleh pakai?”
“Kalau gue sih boleh, kan gue anak kesayangan guru”
Dasar pede banget deh! Aku menonjok lengannya, kurasa terlalu
kuat karena dia sampai meringis lalu tertawa.
Aku menaruh mini pizza itu di pangkuanku dan membuka
kotaknya. Bau keju langsung serbak memenuhi hidungku, “nggak apa-apa nih lo
nyisihin gue sekotak utuh begini?”
“Nggak apa-apa kalik, itung-itung itu traktiran gue ke lo”
jadi Melvin memberitahukan pesanku? Aku gagal menggigit potongan pertama pizza
keju kesukaanku itu begitu mengingat Melvin.
“Kenapa?” tanya Joe bingung menyadari perubahan raut mukaku.
Aku meninju lengannya lagi, kali ini lebih kuat karena Joe
sampai terhuyung, “enak aja, gue mau traktiran dari duit elo, bukan duit kas
anak pramuka yang dipake makan-makan” saat itu juga pas sekali aku melihat
mobil mini cooper merapat di gerbang
sekolahku, “udah ya nyokap udah jemput tuh” ucapku cepat-cepat sambil kembali
menutup kotak pizza di pangkuanku, “thanks
pizza-nya” sambil menenteng tas dan kantong pizza belum lagi menggenggam ponsel
aku berlari ke arah mobil mungil warna silver itu. Bunda menyambut senang
bungkusan mini pizza yang kubawa, katanya lumayan untuk ngemil sementara
menunggui aku chek gigi.
Ngomong-ngomong tentang pizza, niat banget Joe sampai
menyisihkanku mini pizza dengan rasa kesukaanku pula, kebetulan atau apa? Ah
pasti cuman kebetulan. Belum lagi ia juga sampai sempat menghangatkannya,
terlalu baik? Diberi pizza dingin gratis pun masih akan tetap ku terima kok.
Sepertinya kepala Joe baru ssaja kejeduk sampai otaknya miring dan dia jadi
berbuat baik padaku. Iya pasti itu.
Terus Melvin bagaimana? Dia kenapa? Kenapa aku dicuekin? Huh memikirkannya lebih pusing
daripada memikirkan nyeri sakit bawaan menstruasi
alis ribet banget.
Saat diberitahukan bahwa guru sedang rapat bertepatan dengan
pelajaran matematika Sophie rasanya seperti melambung atau lebih tepatnya
seperti dilempar ke istana pancake
saus cokelat dengan taburan buah strawberry
berlapis gula halus. Manis.
Aku menoleh kebelakang dan tidak ada siapa-siapa. Melvin sih
tadi langsung keluar lagi begitu memberi
pengumuman tapi kemana Joe?
“Sophie, mau ke toilet nggak?” tanyaku spontan entah kenapa.
Apa aku berharap bertemu Melvin dan Joe saat ingin ke toilet? Atau aku ingin
sekali kena teguran Melvin karena pergi keluar kelas tanpa izin? Yeah aku pikir
dua-duanya.
“Nggak deh, capek gue” Sophie menjawab tanpa mengalihkan
perhatiannya dari ponsel.
Aku memutuskan untuk pergi sendiri, langka banget seorang
Emily mau pergi ke toilet sendiri tapi yahh instingku bilang aku harus ke
toilet jadi aku bisa apa? Dan ternyata instingku ampuh banget, aku mendengar
percakapan dua cowok bersaut-sautan dari ujung koridor menuju lapangan bisbol
di belakang sekolah, yang tentunya masih sepi karena semua murid sedang
menikmati waktu luang di dalam kelas.
Suara Melvin dan Joe. Aku langsung merapat ke dinding
dan marayap-rayap mendekati belokan menuju ujung koridor. Kuberanikan mengintip
sedikit dan yup! Itu Melvin dan Joe, Melvin berdiri bersandar di dinding
sementara Joe duduk di undakan, lagi-lagi sambil mendongak ke langit yang hari
ini cerah dan menumpukan badannya di tangannya yang menopangnya dari belakang.
“Jadi apa rencana kita sekarang?” Melvin bertanya ogah-ogahan
dan melipat tangannya didada.
“Gue nggak tahu” jawab Joe dengan suara seperti jauh di atas
awang-awang.
“Ini salah lo tau nggak” tiba-tiba suara Melvin meninggi,
membuat Joe langsung duduk dengan tegak dan aku hampir terpeleset gara-gara
kaget, “kalau lo waktu itu nggak nyuruh gue nganter Ily pulang mungking gue nggak
bakal ikut suka sama dia” Deg!
Joe tertawa dengan garing nyaris menyedihkan, “apa juga gue
bilang? Nggak ada yang bisa menghindar dari pesona Ily, walaupun lo nggak
nganter dia waktu itu gue yakin lo bakal tetep suka sama dia”
Melvin mendengus, “lo sih setiap hari ngomongin dia mulu, gue
jadi kepengaruh” lalu Melvin tiba-tiba tersenyum sendiri, “tapi lo bener juga man, dia bener-bener punya pesona yang
tersembunyi yang perlu pakai perhatian ekstra buat nyadarin dan juga dia
bener-bener suka sama hujan” Joe mulai mendongak menatap sohibnya, “cara dia
menikmati suara hujan, mencium bau hujan, mengagumi titik-titik hujan di kaca
mobil gue, semua itu bener-bener menggemaskan”
“Adorable as hell?”
“Adorable as hell!”
Tahu-tahu saja mereka tertawa terbahak-bahak. Lucu? Apa ada
yang lucu dari seorang cowok bercerita tentang cewek yang ia suka pada
sahabatnya lalu tau-tau saja sahabatnya juga ikut menyukai cewek itu? Darimana
lucunya memperhatikanku secara diam-diam setiap kali aku dengan senangnya
menyambut hujan? Beritahu aku dimana lucunya bila saat ini juga aku keluar dari
tempat persembunyianku dan memergoki dua cowok brengsek yang sedang
menggosipiku? HAH pasti akan lucu sekali!
Tapi sayangnya aku sedang tidak ingin ikut menertawai bagian
lucu manapun yang mereka ceritakan, jadilah aku hanya berdiri kaku sambil
membekap mulutku yang akan mengeluarkan isakan seiring dengan jatuhnya air
mataku. Aku tidak tahu kenapa aku menangis, aku benar-benar tidak tahu.
Tersaruk-saruk aku kembali ke kelas, untungnya sebelum itu
aku sempat betulan mampir ke toilet untuk membasuh sisa air mata dan ingus dari
wajahku.
“Ily kok mata lo bengkak?” Sophie nyaris meraup mukaku dengan
tangannya jika aku tidak cepat mengelak, sial aku memang jarang sekali menangis
jadi sekali saja menangis mataku selalu langsung bengkak, “lo nggak di sengat
lebah atau di tonjok orang pas lagi ke toilet kan?” aku hanya menggeleng lemah,
“blah sekalinya gue biarin elo pergi ke toilet sendiri mata lo jadi berubah
kayak bola tenis begini”
“Sop” Sophie tidak sempat memprotes panggilanku karena aku
langsung memeluknya dan menangis di pundaknya. Hari ini seorang Emily pergi ke
toilet sendiri dan hari ini pula seorang Emily menangis di tempat umum. What a day! Siap-siap saja besok
dikepoin teman-teman sekelas dan di pelototin Melvin dan Joe yang sekarang
melongo seperti orang bego melihatku terisak-isak di bahu Sophie.
Rasanya kepingin sekali menonjok Melvin dan Joe saat ini
juga. Mereka terus merecokiku sepanjang hari. Melvin mengaku nyaris terkena
serangan jantung saat melihatku menangis meraung-raung seperti habis di keroyok
warga satu kampung, sementara Joe panik mencarikan tissue untuk persedian kalau
tiba-tiba aku akan menangis lagi. Enak saja memangnya aku mau menangis dua kali
berturut-turut apa?
Ternyata nyuekin Melvin dan Joe tidak segampang nyuekin
kotoran ayam yang baru saja di injak Sophie. Aku sampai harus menguatkan
pikiran dan jiwa, aku bahkan menerapkan ilmu tenaga dalam abal-abal yang
diajarkan grandma saat aku berlibur
di rumahnya di Beijing.
Aku takut menghadapi mereka karena begitu aku menatap salah
satu dari mereka perasaanku akan terlihat semakin jelas. Iya aku menyukai salah satu diantara mereka.
Tapi aku tidak mau mengatakannya, aku tidak mau menghancurkan persahabatan
mereka. Lebih baik aku fokus belajar untung ujian kenaikan kelas nanti dan aku
mungkin masih bisa mencoba untuk tidak mengacuhkan Melvin dan Joe paling tidak
sampai… lulus sekolah? Itu mungkin kan? Setelah lulus kami pasti masuk ke
Universitas yang berbeda. Iya itu dia.
Jantungku berdebar keras saat memeriksa daftar nama kelas
yang akan kumasuki. Aku menemuka nama Sophie yang berarti kami sekelas lagi,
tapi aku tidak menemukan nama Melvin dan Joe. Mereka berdua berada di kelas
berbeda, dan itu sangat bagus! Aku pasti makin bisa meminimalisir pertemuan
dengan mereka karena kami sibuk dengan urusan masing-masing. Iya pasti bisa!
Hanya sampai lulus aku harus menghindari mereka dan kami bisa tidak saling
bertemu untuk selamanya.
Memang sih rasanya dunia makin sepi tidak ada candaan konyol
Melvin ataupun ceramah panjang Joe tentang pentingnya membuang sampah di
tempatnya atau penghijauan. Tapi ini yang terbaik, untukku, dan mereka, iyakan?
Joe mengakhiri pidato kelulusan mewakili seluruh angkatan
dengan lugas dan penuh semangat, mengundang tepuk tangan kagum yang menggema di
seluruh auditorium. Melvin berteriak seperti seorang orang tua yang bangga pada
anaknya padahal orang tua Joe sendiri tidak sehisteris Melvin.
Nyaris dua tahun
aku tidak berbicara pada mereka, jika tidak sengaja saling tatap, yang paling
sering sih bersama Melvin, aku hanya tersenyum simpul dan di balas begitu pula.
Hari ini, hari kelulusan, paling tidak aku harus mengucapkan
sepatah dua patah untuk mereka sebagai bentuk perpisahan sebelum kami tidak
bakalan ngomong untuk selamanya.
Aku menyapa Joe yang malah membalas dengan mengenalkan
pacarnya yang berasal dari sekolah lain, adik kelas pula. Sekolah kami memang
membolehkan untuk mengundang satu dua orang di acara kelulusan ini selain
keluarga.
“Baru dua minggu” bisik Joe penuh persengkokolan, “gue baru
berani nembak cewek sekarang soalnya”
“Maksdu lo baru berani setelah lo dapat mobil?” iya sebagai kelulusan Joe
diberi hadiah mobil oleh orang tuanya yang di datangkan satu bulan lebih awal
dari pengumuman kelulusan. Yahh sebenarnya tidak diragukan juga, Joe yang
berhasil terpilih menjadi ketua OSIS mengadakan acara MOS paling heboh dan
bergengsi yang membuatnya menjadi ketua OSIS yang berhasil. Belum lagi acara galang dana yang sukses sekali.
Joe hanya meringis sebelum aku menepuk bahunya dan berlalu
pergi. Untunglah dia benar-benar sudah move
on dariku. Walaupun waktunya lama sekali, huh. Sekarang tinggal satu orang
lagi.
“Melvin” lengkingku penuh semangat saat melihat Melvin duduk
di dinding pembatas lantai dua gedung kelas dua belas. Melvin menduduk untuk
melihatku lalu melambai, aku tak sempat membalas lambaiannya karena aku
langsung berlari mendaki tangga, “hey ngapain lo disini sendirian?”
Melvin tersenyum, sama seperti senyum-senyum tersembunyi yang
dilemparkannya padaku setiap kali pandangan kami tidak sengaja bertemu, “lagi
pengen mengenang sekolah aja sebelum pergi”
“Idih melankolis banget” aku menoyor bahunya cukup kuat
sampai Melvin hampir terhuyung ke belakang, panik aku menarik tangannya dan
Melvin langsung terjatuh menimpaku, “MELVIN! SAKIT!”
Bukan malah menyingkir dari atasku Melvin malah tertawa,
terlihat dari bahunya yang terguncang-guncang, sial ternyata dia hanya
pura-pura akan jatuh tadi! Dengan kesal aku mendorongnya sampai ia terjatuh di
sampingku dan bangkit berdiri. Sambil membersihkan seragamku yang kotor aku
melotot padanya dengan sengit.
Melvin belum berhenti tertawa dan malah berguling-guling di
lantai. Kesal aku berencana meninggalkannya disini saja, tapi pergelangan
tanganku langsung disambarnya. Melvin meloncat berdiri dan menyugari rambutnya
dengan tangan.
“Gue nggak gampang move
on tau” cetusnya tiba-tiba, satu menit kemudian Melvin menjelaskan
bagaimana Joe sangat mengagumi ku dan menghujani Melvin dengan seribu pujian
tentangku, barulah Melvin mengusulkan
agar mereka mulai mengerjaiku karena hanya itu satu-satunya cara membuat Joe
selalu dekat dengan ku secara natural (natural di mereka, sengsara padaku) dan
saat Melvin mengantarkanku pulang itulah ia ternyata juga mulai jatuh untukku.
“Gue tau” dua kata itu sukses membuat Melvin tidak bisa
berkata-kata.
“Itu menjelaskan kenapa lo ngehindarin kami selama ini”
ketusnya dengan muka kesal yang lucu.
“Tapi…” Melvin melanjutkan, “udah gue bilang gue nggak
gampang move on, si Joe sih dia maksa
nembak cewek model teletubies alias hobi peluk-peluk itu, katanya siapa tau
bisa ngebantu ngelupain lo, eh emang dasarnya aneh tu anak, sekarang tinggal
gue deh yang stuck sama lo” sial
tiba-tiba jantungku bekerja lebih cepat dari biasanya sampai aku yakin siapapun
akan mendadak budek jika mendengarkan detak jantungku lewat stetoskop.
“Gimana kalau gue bilang kalau gue juga stuck sam a lo?”
Gerakan badan Melvin terhenti sejenak sampai aku khawatir dia
juga berhenti bernafas, “maksud lo?” tanyanya nyaris terbata.
Ganti aku yang memaparkan alasan lebih jelasnya kenapa aku
menjauhi mereka. Aku menyukai Melvin.
“Jadi…” suara Melvin mulai pecah, “karena Joe udah maksa mau move on berarti sekaran… lo… kamu… eh,
kita, bisa…” glek “pacaran?”
Aku terkikik dengan geli dan menepuk bahu Melvin dengan
santai, “maunya?” Melvin mengangguk-ngangguk dengan heboh dan detik berikutnya
dia langsung memelukku, mengangkatku dan berputar-putar di tempat, takut jika
tiba-tiba nanti aku terlempar jatuh aku melingkarkan tanganku di leher Melvin,
dengan erat.
Melvin menurunkanku, bertepatan dengan kemunculan Joe, “gue
udah nguping dari tadi, selamat yaaaaa” Joe tersenyum begitu lebar, meyakinkan
ku dan juga Melvin bahwa ia tidak apa-apa. Yahh kalau akhirnya begini mau
gimana lagi. Inikah yang namanya takdir?
Joe meloncat duduk di dinding pembatas dan menompa badannya
dengan satu tangan ke arah samping, memiringkan sedikit badannya dan dia bisa
leluasa mendongak ke atas langit yang sangat cerah.
“Emily…” Melvin merangkulku dan menarikku lebih dekat
dengannya, “I…L…Y” Melvin mengeja nama panggilanku sambil menyandarkan dahinya
di bagian samping kepalaku agar ia bisa mengendus bau wangi rambutku yang di
akuinya memabukkan beberapa detik lalu dan juga berbisik tepat di telingaku, “I Love You”
Please Read Me;
Terima kasih jika kamu berhasil mencapai bagian ini.
Aku akan senang jika bisa mengetahui pendapatmu tentang CERPEN ILY. Tinggalkan comment, jejak, apapun di blog ini supaya kamu bisa kembali. Itu akan sangat membantuku dan membuatku bersemangat untuk lebih banyak menulis.
Akan ada cerita baru yang akan ku upload setiap weekend.
Please leave a comment and click here to follow my blog.
Share this to your friends or families.
Bye.
♦♦♦
Cerita fiksi ini milikku, ideku dan imajinasiku!
Kesamaan nama tokoh, tempat kejadian dan cerita hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Segala bentuk tindakan (copy-paste, mengutip, memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan) yang bertujuan untuk menjadikan tulisan ini sebagai milikmu sangat dilarang!
Comments
Post a Comment