Berlin menghentikan langkahnya dengan alis bertaut. Apa itu barusan? Lambaian hangat dan sapaan cerianya diabaikan begitu saja. Oleh sahabatnya sendiri. Ia cukup yakin jarak diantara mereka tadi cukup dekat, dan hanya ada beberapa kepala saja yang menghalangi pandangan mereka berdua, tapi, Berlin benar-benar diabaikan begitu saja. Ia yakin temannya itu dapat melihatnya, tapi ia diabaikan! Atau jangan-jangan temannya itu memang tidak melihat Berlin? “Berlin! Ngapain bengong? Ayo ngantri sini, keburu rame nih.” Kintan memanggil dari depan kios bakso dengan wajah terjepit diantara bahu orang lain. Berlin diam-diam tertawa, jangan biarkan orang kurang tinggi mengantri untukmu. Seenak apapun bakso yang sedang ia santap, selucu apapun Kintan terlihat saat kepedasan sambal, Berlin sama sekali tidak bisa melupakan kejadian tadi. “Eh, ehm, Susan baik-baik aja kan?” Kintan terbatuk pelan saat rasa pedas itu juga mulai menguasai tenggorokannya sebelum menjawab, “Hakh? Ehkm, emakh kh...